Jangan Pernah Ngintip Kuntilanak Mandi

Kebiasaan mengintip Kuntilanak yang sedang mandi berbuah manis. Mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan gadis yang manis. | Cerpen Lucu Jangan Pernah Ngintip Kuntilanak Mandi

Benarlah apa yang dikatakan orang-orang. Bertemu Kuntilanak, bermimpi dikejar Kuntilanak, akan mendapatkan keberuntungan. Aku lebih beruntung, aku berani mengintip.

Sebenarnya nggak berharap banyak. Menjadi office boy saja senang bukan kepalang. Zaman sekarang, tidak mudah mendapatkan pekerjaan. Pelamar bakal ditanyakan yang tak rasional menurutku. Betapa tidak? Apa Anda memiliki pengalaman kerja di tempat lain? Coba kalian lihat, pertanyaan macam apa itu. Kujawab dengan muka masam, "Pak, sungguh mati, jika diterima, inilah pengalaman kerja pertama itu."

Pewawancara itu menatapku dengan heran. "Wah, Anda nggak punya pengalaman. Sulit. Sulit. Pekerjaan yang Anda lamar ini membutuhkan pengalaman."

"Tapi saya memang nggak punya pengalaman menjadi office boy, Pak."

"Nah, nah. Di sinilah saya tidak suka dengan rasa pesimis Anda. Kan, bisa, tadi Anda jawab, saya pernah membantu Ibu saya. Saya disuruh belanja ke pasar manut. Saya disuruh beres-beres rumah manut. Saya disuruh memasak manut. Gitu, kan, bisa, kan?"

Aku diam dan berpikir. Mungkin ada benarnya. Tapi di sana, kan, aku bukan sebagai office boy.

"Saya yatim piatu yang ditemukan di pintu rumah satu keluarga kaya, dan hampir saja bayi itu dimakan anjing, Pak. Kalau membantu seperti yang Bapak katakan tadi, tentu saja saya terlatih membantu pengurus panti asuhan. Ada saya tuliskan di lamaran."

Dia terdiam. Tertegun. Lalu memandangi riwayat hidupku. Mengusap bibirnya dan mengurut dahinya.

"Canggih juga cara ngeles Anda."

"Canggih? Ngeles? Pak, itu yang sesungguhnya. Saya hidup di panti asuhan."

"O, begitu, ya?"

Datar sekali emosinya. Seolah kedatanganku tanpa biaya. Membuat lamaran itu saja biaya. Padahal sekarang zaman internet. Terpaksa ke warung internet untuk mencetak seluruh kertas-kertas yang banyak memakan biaya itu. Apakah setiap wawancara kerja tidak bisa via internet saja? Itu, kan, pemborosan kertas. Belum lagi kertas-kertas pelamar yang tak diterima. Pasti dibuang ke tempat sampah. Kemudian kertas-kertas itu berakhir di pasar-pasar sebagai pembungkus belanjaan. Aku pernah mendapatkan satu kertas berisi riwayat hidup pelamar. Irwan atau Iwan. Aku lupa pastinya. Yang jelas dia berpendidikan tinggi. S-3. Berpengalaman tinggi. Pernah kerja di luar negeri. Nah, dia saja bernasib tragis. Riwayat hidup yang begitu penting, susah payah dibuat, berakhir di gerobak tukang kacang rebus Mang Uun, Pak Tua yang seumur hidup berdagang di depan panti asuhan. Aaahhh. Aku khawatir lamaran kerja yang kubuat itu menjadi sia-sia.

"Kok bengong?" Aduh, aku melamun. Buyar lamunanku dan tak kudengarkan dia berkata apa. Untung saja dia kembali berkata,

"Umur? Pendidikan? Alamat rumah? SKKB mana? Oh, ini, lengkap juga persyaratan yang kami butuhkan. Pas foto? Oh, ada, maaf terselip di map. Hem, ya, ya, cuma tamatan SMA. Oh, Anda tinggal di Panti Asuhan X? Hem, rasanya saya pernah lewat jalan ini."

Aneh. Dia berbicara sendiri sambil mengetuk-ngetuk meja. Dari kepalan tangan kanan, duk. Lalu berurutan jari telunjuk, tengah, manis, dan kelingking menari dan berbunyi, tuk, tuk, tuk, tuk, duk... terus begitu membuat irama teratur. Susah bila aku ingin begitu. Dia berpengalaman mengetuk meja.

"Tinggi 168 cm. Usia 19 tahun. Hobi menulis, membaca buku-buku sastra berat, renang, catur. Bisa bermain gitar, piano, biola. Kelebihan bisa menyesuaikan keadaan. Nah, menurut Anda, apakah kelebihan ini positif atau negatif?"

"Saya rasa positif, Pak."

"Alasannya?"

"Saya biasa hidup dan beradaptasi dalam situasi apa pun."

"Hem. Artinya, dalam situasi tekanan tinggi, Anda bisa tahan?"

"Saya kurang mengerti maksud Bapak."

Dia melihatku. Masih mengetukkan tangan kanannya. Kertas di tangan kirinya bergetar.

"Gini. Ini perusahaan terbesar di Asia Tenggara. Kami membutuhkan office boy yang siap siaga 24 jam. Siap menjalankan tugas sesuai job desk-nya. Artinya, apakah Anda siap membuang waktu istirahat Anda di waktu libur?"

"24 jam bekerja, Pak? Kapan tidurnya?!"

"Nah, nah. Baru saja saya jelaskan tadi, Anda sudah keberatan. Jawaban Anda saya nilai sebagai satu keberatan."

Dia menuliskan sesuatu dengan wajah berkerut. Aku, kan, spontan saja menanyakan hal tadi. Kan, benar, kalau 24 jam bekerja, kapan aku tidur? Biarlah. Aku salah menjawab.

"Anda bisa memakai mesin foto kopi?"

"Mungkin saya perlu belajar lebih dulu, Pak. Saya bisa belajar kepada kawan saya. Dia memiliki mesin foto kopi."

"Oh, begitu? Hem. Minus lagi. Nggak bisa ngoperasiin mesin foto kopi."

Kembali dia mencatat sesuatu. Tambah berkerut dahinya. Tipis peluangku agaknya.

"Kalau membuat kopi, teh manis, atau memasak mi...hahaha, ada-ada saja karyawan di sini. Gaji dan tunjangan besar masih saja suka mi. Gimana, bisa?" | Cerpen Lucu Jangan Pernah Ngintip Kuntilanak Mandi

"Kalau itu bisa, Pak."

"Yakin?"

"Yakin sekali, Pak."

"Hem. Tapi kopi di sini berbentuk biji."

"Biji, Pak?!"

"Ya. Biji. Terkejut? Apa itu aneh? Anda tahu, kopi biji lebih nikmat dibandingkan kopi saset? Nah, di sini ada mesin kopi biji canggih. Harganya ratusan juta. Pertanyaannya. Apakah Anda mampu mengoperasikan mesin kopi biji itu sekaligus merawatnya?"

Aku terdiam. Sungguh mati aku baru mendengar ada mesin kopi biji. Harganya menakutkan. Gimana kalau rusak? Aku menggigil membayangkannya jika rusak dan harus menggantinya.

"Kok diam? Itu berarti Anda nggak bisa, kan?"

Aku mengangguk. Hanya itu yang dapat kulakukan. Sesak dadaku rasanya.

"Minus lagi...."

Dia kembali mencatat. Kali ini seperti senang. Aneh Bapak ini.

"Bisa mengendarai motor? Hem. Jangan. Jangan motor. Mobil mewah 6000 cc dengan automatic transmisi? Itu, lho, macam Bentley atau Rolls Royce. Bisa? Punya SIM B2? O, ya, kadang-kadang, office boy kami harus bisa mengemudikan truk engkel. Atau trailer 40 feet. Itu, lho, truk besar dengan kotak panjang dan tinggi. Perusahaan ini bergerak di bidang export dan import. Sebentar. Saya lupa nama Pak Supir Tua yang sering sakit-sakitan itu. O, ya. Pak Dodong. Saya membutuhkan office boy yang plus, plus, dan plus. Kayak Mac Gyver. Kenal Mac Gyver?"

Aku menggeleng. Mataku memberat dan pelan-pelan basah. Betapa sulitnya untuk mencari pekerjaan. Sadis sekali.

"Kalau diam terus, berarti Anda tak tahu apa-apa. Minus lagi. Payah kemampuan Anda ini. Lho, kok mata Anda merah? Sakit mata, ya?"

Aku menggeleng. Bapak ini begitu santai dan tenang. Seakan aku boneka saja. Aku benar-benar terpukul sekarang. Benarlah kata kawanku. Kalau tak punya koneksi, jangan coba-coba melamar kerja. Panjang sekali urusannya. Kalau pun diterima bekerja tanpa koneksi, itu sebuah keajaiban. Mungkin disebabkan cerdas. Sekolah yang tinggi. Pengalaman kerja segudang. Namun tetap saja tidak menjamin. Koneksi kuat lebih menjamin. Sebab dengan koneksi, perusahaan menjadi yakin bahwa pilihannya tepat. Kan, sudah ada yang menjamin? Orang dalam? Jadi, segala wawancara dan tetek bengek lainnya cuma sekadar basa-basi. Prosedur saja. Biar karyawan lain melihat bahwa yang diterima bekerja itu melewati saringan seperti dulu mereka melamar pekerjaan.

"Oke kalau begitu. Wawancara selesai. Saya sudah dapat menilai Anda. Oh, tunggu, apakah Anda mempunyai Handphone? Soalnya, di sini, hanya ada nomer telepon rumah."

Dia kembali melihat berkasku. Aku sudah patah arang.

"Pak, saya nggak punya handphone. Itu nomer telepon panti asuhan. Kalau saya diterima bekerja, saya akan pamit dari Panti Asuhan. Rencana menyewa kos yang murah. Saya akan bekerja giat. Bila saya sukses, tentu saja semua akan saya persembahkan kepada adik-adik saya di panti asuhan. Bagaimana bisa saya melupakan mereka? Saya tak ada Ayah dan Ibu. Saya hanya bisa membalas jasa kepada panti asuhan. Itu saja semangat saya di dalam hidup ini."

Berlinangan air mataku. Sungguh berat aku mengucapkan semua perkataan tadi.

"Sudah, sudah. Cowok kok nangis gitu. Nanti saya hubungi kalau diterima kerja. Sekarang, pulanglah."

"Pak, apakah tidak bisa saya mendapatkan kepastian hari ini? Sungguh saya merasa bingung bila terlalu lama menunggu panggilan dari Bapak. Kalau diterima, senanglah hati saya. Bagaimana kalau tidak, Pak?"

"Lho, lho, lho. Ini sudah prosedur perusahaan. Apa Anda tidak lihat setumpuk dokumen lain di meja saya? Wah, Anda ini bertanya macam bos saja."

Tambah hatiku tersayat. Begitu banyak di meja Bapak ini dokumen lamaran kerja. Rasanya sulit sekali aku diterima. Dia pun sudah tak senang denganku. Biarlah. Biarlah.

"Boleh saya ambil lamaran saya? Saya tidak memiliki uang lagi untuk mencetak lamaran itu, Pak."

"Benar-benar Anda tidak sabar. Nih! Ambil lamaran Anda. Terpaksa saya katakan bahwa saya tidak tertarik dengan Anda. Ayo, ambil!"

Wajahnya sudah tidak bersahabat. Aku ambil semua berkas lamaran kerja itu. Aku berdiri, pamitan, dan keluar. Oh betapa gedung dan megah juga dingin ini sulit ditaklukkan. Terlalu banyak yang tak aku mengerti. Biarlah kucari perusahaan lain.

Saat sampai di luar, satu mobil mewah berhenti. Ah, itu Bentley. Wah, bagus sekali. Aku tertegun beberapa saat. Para satpam berlarian menyambut kedatangan mobil itu. Seorang wanita paruh baya bersama seorang gadis cantik keluar dari mobil itu. Entah kenapa mulutku refleks berteriak, "Bu Mirra, Mbak Myana....!

"Lho, Mas Brian ada di sini? Ada apa?" tanya Bu Mirra, "ayo naik ke atas sambil ngelihat-lihat kantor Ibu."

"Rapi banget Mas Brian, biasanya lecek," ledek Myana. Aku malu jadinya. Bu Mirra adalah donatur tetap panti asuhanku. Tanpa Bu Mirra, panti asuhan kami pasti kesulitan. Dan Mbak Myana, ah, sudahlah. Gadis manis ini sering ke panti asuhan. Sering pula kami bersama menghibur anak-anak yang baru datang.

Kalian pasti dapat menebak akhir cerita ini. Tapi jangan lakukan caraku, ya. Jangan pernah mengintip Kuntilanak mandi. Jangan pernah, ya. | Cerpen Lucu Jangan Pernah Ngintip Kuntilanak Mandi