Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 10

Malam belum terlalu larut, adzan isya baru saja berkumandang beberapa saat lalu. Pak Rasyid sedang menghitung dan mengkalkulasi hasil penjualan warung makannya hari ini di ruang tamu. Mesin kalkulator dipijit-pijitnya dengan lincah. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 10  

Sementara itu Ibu Hanny yang baru saja selesai menjahit, segera ke dapur membuatkan minuman untuk sang suami. Biasanya Pak Rasyid pulang dari warung menjelang isya. Namun hari ini lebih cepat. Mungkin ada sesuatu yang diurusnya atau dibicarakan.

Sebentar kemudian, Ibu Hanny datang dengan membawa segelas teh hangat untuk suaminya. Sementara itu Pak Rasyid masih asyik berhitung.

“Tumben pulang agak cepat Pa.” Pertanyaan itu akhirnya diucapkan Ibu Hanny.

“Alhamdulillah, penjualan hari ini lumayan Ma. Selain itu ada sesuatu yang ingin Papa bicarakan.”

“Apa itu Pa?”

Pak Rasyid merapikan tumpukkan uang dan mematikan mesin kalkulator kemudian merapikannya ke samping. Saetelah itu dia meminum segelas teh hangat yang disediakan istrinya. Setelah diminum setengahnya barulah dia bicara.

“Ini masalah Karan Ma. Dia berubah menjadi seperti sekarang, ternyata ada yang membentuk.”

“Apa? Siapa? Papa ketemu sama orangnya?”

“Tadi siang ada yang datang di warung makan, dua orang. Sepertinya mereka teman. Terlibat pembicaraan yang cukup membuat perhatian Papa. Dan salah satu yang mereka bicarakan adalah tentng Karan. Jadi ternyata selama ini anak itu berteman dengan seseorang yang hendak menjerumuskannya sekaligus menjebaknya. Dan sebenarnya… Karan itu adalah korban selanjutnya untuk diperas dan diperalat Ma. Ngeri banget kan?”

“Astaghfirllahaladzim. Berarti selama ini…”

“Iya Ma. Kita harus sabar menghadapi dia. Sebenarnya dia itu hatinya masih baik, hanya saja dia salah memilih teman. Sebenarnya bukan masalah hutang yang Papa pikirkan, tapi dia. Papa khawatir pada suatu hari nanti Karan dicelakakan oleh orang itu. Kita harus membantunya Ma. Dengan cara kita sendiri.”

“Kita harus hati-hati Pa, jangan gegabah.”

“Mama bantu doa ya. Semoga saja Papa bisa mengembalikan semuanya."

Beberapa saat setelah itu, pintu depan ada yang menggedor dengan keras. Mengagetkan Pak Rasyid dan Ibu Hanny yang sedang asyik mengobrol. Biasanya gedoran pintu seperti itu sudah tidak asing lagi bagi mereka. Malam hari pula, seperti biasa.

“Buka! Bayar hutang kalian. Cepat!”

Dan suara itu mereka sudah sangat mengenalnya. Tinggi, dibuat serak dan berat. Sudah bisa dibayangkan bagaimana wajah orangnya. Sorot matanya melotot tajam, wajahnya anatagonis. Tentu saja Ibu Hanny dan Pak Rasyid sudah bisa menebak.

“Karan Pa, dia datang lagi. Bukankah seharusnya minggu depan ya. Koq sekarang sudah nagih lagi?”

“Papa juga nggak tahu Ma.”

“Pak Rasyid, Bu Hanny… buka pintunya! Cepat!” Suara Karan terdengar lagi dengan gedoran pintu lebih keras.

Pak Rasyid bergegas menuju ke pintu. Dia tidak ingin mendengar gedoran pintu lebih keras lagi. Bisa-bisa pintunya benar-benar rusak. Ibu Hanny mengikuti dari belakang. Setelah sampai di pintu, Pak Rasyid segera membuka pintu. Dan setelah terbuka…

“Bagus… akhirnya kalian keluar juga. Mana uangnya. Cepat bayar!” Kedua mata itu tetap melotot tajam. Wajahnya pun sangat bengis. Ibu Hanny sampai ketakutan melihatnya.

“Bukankah seharusnya minggu depan ya Karan.”

“Fatir! Jangan lupa itu!”

“Iya Fatir, menurut jadwal seharusnya kan minggu depan.”

“Saya butuh uangnya sekarang. Cepat mana, jangan lelet! Kalian sudah punya uang kan? Hasil dari ngejahit dan warung makan pasti banyak. Tidak mungkin kalau hari ini tidak punya uang.”

“Tapi Fatir… sesuai kesepakatan kita bersama, kamu berhak menagih setelah tanggal penagihan tiba. Tapi hari ini kan belum tanggalnya.”

“Banyak bacot ya. Pak Rasyid nggak lupa kan? Saat saya menagih kemarin bapak belum bayar. Jadi wajar saja kalau hari ini saya datang lagi. Di mana salahnya?”

“Tapi Fatir…”

“Arrrggghh…”

Tanpa diduga sebelumnya, Karan menerobos ke pintu. Masuk begitu saja. Pak Rasyid dan Ibu Hanny sempat terhuyung karena gerakan kasar yang dilakukan oleh Karan. Kedua orangtua tersebut hanya bisa mengurut dada. Sikap mantan menantunya itu semakin hari semakin kasar dan tidak terkontrol. Ibu Hannya sampai menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Fatir… mau ke mana kamu. Yang sopan kalau bertamu ke rumah orang.” Tanpa disangka, Pak Rasyid berani bicara sepeti itu. Membuat Karan langsung membalikkan badannya.

“Pak Rasyid jangan lupa… rumah ini dulu punya saya, kemudian dipindahtangankan atas nama bapak. Jadi… ucapan bapak tadi tidak pantas. Jangan sampai kacang lupa akan kulitnya. Ingat itu Pak.” Nada bicara Karan terdengar rendah dan pelan, namun intonasinya sangat menyakitkan hati. Kerutan dahi dan tikaman kedua matanya yang tajam, membuat Pak Rasyid dan juga Ibu Hanny tidak berdaya.

“Astaghfirlllah Fatir…” Giliran Ibu Hannya yang bicara.

“Ibu Hanny tidak usah soq istighfar, karena kenyataannya memang seperti itu. Dengar ya Pak, Bu… kalian beserta keluarga saat ini pasti sudah menjadi gelandangan di kolong jembatan sana kalau tidak saya tolong dulu. Kebakaran yang menimpa rumah kalian, kalau bukan saya yang menampung, tidak mungkin bisa hidup enak dan makmur seperti ini. Dan sekarang, Pak Rasyid memperlakukan saya seperti ini. Padahal saya pernah menjadi menantu kalian. Dulu pernah begitu baik keapda Vaela putri kalian. Apa seperti ini balasannya? Masuk ke rumah ini saja dibilang tidak sopan?” | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 10  

“Fatir… maksud saya…”

“Dengar ya Pak Rasyid, seharusnya bapak dan istri itu berterima kasih sama saya. Mau memberikan rumah ini secara cuma-cuma. Menantu yang lain, mana ada yang seperti itu?”

“Iya Fatir, saya minta maaf. Kamu boleh masuk ke rumah ini, tapi tidak harus dengan cara kasar seperti tadi. Kami ini sudah tua.”

“Makanya itu, kalau memang merasa sudah tua… jangan banyak tingkah dan protes. Sekarang mana uangnya? Ayo bayar.” Karan kembali ke tujuannya semula. Suaranya meninggi lagi.

“Baik, saya akan bayar. Tapi maaf, saya tidak bisa membayar banyak.”

Sesaat setelah Pak Rasyid bicara seperti itu, pandangan Karan tertuju kepada meja tamu di depan matanya. Dia melihat lembaran uang yang ditumpuk rapi. Kedua matanya langsung mendelik. Melihat Karan menatap ke meja, Pak Rasyid baru ingat. Uang yang tadi dihitung-hitung belum sempat dibereskan dan dimasukkan ke dalam amplok cokelat yang ada di sebelahnya. Buru-buru beliau melangkah menuju ke meja untuk mengambil uang itu, namun telat. Karan sudah lebih dulu mengambilnya dengan penuh semangat. Semuanya diambil.

“Pak Rasyid jangan coba-coba bohong sama saya. Ini buktinya apa? Uang kan?” Karan memperlihatkan uang yang telah ada di tangannya di depan wajah Pak Rasyid.

“Saya mohon Karan, jangan diambil semuanya. Untuk modal besok warung makan saya.” Pak Rasyid memohon-mohon. Nama Karan pun terucap kembali karena lupa.

“Saya tidak peduli. Sebentar saya hitung. Satu, dua tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan juta. Ya. Delapan juta terbayarkan otomatis. Sisanya tentu saja masih banyak Pak Rasyid. Berarti tinggal… delapan ratus sembilan puluh dua juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah. Masih cukup banyak.”

“Karan… saya mohon. Jangan diambil semuanya. Kasihani saya…”

“Saya tidak peduli dan tidak mau tahu. Itu urusan bapak.” Sahut Karan dengan tatapan sinis seperti biasa.

Hingga beberapa saat kemudian, Pak Rasyid menunduk dan bersimpuh. Kedua tanggannya memegang kaki Karan. Memohon dengan amat sangat. Ibu Hanny yang melihat itu sebenarnya tidak setuju dengan sikap suaminya, karena merendahkan harga diri. Tapi tidak ada pilihan lain. Hanya itu cara yang bisa dilakukan.

“Karan… saya mohon Nak. Jangan diambil semuanya. Uang itu untuk modal saya besok. Kalau tidak… bagaimana usaha warung makan saya akan terus berjalan. Saya mohon Karan.” Pak Rasyid menangis memelas di kaki Karan. Ibu Hanny yang melihat, tak sanggup Manahan air matanya. Namun tidak dengan Karan. Dia sama sekali tidak merasa tersentuh atau kasihan.

“Pa… bangun Pa. ikhlaskan saja. Orang ini dulu memang baik hati dan mulia. Tapi sekarang, dia sudah berubah menjadi seorang penjahat. Kita sudah dianggap musuh sama dia. Sudahlah Pa, bangun. Jangan permalukan diri sendiri.” Ibu Hanny mencoba untuk membangunkan suaminya yang sedang bersimpuh di kaki Karan. Namun tidak bergerak, Pak Rasyid terus memohon.

“Nggak apa-apa Ma. Papa sedang berjuang agar usaha warung makan Papa tetap berjalan.”

“Tapi Pa…”

“Papa! Bangun Pa! apa-apaan ini?”

Dari arah pintu depan, tiba-tiba saja Ditya datang dengan wajah sedih sekaligus marah. Dia tidak tega melihat sang Papa bersimpuh di kaki Karan. Tak terima orangtuanya diperlakukan seperti itu. Tidak bisa dibiarkan. Seketika Karan, Ibu Hanny dan Pak Rasyid menoleh ke arah pintu.

“Ouwh… anak kuliahan baru pulang, mau jadi soq pahlawan kamu.” Nyinyir sekali nada bicara Karan.

“Pa… ayo bangun. Jangan mempermalukan diri seperti ini. Papa ini orangtua, seharusnya dia yang bersimpuh di kaki Papa. Bangun Pa.”

“Uang Papa Ditya, diambil semuanya.”

“Nggak apa-apa. Nanti Ditya yang bantu Papa. Sekarang Papa bangun. Ditya nggak tega melihat Papa seperti ini.” Perlahan, Ditya membantu Papanya untuk berdiri lagi seperti biasa.

Sedikitpun tidak ada rasa iba atau kasihan dalam hati Karan. Hatinya benar-benar telah tertutup rapat. Ketika Pak Rasyid bersimpuh, dia malah tersenyum puas. Penuh kelicikan. Kedua matanya dipicingkan. Sorot matanya tetap bengis. Entah apa yang sudah mersuki hatinya. Sampai hati memperlakukan mantan mertuanya seperti itu. Uang yang telah diambilnya tadi, langsung dimasukkan ke dalam kantung celananya.

Sudah setipis itukah iman yang ada di dalam dadanya. Berlari ke mana rasa kemanusiaannya. Orangtua bersimpuh di kakinya, dibiarkan begitu saja. Seakan-akan dia ingin diperlakukan sebagai raja. Gila hormat. Melihat itu, Ibu Hanny sangat miris, tapi tiadak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya jahat atau keterlaluan. Tapi sudah di luar batas.

“Akang… tidak sepantasnya memperlakukan Papa seperti ini. Inga Kang, Papa Ditya adalah orangtua yang harus dihormati. Walaupun sekarang hanya sebagai mantan mertua, tapi tanpa persetujuan Papa, Akang tidak akan pernah bisa menikah dengan Kak Vaela. Ditya benar-benar nggak nyangka… akhlak dan kelakuan begitu rendah. Padahal dulu… Mama, Papa dan Ditya juga tidak pernah meminta bantuan Akang sama sekali. Sepeserpun. Rumah ini, mesin jahit punya Mama, modal usaha warung papa, uang kuliah Ditya… kami tidak pernah memintanya."

Bahkan ketika menerimanya, kami malu. Tapi Akang yang memaksa. Jangan lupa akan hal itu. Karena kami sadar, hidup kami memang sederhana. Dan dulu pun… materi dan yang yang sudah Akang keluarkan untuk kami, tidak pernah dianggap sebagai hutang atau pinjaman. Tapi sekarang… mengapa dulu yang pernah diberikan, dianggap sebagai hutang. Koq bisa, bagaimana ceritanya.

Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan kakak iparku yang baik dan berhati mulia. Gerangan apa yang sudah merubahnya. Mengapa Karan Syah Alfity menjadi seperti ini. Begitu kejam dan jahat kepada kami. Salah kami apa? Dosa apa yang sudah diperbuat hingga Akang berubah seperti ini.

“Ditya, sudah Nak.” Cegah Pak Rasyid tak mau memperpanjang masalah.”

“Siapa yang sudah merubah hati Akang. Tidakkah kau tahu Karan Syah Alfatiry, tentang penyakit Kak Vaela, tentang kemandulannya, itu semua sudah kehendak Allah… bukan kemauannya. Akanf harus ingat itu. Jangan menganggap semua itu adalah malapetaka atau kesialan.”

“Tutup mulut kamu Ditya!” | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 10  

"Akang yang sudah keterlaluan. Ditya tidak terima!!"

- Bersambung -