Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat

Pintu rumah diketuk kasar dari luar. Suaranya sangat kencang, terdengar hingga ke ruang dapur. Membuat Pak Rasyid dan Ibu Hanny kaget. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat

Mereka sudah tahu siapa itu. Dan ini bukan yang pertamakalinya.

“Pak Rasyid! Ibu Hanny! Buka pintunya! Saya tahu, kalian ada di dalam. Jangan coba-coba sembunyi atau lari dari saya. Buka!!” Suara itu intonasinya sangat bengis dan galak. Mendengarnya, Pak Rasyid dan Ibu Hanny jadi gemetaran.

“Papa, bagaimana ini. Kita belum punya uang untuk melunasi hutang-hutang kita.”

“Sebenarnya Papa punya simpanan sedikit Ma. Tapi itu untuk biaya kuliah Ditya semester depan. Kalau sampai kita kasih, bisa-bisa kuliah Ditya putus di tengah jalan. Sayang, tinggal satu semester lagi.”

“Tapi dia tidak mau tahu Pa. Ini sudah jatuh tempo.”

“Woyyy! Buka! Atau saya dobrak pintunya!” Suara itu kian kasar dan bengis. Membuat Ibu Hanny semakin ketakutan.

“Iya, sebentar!”

Akhirnya Pak Rasyid melangkah ke arah pintu dengan perasaan takut. Mau tidak mau dia harus menemui orang itu sebelum berbuat lebih kasar lagi. Ibu Hanny mengikuti dari belakang. Setelah tiba di depan pintu, perlahan Pak Rasyid membukanya.

“Ya ampun… lama banget sih bukanya!” Bentak orang itu dengan wajah garang dan kedua mata yang melotot tajam.

“Karan…”

“Hey! Jangan sekali-kali Pak Radyid memanggil saya dengan sebutan itu lagi. Ingat ya Pak, nama itu sudah mati. Sudah tenggelam bersama matinya putri bapak yang penyakitan dan telah membuat saya miskin seperti ini. Panggil saya Fatir. Ingat itu!”

●●●

Ya. Dia memang Karan. Karan Syah Alfatiry. Suaminya Vaela yang meninggal karena penyakit lupus. Semenjak kematian istirnya, sikap Karan berubah drastis seratus delapan puluh derajat. Dari baik hati, ramah, santun dan bersahaja, menjadi pribadi dan karakter yang bertolak belakang dengan kehidupannya yang dulu. Dia merasa sakit hati atas kematian istrinya dan keluarganya karena kecelakaan pesawat. Membuatnya hancur dan tidak punya semangat hidup lagi. Seakan-akan Allah tidak adil atas dirinya.

Awalnya bisa menerima dengan ikhlas, namun setelah merenung, sakit hati dirasakannya. Mengapa badai cobaan saat itu begitu dahsyat. Vaela yang dinyatakan mandul, membuatnya harus kuat dan tegar. Mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah ujian dari Allah. Tidak berhenti sampai di situ, istrinya divonis mengidap tumor ganas di rahang sebelah kiri bagian pipinya dan bisa mengancam nyawa bila tak segera dioperasi.

Saat itu, Karan harus menguatkan sang istri dan juga dirinya agar bisa tegar. Dan untuk keselamatan nyawa, dia pun segera melakukan tindakan operasi. Namun lagi-lagi cobaan untuknya belum berhenti, perkiraan sementara dari Shahira temannya Vaela yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit tersebut menyatakan, bahwa istrinya menunjukkan gejala penyakit lupus. Untuk itu, Shahira merekomendasikannya kepada dokter spesialis penyakit tersebut.

Dan setelah diperiksa, istrinya memang positif mengidap penyakit langka tersebut dan belum ada obatnya itu. Bisa dibayangkan betapa dia bahkan Vaela, merasa terpukul atas kenyataan itu. Pasalnya, rata-rata pasien yang divonis penyakit tersebut, akhirnya meninggal karena belum ditemukan obatnya. Berjuang menghadapi penyakit itu, Karan menemani sang istri dengan sabar. Menyemangatinya setiap hari untuk tetap ikhlas atas ketentuan-Nya. Sudah mandul, terkena tumor, lupus pula. Itu adalah ujian terberat. Sebagai suami, dia harus bisa membuat istrinya terus bahagia di sisa umurnya.

Hingga di titik klimaksnya dua kejadian mahadahsyat harus Karan alami. Vaela dinyatakan meninggal setelah berbulan-bulan lamanya berjuang melawan penyakit tersebut. Dan di waktu yang sama, dia juga harus menerima kenyataan bahwa Ayah, Ibu dan kedua adiknya meninggal pula dalam sebuah kecelakaan pesawat menuju Kuala Lumpur, Malaysia.

Saat itu Karan bingung mana yang harus dia pilih. Apakah keluarganya atau istri tercinta. Keduanya sama-sama penting. Tentu saja dia merasa sangat sedih. Kehilangan orang-orang yang dicintainya dalam waktu bersamaan. Bersyukur saat itu ada Ibu Garneta dan Pak Graha yang mau mengangaktnya sebagai anak. Duka yang dialami, sedikitnya bisa terobati. Kehilangan kedua orangtua, akhirnya ada juga sepasang suami istri yang mau mengangkatnya sebagai anak.

Karan boleh bahagia akan hal itu. Namun setelah dipikir-pikir, Allah sudah tidak berlaku adil padanya. Apa yang telah dialaminya sangat menguras kesabaran dan keimanan. Terlebih dalam hal materi. Ya, tentu saja demikian. Secara, begitu banyak uang yang sudah dia keluarkan untuk biaya pengobatan Vaela selama sakit. Bukan sekedar jutaan, puluhan juta, ratusan juta. Bahkan lebih dari itu. Sampai-sampai perusahaan yang dia pimpin harus gulung tikar dan akhirnya bangkrut. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat

Semenjak saat itu dia tidak punya apa-apa lagi. Entahlah, setan mana yang telah merasuki pikirannya. Dia mengira, semua itu terjadi karena Vaela. Istirnya itu dianggap telah membawa kesialan dalam hidupnya. Karena sebelum menikah, hidupnya aman-aman saja. Tidak ada masalah yang berarti. Dan atas dasar itu, sifat dan karakternya seperti ada yang membalikkan. Dari baik, menjadi jahat. Seperti yang sedang dilakukannya saat ini kepada Pak Rasyid dan Ibu Hanny, mertuanya.

Dia berpikir mereka harus ganti rugi atau mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan dulu. Bukan hanya tentang biaya pengobatan Vaela selama sakit, tapi juga tentang biaya kuliah Ditya yang dulu sempat dia tanggung sampai beberapa semester. Juga, biaya-biaya lainnya. Dan saat ini, dia ingin uang itu kembali padanya. Semuanya.

Karan menganggap semua itu adalah hutang yang harus Pak Rasyid dan Ibu Hanny bayar sampai lunas. Dia tidak mau tahu, mereka berdua mendapatkan itu dengan cara apa dan bagaimana. Yang jelas ketika ditagih, harus ada. Walaupun dia tahu, semua itu tidak bisa dilunasi secara langsung. Karena Pak Rasyid hanya pemilik warung makan dan Ibu Hanny sebagai penjahit rumahan biasa.

Sifat jahat dan galak yang saat ini Karan miliki, mengalir begitu saja. Ibu Garneta dan Pak Graha orangtua angkatnya, beberapa kali memperingatkan, bahwa hal itu tidak baik. Setiap saat, menagih uang-uang itu kepada Pak Rasyid dan Ibu Hanny yang sudah tua.

Apa yang sudah terjadi dulu adalah takdir. Allah telah menggariskan semuanya di lauhul mahfudz. Dia harus bisa menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada. Namun Karan menganggap itu adalah kesialan yang telah Vaela berikan padanya. Seperti yang dilakukannya saat ini, menagih uang yang dianggapnya hutang kepada kedua mertuanya dengan sikap yang kurang ajar, tidak sopan. Bahkan cenderung memaksa.

●●●

“Emmm Karan… maksud saya… Fatir. Beri kami waktu. Saat ini kami belum punya uang. Kemarin baru membayar uang semesternya Ditya.” Agak takut-takut Pak Rasyid berbicara.

“Pak Rasyid jangan coba-coba membohongi saya ya. Kalau saja ketahuan tidak jujur, saya tidak segan-segan utuk mengobrak-abrik rumah ini. Ingat itu!”

“Benar Fatir, saya sedang tidak ada simpanan. Usaha warung saya juga sedang sepi. Saya mohon diberikan kelonggaran waktu. Saya janji, akan bayar semuanya.”

"Ini sudah jatuh tempo lho, pak."

"Saya tahu Fatir."

“Ingat ya Pak. Hutang bapak sama saya masih banyak. Sembilan ratus juta sembilan puluh ribu rupiah. Itu sudah saya diskon dua puluh persen. Bagaimana tidak baik coba saya ini?”

“Karan… mmm maksud saya, Fatir… kami janji akan melunasinya. Tapi tidak sekarang. Uang sebanyak itu darimana kami dapat.”

“Oke. Saya pegang janji Ibu dan Bapak. Tapi kalau sampai lari, kalian tahu sendiri akibatnya!” Kedua mata Karan melotot tajam. Setelah itu melangkah pergi meninggalkan rumah dengan wajah yang seram dan garang.

Pak Rasyid dan ibu Hanny hanya bisa memasang raut wajah sedih. Tidak menyangka, menantu yang dulu dibangga-banggakan, kini seperti monster bahkan vampir yang setiap saat siap memakannya kapan saja. Yang dulu terkenal dengan kemulian dan kemurahan hatinya, kini berubah seperti musuh yang wajib ditakuti.

Dari ujung jalana sana, Ditya yang baru pulang kuliah. Dia melihat Karan, baru saja mendatangi rumah orangtuanya lagi. Anak itu langsung bersembunyi di balik pohon. Dia tidak ingin melihat orang itu lagi. Dulu dan sekarang sangat jauh berbeda. Setelah melihat karan menjauh, Ditya pun melanjutkan langkahnya menuju rumah dan menemui orangtuanya.

“Assalamu’alaikum.”

“Waalaikum salam.”

“Pa… Ma… Kang Karan lagi?”

“Iya Ditya, seperti biasa. Dia menagih hutang.”

“Astaghfirllahaladzim… Kang Karan. Kenapa jadi berubah seperti itu. Ditya masih benar-benar nggak nyangka dan nggak habis pikir Ma, Pa sama dia. Dulu itu…”

“Sudahlah, jangan terus membicarakan masa lalu. Yang penting sekarang adalah bagaimana caranya kita mengumpulkan uang untuk membayar hutang sama Karan."

"Ditya seperti tak mengenal dia Pa. Sikapnya sangat berbeda. Dia itu sangat baik. Ramah dan tidak pernah marah-marah. Tapi sekarang... keadaan jadi berubah. Dia jadi jahat. Dan yang membuat Ditya tak habis pikir, uang yang sudah dia keluarkan dulu, dia anggap hutang. Apa-apaan coba. Kan aneh."

"Mungkin ini ujian dari Allah untuk kita lewat Karan." Ucap Pak Rasyid bijak dan dengan intonasi menenangkan. "Kita harus ikhlas Ditya. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat

Insya allah jadi ladang pahala." "Aamiin."