Ibu Maafkan Atas Kegagalan Anakmu Ini

"Maukah kamu menikah denganku, dalam keadaan suka dan duka?"

Mas Feri, menatapku dalam, dia Seorang yang mapan. bekerja di salah satu perusahaan besar, dengan wajah yang tampan, disertai akhlak yang baik. Rajin sholat, jadi tidak ada alasan untuk menolaknya bukan?

Aku tersenyum hangat, lalu mengangguk.

"Iya Mas," sahutku. | Cerpen Sedih Ibu Maafkan Atas Kegagalan Anakmu Ini

Kami lagi, lagi, saling melempar senyum.

Sungguh masa depan yang indah telah menanti kami berdua, dipertemukan dengan Mas Feri beberapa bulan yang lalu, merupakan hal yang patut kusyukuri. Dan ini hari yang kunanti.

"Kirana sayang, kamu jangan capek-capek yah, nanti kamu mau dibeliin apa kalau Mas pulang kerja?"

Aku mengelus perutku, yang sudah membesar. lalu tersenyum kepada Mas Feri.

"Gak usah Mas, yang penting cepet pulang yah," Sahutku.

Mas Feri mengangguk, lalu mengecup keningku, dan aku menyalam tangannya.

Lalu dia berjongkok, mengecup perutku.

"Sayang, Papa pergi dulu yah, kalian jangan rewel. Kasihan Mama."

Lagi, lagi, aku tersenyum bahagia.

Menatap kepergian Mas Feri, lalu aku masuk ke Rumah.

Memiliki suami yang sempurna, dan sebentar lagi si kembar kami, akan lahir menyapa dunia.

Kebahagian yang lengkap bukan?

Kebahagian itu berubah menjadi menyiksa ketika Mas Feri berubah, perusahaan tempatnya kerja, gulung tikar. Dia dilanda frustasi berat, berhari-hari dia tidak pulang. Membuatku semakin bersedih karenanya.

"Arg.."

Aku meringis, sambil memegang perutku.

Rasanya sangat sakit, sampai-sampai pipiku memerah karena menahan sakitnya. Tangan bergerak menelpon, kembali nada sibuk yang terdengar saat aku menghubungi Mas Feri, lalu dengan nafas memburu aku menghubungi adikku.

"Datang kesini sekarang, perut kakak sakit banget."

Aku terduduk lemah di lantai, keringat membasahi wajah dan tubuh. Tak beberapa lama adikku datang bersama Ibuku.

"Astaga, ketuban!" Teriak adikku.

"Kamu mau lahiran nduk," ucap Ibu.

"Tarik nafas Bu, ayo keluarkan Bu!"

"Ibuu!!"

"Kirana sayang, kamu putri ibu yang kuat," ucap Ibu lembut, sambil sesekali tangan kirinya mengelus dahiku yang basah.

Tangan kanan Beliau mengenggam tanganku, seakan mengirimku kekuatan, aku mengeram.

Sungguh, ini sangat sakit. Air mataku sudah mengalir, jadi begini Ibuku dulu melahirkanku?

Oh Tuhan.

Teringat Mas Feri, kemana suamiku itu?

Seharusnya dia yang menemaniku disini, menggenganm tangan ini, demi buah hati kami.

Tapi, apa yang kudapat hari ini?

Hanya rasa sakit, yang membuatku lagi, lagi merasa sakit hati.

"Sayang, kamu pasti bisa!" Ucap Ibu lagi.

"Ahh.."

Aku berteriak, disusul suara tangisan bayi. Kurasakan selaputku terkoyak lebar, rasanya sangat menyakitkan.

"Satu lagi Bu,"

Aku mengeram kuat, lalu kembali berteriak kencang. Kurasakan ada yang mengalir disitu yang kuyakini darah. rasanya menyakitkan, tapi aku tersenyum lega tak kala mendengar suara tangisan Bayi-bayiku.

"Alhamdulillah."

Kembali Ibu mengucapkan syukur, yang disusul olehku, kepada Allah.

Kutatap kedua bayi yang masih kemerahan itu, manis mereka gemuk dan lucu. aku terkekeh, saat bayi Perempuanku menggeliat pelan.

"Siapa namanya kak?"

"Aku menunggu Mas Feri yang akan memberi mereka nama."

Apa kabar dengan Mas Feri?

"Suamimu itu, tidak berguna sekali! Lihat, kakak melahirkan , dan dia tidak ada."

Nada berucap kesal, sambil mendengus kasar. aku hanya diam sambil menunduk.

"Nada.."

Terdengar nada ibu memperingati, dan Nada hanya menghela nafas, aku menatap Ibu sendu yang dibalas Beliau dengan tatapan lembut.

"Bu, maukan Ibu memberikan nama untuk kedua putra-putriku?"

"Kamu yakin?"

Dan aku mengangguk.

"Risma Dewantara, dan Rifky Dewantara."

Setelah beberapa Minggu yang menyiksa kulewati, akhirnya Mas Feri pulang. Kali ini berbeda, dia kembali dalam keadaan mabuk, terbukti karena aroma alkohol yang menyengat, terasa.

"Mas, kamu darimana ajah? Saat aku melahirkan, kamu gaada disamping aku?!" Ucapku marah, mengeluarkan unek-unek yang kusimpan belakangan ini.

Dia tak menjawab tapi langgsung masuk kekamar mandi membuatku semakin marah.

"Mas! Kamu darimana?" Tanyaku dengan nada tinggi.

"Hoek.."

Aku mendengus, sebelum pergi kekamar saat mendengar tangisan bayiku.

Sudah beberapa bulan ini Mas Feri menganggur, dan aku terpaksa selalu meminta uang dari Ibu, untuk membeli makan kami, dan susu untuk anak-anakku, karena aku tidak bisa mengeluarkan ASI. Mas Feri pun semakin melunjak, dia sering pulang malam, mabuk-mabukan dan bermain judi.

Dia benar-benar berubah.

Tak jarang, aku menangisi nasib.

"Kenapa semua jadi gini?" Gumamku berkali-kali.

Lalu tahun berganti tahun, namun Mas Feri semakin parah, dia semakin gila, sehingga aku yang harus bekerja. setiap hari aku pergi bekerja, lalu pulang larut malam, hingga hubunganku dengan anak-anakku merenggang. Karena mereka lebih kenal dengan Papanya, sedangkan aku?

Apa?

Pergi pagi sebelum matahari menampakkan diri, dan pulang saat matahari tenggelam. Menyedihkan.

Kemarin Mas Feri semakin kasar padaku, dia sering memukulku. Karena aku sering pulang malam, tapi memang jam segitu aku pulang dari toko tempatku bekerja, aku menyalakanya, karena siapa aku Bekerja hingga larut malam? Karenanya. Tapi yang ada, aku berakhir dengan disiksa. Dan sekarang ketika aku ijin sehari agar dapat bermain dengan anak-anakku, tapi yang kudapati mata pekatnya menatapku nyalang.

"Plakk."

Rasa panas terasa di pipi, tak kala suamiku, Mas Feri melayangkan tangannya.

"Krakk."

"Argg.."

Kembali aku meringis, tak kala dia menendang lututku, hingga aku terjatuh.

"Dasar Istri pemalas! Aku suruh kamu cari uang, bukannya malah maen sama Rifky dan Risma!" Bentaknya, dengan nada tinggi.

Aku memejamkan mataku, lalu mendesis takut. Aku melihat kedua anakku, menatapku bingung.

"Tapi mas, aku ijin, agar bisa bermain dengan anak-anak," ucapku.

Kembali air mata menetes melewati pipiku, lalu berakhir di lantai. Kenapa seperih ini?

"Dasar, wanita sialan! Pergi kerja! Jangan pulang sebelum membawa uang."

Mas Feri menarik rambutku kasar, rasa perih dan sakit terasa di kepala, tak kala rambutku dicabut paksa.

"Pergi!!"

Lalu, aku pergi dengan segala rasa sakit di hati. Selama ini aku sudah cukup lelah menghadapi derita, yang ditorehkan mas Feri padaku. Aku benar-benar tidak kuat?

Bolehkah aku pergi?

"Kamu yakin ingin bekerja di luar kota?"

"Iya rul, aku gak kuat lagi."

Aku terisak keras, melap sesuatu yang mengalir dari hidung. Memantapkan hati untuk pergi.

"Baiklah, kalau itu keputusanmu," ucapnya, "aku akan mengurusnya."

Sudah beberapa tahun aku menjauh dari Mas Feri dan anak-anaku, aku hanya mengirimi mereka uang. Hanya itu yang dapat kulakukan, waktu kepergianku Mas Feri menyesal, dan menyusulku. Lalu aku menolak dia terang-terangan dan resmi bercerai. Dan kemarin kudengar bahwa dia sudah menikah lagi, dan Ibu mengabari bahwa istri mas Feri baik, mengurus anak-anak dengan baik.

"Aku rindu.."

Hanya anak-anakku sumber semangatku disini, mereka sumber kekuatanku.

Tapi satu yang sulit bagiku..

"Aku telah menciptakan jarak yang besar bagi mereka, bahkan mereka tidak mengenalku," gumamku pedih.

Haruskah aku kembali? | Cerpen Sedih Ibu Maafkan Atas Kegagalan Anakmu Ini