Sudah tujuh hari tujuh malam aku menahan diri, mengunci hasrat untuk pergi ke dermaga. Bahkan aku sudah bertekad takkan kesana berbulan-bulan, hanya berkunjung sesekali kemudian pulang.
Tak jarang aku bertengkar hebat dengan fikiranku sendiri untuk pindah dari kota ini agar tak berkunjung ke dermaga untuk selama-lamanya. | Cerpen Sedih Dia Yang Pernah Tertinggal Di Dermaga
Namun hari ini entah kenapa aku melangkah kesana, ke arah dermaga. Benar, terkadang mata memandang tak tentu arah. Namun hati menuntun kaki melangkah ke arah tujuan yang diinginkannya.
•••••
Ada sebuah bangku si dekat dermaga, bentuknya memanjang. Cukup untuk tiga orang. Setiap kali ke dermaga aku selalu duduk di bangku itu, seperti hari ini. Tak ada yang pernah memakai bangku ini, kecuali aku dan dia. Iya, aku ke dermaga ini untuk menunggunya mengisi tempat kosong beberapa senti meter dari arahku. Dia alasan mengapa aku melakukan semua ini. Alasan ketakutanku yang konyol dan keberanianku yang menyedihkan.
Sebelumnya, aku duduk di bangku ini hanya untuk pelarian dari kekecewaan. Dari sini aku bisa melihat lalu lalang manusia, mendengar hiruk pikuk celoteh mereka satu dengan yang lain, menyaksikan drama atau tragedi mengharukan, merasakan angin laut yang menerpa wajah, dan yang paling ku suka adalah memandangi lautan di seberang.
Setidaknya disini tidak ada yang peduli apakah aku sedang kecewa atau bahagia, semua memiliki urusannya masing-masing. Tiba-tiba dia datang berkelakar dengan santai, dia yang sebenarnya sumber kekecewaan ku.
Beberapa bulan terakhir semakin sering dia melihatku di dermaga, semakin sering dia datang menyapa. Awalnya aku risih, malah benci. Namun perlahan aku menikmati, bahkan diam-diam menunggu kedatangannya. Berpura-pura tak acuh, meski sangat memperdulikannya. Benci perlahan memudar karena sapaan yang selalu hangat, sedikit demi sedikit rasa yang pernah kecewa mulai berdamai karena dia selalu membuatku tertawa.
Entah apapun alasannya melakukan semua ini, aku berterima kasih. Senyawa yang telah lama mati dalam jiwa kembali berbenih, meski aku tahu benih itu benih daur ulang yang tumbuh takkan seindah bunga saat pertama kali mekar.
Hari ini sedari pagi aku duduk berselonjor di bangku dekat dermaga, berpura-pura menikmati keramaian. Aku sudah menunggunya seharian, mungkinkah dia tidak akan datang? Apa-apaan, bukankah ini yang ku inginkan? Agar aku bisa datang ke dermaga tanpa rasa khawatir. Tapi entahlah, hatiku seperti menunggu.
Mentari mulai beranjak ke peraduan, meninggalkan semesta dengan malam pekat. Kapal-kapal nelayan mulai sepi, beranjak pergi. Namun orang-orang mulai berdatangan, pasangan muda-mudi, pasangan suami istri yang baru merajut janji merpati, sekawanan sahabat, juga anak-anak kecil yang berlarian.
Orang-orang sekitar sini selalu suka menghabiskan malam di tempat ini. Menikmati kelap kelip lampu kapal di kejauhan, menggigit jagung bakar pedas atau menggetek seikat kacang rebus sembari berbincang mesra.
"Hai..."dia tiba-tiba melambaikan tangan di depanku, tersenyum menyebalkan seperti biasa.
"Hai juga" balasku pelan. Diam-diam aku tersenyum.
Dia mulai duduk di dekatku, menyisakan ruang kosong di tengahnya. Seakan mengisyaratkan kami sekedar teman berbincang-bincang. Syukurlah malam ini bulan purnama, setidaknya aku dapat menyembunyikan pipi yang mulai merah merona karena gelanyar aneh di seluruh tubuhku.
Kami terdiam, memperhatikan deru ombak yang terdengar merdu menenangkan. Menenggelamkan setiap kesedihan dan membungkam seluruh kebohongan.
"Kau sedang apa disini?" ia bertanya tanpa menoleh ke arahku.
"Seperti yang kau lihat, seperti biasanya aku."
Dia tersenyum, "kenapa kau masih menunggu? Meskipun kau tahu aku sudah berlayar meninggalkan dermaga cukup lama?"
Deg! Ada sesak yang terasa di dada, meski tahu lambat laun dia pasti menyadarinya.
"Mengapa kau tetap datang menjumpaiku meskipun kau telah berlayar?"
Dia terkekeh.
"Bukan hanya kau, aku mengunjungi setiap dermaga tang ku lewati di sela pelayaranku. Namun hanya kau yang paling setia menunggu, berdiam di bangku ini, sendirian."
"Apa aku harus memintamu tak datang menemui ku lagi?"
Dia terdiam memandangi ku, kemudian menggeleng pelan.
Aku beranjak, tanpa pamit. Bulir-bulir bening berjatuhan membasahi pipi yang masih merah merona. Dan dada yang kian sesak. | Cerpen Sedih Dia Yang Pernah Tertinggal Di Dermaga
•••••
Jangan menunggu seseorang yang telah berlayar, meskipun dia sempat datang menemui. Karena pasti dia akan berlayar kembali. Menunggu adalah berharap, dan janganlah berharap untuk seseorang yang telah memutuskan pergi.