Ditakdirkan Menjadi Anak Yang Terbuang

Aku Fahri. Hanya begitu namaku, tanpa embel-embel di belakang termasuk fam. Jangan tanya kenapa. Jangankan rupa, nama ayah pun aku tak tahu. | Cerpen Sedih Ditakdirkan Menjadi Anak Yang Terbuang

Aku Fahri. Usiaku belum mencapai enam. Aku mungkin telah ditakdirkan menjadi anak terbuang, bahkan oleh sesosok pria yang harusnya kupanggil Ayah, yang dari darah dagingnyalah aku berasal. Aku tak pernah mengenal apalagi mengecap cinta kasihnya.

Tak hanya itu. Wanita yang telah dipilih Allah untuk melahirkanku pun sepertinya tak mengharapkan kehadiranku. Ibu? Haruskah aku memanggilnya Ibu? Di usia dua tahun dia menyerahkanku --atau membuang?-- pada pamannya sebelum pergi. Terakhir kudengar dia sudah menikah lagi dan memiliki anak, yang diinginkannya. Sedangkan pria itu, aku tak pernah tahu kabarnya. Jika saat ini aku membenci atau tak mengakui keduanya, kalian mungkin mengataiku durhaka. Lantas apa sebutan untuk mereka? Astaghfirullah. Meski terbuang, aku tak boleh menjadi anak durhaka. Mungkin mereka punya alasan sendiri. Orang dewasa memang kadang susah dipahami. Terlebih oleh bocah ingusan sepertiku.

Bersama paman ibuku dan istrinya, aku mulai merasakan nikmatnya masa kecil. Bahagia rasanya ketika Allah memberiku kesempatan untuk memanggil seseorang Ayah dan Mama. Aku tak perduli meski tak setetespun darah mereka yang menitis di tubuhku. Mereka sangat menyayangiku melebihi kasih sayang orangtua kandungku. Ah, aku salah. Bagaimana bisa aku membandingkan dua hal yang aku tak tak tahu apa-apa tentang salah satunya? Ya, bagiku berbicara tentang kasih sayang orangtua kandungku tak ubahnya seperti menceritakan kepada seseorang yang amnesia akut tentang masa lalunya. Aku tak punya bayangan sama sekali.

Empat tahun aku menikmati bahagiaku. Bahagia ketika dicari-cari saat aku keasikan main dan lupa pulang. Bahagia ketika merengek tanpa beban meminta dibelikan jajan. Bahagia ketika memamerkan baju baruku pada teman-teman dan dengan bangga mengatakan 'Ayah dan Mama yang belikan'. Masih banyak bahagia yang tak bisa kusebutkan satu persatu dalam rentang waktu empat tahun itu. Empat tahun yang akan selalu kupeluk erat dalam hati dan ingatanku. Empat tahun yang akhirnya hanya bisa kujadikan sahabat kenangan. Karena setelah empat tahun terindah itu, prahara datang menyapa keluargaku.

Aku tak bisa menjelaskannya sebab ini masalah orang dewasa. Dan aku? Aku hanyalah bocah menjelang enam tahun yang sedang dipaksa takdir untuk merasakan imbasnya. Yang aku tahu, Mama pergi dari rumah dan membawaku. Tapi tak berselang lama, aku dikembalikan ke rumah Ayah. Aku kembali ke istana kami. Istana yang terlanjur aku bayangkan Ayah dan Mama akan menua bersama di dalamnya. Dan aku menjadi pangeran mereka selamanya. Allah, apa aku tak cukup layak untuk mimpi sesederhana ini?

Bagiku tak ada yang salah karena orang dewasa pasti memiliki alasan atas setiap hal yang mereka lakukan dan keputusan yang mereka ambil. Aku hanya bisa menerima tanpa banyak tanya. Bahkan nanti jika Allah mengijinkanku menghirup udara menghembus nafas hingga dewasa, aku tak akan mempertanyakan ini. Hanya satu hal yang aku sesalkan, kalaupun itu boleh.

Aku memiliki dua ayah dan dua ibu. Tapi pada akhirnya, hanya tersisa satu ayah yang bertahan di sampingku. Entah sampai kapan. | Cerpen Sedih Ditakdirkan Menjadi Anak Yang Terbuang