Hati Bila Dipaksakan Pasti Takkan Baik

"Wi, aku suka kamu." Dari sudut mata kulihat bahu lelaki di sebelahku menegang. Lamat-lamat dia menoleh dan menatapku seolah sepasang tanduk tumbuh di kepalaku. Dibanding menoleh dan menatap matanya langsung, aku memilih memelototi tumpukan kotak penyimpanan alat musik di hadapanku, sambil tanganku mengelap kotak-kotak yang baru saja kubersihkan setengah jam yang lalu. Semenit yang terasa sangat panjang kemudian, aku memutuskan menyerah dan melangkahkan kakiku keluar ruangan, meninggalkannya yang ku tahu masih terdiam, dan aku tahu tatapan matanya masih mengikutiku.

Hujan sudah reda ketika aku melihatnya mendekat. Tanganku melesak semakin dalam di saku sweaterku yang sejujurnya tak cukup mampu menangkal suhu dingin. Sekarang pukul setengah enam sore, semua kegiatan ekstra kulikuler sudah berakhir setengah jam lalu. Dia berhenti di sisiku, menjulang satu setengah kepala lebih tinggi dariku, tinggiku bahkan hanya mencapai dadanya. Mengacuhkannya jelas lebih sulit daripada menghafalkan notasi lagu milik Stevie Wonder, namun aku tetap berusaha. Tanpa sadar aku menyenandungkan salah satu penggalan liriknya. | Cerpen Sedih Hati Bila Dipaksakan Pasti Takkan Baik

'I just called, to say i love you....'

Dia terkekeh, mengangkat punggung tangan untuk menutupi mulutnya. Dapat kurasakan lengannya yang menempel pada bahuku ikut bergetar. Tak lama kemudian dia menghela nafas, kemudian mengaitkan tangannya pada tanganku yang tampak tenggelam, kemudian menarikku ke arah motornya. Diam-diam aku menggenggam tangannya, mencoba merekam perasaan hangat yang menjalar ketika dia menggandeng tanganku. Bisa saja setelah ini semua tak akan pernah sama lagi.

Dia menyerahkan koper berisi saxophone miliknya kepadaku, kemudian menaiki motornya. Tanpa disuruh, aku membonceng motornya, dan meletakkan koper miliknya di antara kami berdua. Dia mengambil arah kanan ketika keluar dari pintu gerbang sekolah, jalan memutar paling jauh menuju rumahku. Hal yang selalu dia lakukan setiap kali dia merasa kami perlu bicara.

Lima menit berkendara, di jalan yang tidak banyak pengendara, dia memelankan laju motornya. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang melaju melewati kami. Sudah twilight, rembang petang. Lampu-lampu jalan sudah mulai dinyalakan. Sayup-sayup kudengar senandung yang terasa familiar. Aku membeku, lalu menjatuhkan kepala ke punggungnya yang lebar, dan menangis. Itu bukan sekedar senandung. Itu jawaban dari pernyataanku beberapa waktu yang lalu.

Kami tiba di rumahku sepuluh menit lebih lama dari biasanya. Aku turun dari jok motornya, menyerahkan koper miliknya sambil menunduk. Tak punya nyali memandang matanya.

Dia mengangkat tangannya, meletakkannya di kepalaku dan mengusak rambutku lembut, masih sama seperti biasanya. Aku menggigit bibir, mati-matian menahan air mata, dia jelas tidak akan suka.

Kemudian masih tanpa menatap matanya, bahkan tanpa berterima kasih, aku berbalik dan masuk kedalam rumah, dan menutup pintunya. | Cerpen Sedih Hati Bila Dipaksakan Pasti Takkan Baik

Dan juga menutup hatiku.

'...hati bila dipaksakan, pasti takkan baik.
Pantasnya kamu mencintai yang juga cintai dirimu.....'