Dari Hati Yang Menolong Tanpa Pamrih

"Assalamualaikum, Mak!" | Cerpen Motivasi Dari Hati Yang Menolong Tanpa Pamrih

Seruan terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu kayu.

"Waalaikumsalam, ya sebentar," jawabku sambil berusaha bangkit dari ranjang. Sudah pukul 06.00, tapi aku rebahan setelah subuh tadi, akibat encok yang kambuh dan memaksa istirahat.

"Mau minta tolong, Mak," perempuan muda dari kampung tetangga menyalamiku. Rohmah namanya.

"Masuklah dulu, Neng," kuajak duduk di kursi bambu dalam ruang tamu. Tak bisa dikatakan ruang tamu, karena hanya satu ruangan berisi sebuah kursi panjang dari bambu, lemari tua dan sehelai kasur tipis di atas ranjang di sudut ruangan.

"Mak, bisa tolong urus jenazah mpok Romlah kah? Meninggal semalam setelah jatuh di kamar mandi."

"Innalillahi ... semoga husnul khotimah."

"Mau dishalatkan ba'da dzuhur, Mak."

"Insyaallah bisa, Neng.

"Makasih ya, Mak. Tapi maaf sebelumnya kalau nggak bisa bayar upahnya," ucapnya perlahan lalu berganti isakan.

"Astaghfirrullah, Neng ... Emak nggak pernah minta dibayar, ikhlas lillahi ta'ala. Sudah kewajiban kita sebagai sesama muslim untuk mengurus jenazah sampai selesai."

Terasa sedih menyayat hatiku, memang aku miskin dan banyak yang menakar apa yang kukerjakan dengan nominal rupiah. Hanya Allah yang tahu, semua kulakukan dengan berharap pahala saja. Kupeluk Rohmah yang tak henti menangis.

"Mpok Romlah wafat tanpa meninggalkan harta, Mak. Anaknya masih kecil saat ditinggal suami merantau, dan sampai sekarang tak tahu rimbanya."

"Emak ngerti, Neng. Pulanglah, kita urus jenazahnya sebelum siang." Setelah Rohmah berpamitan, segera kusiapkan perlengkapan yang harus dibawa. Serbuk kamper, air mawar, kapas, dan sabun tersedia. Ku ambil lipatan kain putih di lemari reot tanpa daun pintu. Kain kafan dan tikar pandan simpanan yang sedianya akan kupakai sendiri. Tapi ada yang lebih membutuhkan sekarang. Bismillah, semoga menjadi tabungan amalku.

Langkahku terhenti di depan sebuah rumah berdinding tripleks, setelah setengah jam berjalan kaki melalui gang-gang berliku di kampung ini. Hanya beberapa orang terlihat di rumah duka.

"Mak, silahkan masuk!" Seorang pemuda menyambut. Memperkenalkan diri sebagai suami Rohmah.

"Tempat sudah disediakan, Mak." Rohmah muncul lalu menunjukan tempat pemandian di samping rumah. Peralatan mandi jenazah dan keranda yang disediakan pengurus musholla.

Tak ada yang mendampingi saat almarhumah ku mandikan. Bahkan anak semata wayangnya memilih bermain hape di ujung gang. Miris, mengingat diriku sendiri yang tak punya keluarga. Entah siapa yang akan mengurus jenazahku kelak.

"Terimakasih banyak, Mak." Rohmah tak bisa menahan haru saat melihatku mengkafani kakaknya. Hanya dia dan suaminya yang terlihat dirumah ini. Para pelayat sudah mulai meninggalkan rumah Romlah. Tersisa beberapa pria diluar, yang akan membawa jenazah untuk dimakamkan.

"Alhamdulillah, sudah selesai Neng. Segeralah dishalatkan. Emak pamit pulang ya, insyaallah dimudahkan semua urusan Neng dan keluarga."

"Maafkan Neng ya, Mak." Perempuan muda itu menangis lagi di pelukanku. Terlihat begitu banyak beban ditanggungnya.

"Sabar dan tawakal, serta ikhlas. Cuma itu kuncinya Neng."

Kulangkahkan kaki perlahan menyusuri gang sempit berbatu. Seperti sempitnya hati orang-orang yang tidak beriman. Yang menilai setiap perbuatan adalah pekerjaan tanpa hati, dinilai dengan lembaran uang. Tanpa pernah menyadari, semua yang ada di dunia ini hanyalah sementara.

Bekal yang kita perlukan adalah amal, yang bisa dikumpulkan dari hati yang menolong tanpa pamrih. Terbersit di hati, cukupkah bekalku? | Cerpen Motivasi Dari Hati Yang Menolong Tanpa Pamrih