Cowok Ganteng Yang Membuatku Malu

Bagi kami anak ma’had (pesantren), hari Jum’at merupakan weekend yang ditunggu-tunggu, menggantikan hari Minggu. Pada hari Jum’at sebagian kami akan menghabiskan waktu untuk bersih-bersih. Mulai membersihkan lemari, menyetrika atau mencuci pakaian yang sudah menumpuk. Sebagian lagi sibuk berolahraga di lapangan sambil cuci mata ke anak santri. Sisanya pergi ke bagian Riayah (Pengasuhan) untuk minta surat izin. Seperti yang kulakukan dengan temanku, Dijah. | Cerpen Lucu Cowok Ganteng Yang Membuatku Malu

Kami rela berpanas-panasan ria demi mendapatkan SIM (surat izin ma’had). Berbaur dengan yang lainnya memenuhi halaman bagian riayah. Satu surat izin ma'had untuk dua nama santriwati.

Giliran Dijah masuk ke ruang riayah. Dijah terlihat serius meyampaikan alasannya untuk izin keluar ma’had. Sedangkan aku di luar, masih berpanas-panasan komat-kamit membaca do’a semoga kami dapat surat izinnya.

Terlihat ustazah menulis sesuatu di atas kertas dan memberikannya kepada Dijah. Yes!! Kami dapat. Dengan wajah berseri Dijah berjalan ke arahku.

Surat izin ma'had ini berlaku dari jam 10.00-17.00 WIB. Jika terlambat, siap-siap saja kena iqob (hukum).Tanpa membuang waktu kami langsung cuss naik angkot.

Target pertama kami yaitu pasar Sambu. Kami ingin membeli baju dan jilbab baru. Pukul 14.00 WIB perburuan baju selesai.

Tujuan selanjutnya ke Carrefour, sekedar cuci mata atau membeli stok sabun dan makanan ringan. Jika masih banyak waktu tersisa, biasanya santriwati seperti kami akan memilih menonton bioskop.

Puas cuci mata di Carrefour, kami memutuskan makan siang di warung bakso. Inilah bahagianya jika dapat surat izin, bebas mau makan apapun yang tidak tersedia di ma’had. Pukul 15.20 WIB kami memtuskan balik ke ma’had naik angkot.

Di tengah perjalanan, angkot berhenti. Seorang laki-laki muda naik, duduk di depan kami. Dijah menyenggol tanganku, memberi pertanda. ‘Ada cowok ganteng’ begitu kira-kita artinya.

Wajahnya putih bersih tanpa jerawat, hidung mancung, bibir tipis. Pakai sepatu sport, kaos oblong dengan kemeja kotak-kotak tanpa dikancing. Cool lah pokoknya.

“Jamil jiddan (ganteng banget),” Dijah masih menyenggol-nyenggol lenganku dengan sikunya.

“Na’am, ‘aroftu (iya, aku tau),” jawabku. “Undzuri huwa yatabassam, hulwun (liat, dia senyum, manis),” sambungku tak kalah antusias.

“Isali nimrotul hatif, lahu habibatun am la?(tanya nomor hpnya, dia uda punya pacar atau belum?)” Dijah menantangku.

“Majnun! astahi lah (gila! aku malu lah).”

Bla…bla…bla….

Kami sengaja berbahasa Arab supaya si cowok ganteng ini tidak tahu kalau kami ceritain.

Sebagian anak pesantren memang begitu. Di ma’had kami diwajibkan berbahasa Arab dan Inggris, tetapi tetap saja diam-diam kami berbahasa Indonesia, yang penting tidak ketahuan. Sebaliknya ketika kami di luar, dengan senang hati kami berbahasa Arab.

Ada beberapa alasan kenapa kami suka berbahasa Arab saat di luar ma’had.

Pertama, secara tidak langsung kami ingin memberitahukan kepada orang-orang bahwa kami anak pesantren.

Kedua, kami bebas membicarakan apapun yang kami mau tanpa bisik-bisik.

Ketiga, berbahasa Arab setidaknya membuat kami terlihat pintar. Pokoknya ada kebanggaan tersendiri.

Kami masih ngobrol pakai bahasa Arab tapi dengan topik lain. Kira-kira 200 meter sebelum sampai di gang pesantren, si cowok ganteng membuka suara dan bertanya.

“Ukhti, ayyu sa’ah al an? (ukhti, jam berapa sekarang?)”.

Sontak aku dan Dijah terdiam membisu untuk beberapa saat.

“Assaa’atur robia’ah wa nisf (jam 4.30),” akhirnya Dijah bersuara, sedangkan aku buang muka pura-pura melihat jalanan menyembunyikan rasa malu luar biasa.

“Syukron (terima kasih),” ucapnya dengan senyum penuh kemenangan.

Dijah tak menjawab, hanya tersenyum tipis, malu telak.

Aku yakin 100% dia cuma pura-pura tanya jam berapa, karena kulihat di tangannya ada jam. Dia mengotak-atik jam tangannya seolah jamnya rusak atau terlambat. Pasti itu alibinya saja. Dia cuma mau memberitahukan kami bahwa dia juga bisa bahasa Arab. Dasar! | Cerpen Lucu Cowok Ganteng Yang Membuatku Malu

Selama itu aku dan Dijah terduduk diam tak sanggup berkata-kata lagi. Akhirnya kami sampai di depan gang Pesantren. Buru-buru aku dan Dijah turun dari angkot. Kukira dia akan ikut turun juga, ternyata tidak. Syukurlah….

Angkot berlalu membawa cowok ganteng itu. Aku yakin 100 %, sekarang dia sedang tertawa terbahak-bahak.