Elena Please Wait

Air muka Elena pucat di depan kasir, dia baru menyadari dompetnya tak ada di dalam tasnya. Sekilas ditatapnya si kecil Al yang jongkok di dekat kakinya menikmati es krim yang baru saja dibukanya dan belum terbayar ...

Elena merogoh setiap sudut tas dan saku gamisnya berharap menemukan selembar uang untuk membayar es krim yang kadung dilahap anaknya. Wajahnya makin pias, dia tidak menemukan apa-apa.

"Mbak, maaf. Dompet saya ketinggalan di rumah berikut isinya. Apa bisa saya meninggalkan sesuatu untuk jaminan? Insyaa Allaah segera saya balik lagi menebusnya.", ujarku pelan pada kasir.

 "Aduh, gimana ya Bu. Saya takut salah. Sebentar saya panggil manajer toko saja ya.", jawab perempuan muda ber-make up tebal yang menjadikannya malah terlihat lebih tua. | Cerpen Cinta Elena Please Wait

"I'll pay!", sahut seseorang dari arah pintu masuk mini market.

Mereka berdua serentak menoleh ke pintu masuk dan demi melihat sosok itu seketika Elena merasakan tubuhnya lemas seolah tulangnya diloloskan satu-satu. Eugene ... lelaki tampan dengan sorot mata tajam, tinggi tegap dengan dada bidang yang pernah mengisi hati dan hidup Elena belasan tahun yang lalu.

"How much?", lelaki berkebangsaan asing yang tidak asing bagi Elena itu sudah berdiri di sebelahnya. Harum tubuhnya yang khas dan masih dihapalnya membuat Elena makin terpaku kaku di tempatnya tanpa kata-kata.

 "Dua belas ribu lima ratus, mister.", jawab kasir sambil senyum-senyum menggoda.

"Here's twenty.", Eugene menyodorkan selembar dua puluh ribuan.

"Kembaliannya, mister.", kata kasir masih terus tersenyum gatal.


"Take it.", sahut Eugene pada kasir sambil memasukkan dompetnya ke dalam tas selempangnya. Diliriknya Elena yang menatap lekat Al, tak berani menatapnya.


Eugene menghampiri Al, ikut jongkok di sebelahnya. Jantung Elena berdegup lebih kencang, tangannya gemetar. Ia seperti melihat dua lelaki yang sangat mirip hanya beda ukuran.


"Hello top guy. What's your name?", Eugene menepuk pundak Al hangat. Al menoleh ke arahku, matanya bertanya-tanya.


"Om itu menanyakan namamu, Nak.", terangku pada Al dengan suara pelan dan serak.

"Al Fatih, Om ...", Al menjawab sumringah, dia selalu senang jika ada yang menyapanya ramah.

"What a great name, your mom must be proud of you!", Eugeune mengacak rambut Al, mereka berdua tertawa kecil seolah sudah lama akrab.


Elena berhasil mencairkan kebekuan kakinya, lalu beranjak menyingkir dari depan kasir. Eugene ikut bergeming, ia berdiri sambil menggandeng tangan kiri Al kemudian berjalan ke arah meja bulat yang dikelilingi kursi-kursi plastik.


"Sit, please.", Eugene menatap Elena sambil menarik sebuah kursi. Elena menurutinya. Eugene lalu mendudukkan Al diantara mereka berdua. Memesan dua cangkir kopi, lalu terdiam sesaat mengamati Al yang hampir menghabiskan es krimnya dengan mulut belepotan.


"What's up, Elena?", sapa Eugene membuka percakapan.

"Sky is up.", jawa Elena datar. Eugene tertawa kecil mendengarnya. "What in earth are you doing here?", Elena akhirnya membuka suara lebih banyak.


Eugene menatap Elena dalam-dalam. Elena menemukan mata itu masih penuh cinta, kehangatan dan harapan, ia hampir saja menangis tapi harga dirinya berhasil menguatkan.

"I've been looking for you for moreless seven years, Elena!", suaranya sedikit meninggi.

"Do i look like i care?!?", jawab Elena sekenanya.


"Yes, you do!", Eugene seperti meyakinkan dirinya sendiri.

"Well, look again!", Elena balik menatap Eugene dengan tatapan yang disetel tidak peduli walaupun hatinya terasa gerimis.


"Please, Elena. Talk to me. Why???", Eugene mengulurkan tangannya hampir menyentuh jari-jemari Elena yang saling menggenggam gelisah tapi kemudian tersadar dan segera menariknya kembali. Ia menghargai pakaian yang dikenakan perempuan mungil di hadapannya.


"Ibu, aku sudah selesai!", teriak Al lantang memotong perkataan Eugene, sambil tertawa mempertunjukkan tangan dan mulutnya yang belepotan es krim.


Elena tersenyum. Eugene tertawa, dengan sigap dikeluarkannya sapu tangan dari kantong celananya lalu membersihkan kedua tangan dan mulut Al.


"Listen to me top guy. I know you wanna play outside soon but i need you to stay with us for minutes so i can talk to your mom. Because mommy will little bit comfortable talking in a crowd like this. Do you like to draw? Here's my book and my pen, you can draw what vehicles you like.", Eugene bicara panjang lebar seolah Al bakal mengerti ucapannya. Sementara Al terkekeh-kekeh, anak kecil itu geli mendengar aksen dan bahasa Eugene yang biasanya hanya ia tau lewat acara tivi High Five.


"Al boleh gambar kereta diesel di sini?", ia menunjuk buku yg disodorkan Eugene sambil melihat Elena meminta persetujuan.

 "Iya sayang, menggambarlah di situ.", sahut Elena lembut sambil tersenyum.

Seorang pelayan wanita datang mengantarkan pesanan. Harum kopinya menenangkan, Elena menghirup dalam-dalam aromanya. Ia merasa kewarasannya setengah terselamatkan.

"Elena, why are you hiding from me?"

"You know why ... I'm married, i have kids. And you're such a bad influence on me."

"You have married too seven years ago but you still want to meet me. We're even ..."

"Stop it. It's a big mistake!!!"

"Calm down, Elena ... i'm here not to argue. I miss you ..."

Elena hampir terisak, mukanya memerah matanya berair napasnya tersengal. Ia ingin segera berlalu dari momen ini.

"I am not the same person. I have changed. And I am fully happy for I am now. Don't ruin my happiness. I want you to stay away from my life ... please ..."

"I'll wait ..."

"Don't wait. You have to move on. Get married, have a bunch of kids like you want it. Be happy ..."

"I can't find someone like you."

"That's a sweet bullshit I ever heard in my age!", Elena tertawa sinis. Ia meneguk habis kopinya yang hampir dingin.

"Talking about age. How old is he?", Eugene menoleh ke arah Al.

"Almost seventh.", Elena menjawab pendek.

"I want to show you something.", Eugene mengeluarkan dompetnya. Di sodorkannya secarik kertas foto ukuran kecil. Elena melihat dua sosok laki-laki di foto itu. "That's my dad. And the little one was me."

Elena terkesiap, ia hampir-hampir saja mengira anak kecil itu Al.

"Is he my son?", pertanyaan itu seperti belati yang menghunus tepat di jantung Elena.

"Of course not!", Elena setengah berteriak. Ia bangkit dari duduk dan menggandeng Al keluar dari tempat itu.

"Elena! Elena! Elena please wait!"

Elena masih bisa melihat dengan ekor matanya betapa lelaki itu bersegera mengeluarkan uang dari dompetnya, menaruhnya di meja dan berusaha mengejarnya. | Cerpen Cinta Elena Please Wait

Terlambat. Elena sudah masuk ke dalam taksi dan berlalu pergi.