“Jangan lupa, obatnya dihabiskan, Dik,” kata petugas kesehatan yang memeriksa Kirana. Petugas kesehatan berseragam putih biru itu kemudian menyerahkan resep untuknya. Kirana yang sudah hafal prosedur berikutnya segera melangkah ke bagian farmasi, untuk mendapatkan obat.
“Yang ini harus habis, Dik!” kata petugas yang tak dapat ia amati wajahnya karena terhalang sekat loket.
“Ya, Mbak!” jawab Kirana sedikit keras, ruangan itu amat bising, karena pasien dari berbagai usia tercampur. Maklum, ini hanya tempat pelayanan kesehatan tingkat dasar, jadi wajar! Pasien tidak dikelompokkan berdasar keluhan atau usianya. Sehingga menjadi riuh oleh suara tangisan anak-anak sakit.
“Nah, yang ini diminum kalau sakit atau demam saja, kemudian yang ini di minum kalau nggak bisa tidur. Sering nggak bisa tidur, ya?” tanya petugas itu. Wajahnya direndahkan, sehingga hidungnya yang mancung terlihat menyembul di lobang loket. | Cerpen Sedih Gadis Cantik Berwajah Seputih Kapas
“Akhir-akhir ini aja, Mbak,” jawab Kirana sambil menekan kepalanya yang berdenyut sakit.
“Banyak istirahat, biar cepat sembuh!” nasehatnya sambil menyerahkan obat yang sudah dijadikan satu dalam plastik kresek.
“Sudah selesai?” tanya Danu sambil mencoba tersenyum menyambut kehadirannya. Beberapa detik sebelumnya ia masih tertawa-tawa bercanda dengan gadis di depannya. Sekilas Kirana hanya tersenyum menatap gadis itu, kemudian mengangguk sopan. Ia tidak kenal dekat dengan gadis itu, tapi banyak yang bilang, mereka pernah ada hubungan khusus semasa SMA.
Pasti hanya sebuah kebetulan mereka bertemu di sini. Juga sebuah kebetulan ketika kemarin siang Kirana menemukan chat mesra mereka. Mungkin juga hanya sebuah kebetulan, ketika beberapa waktu yang lalu mereka terlihat bersama-sama di sebuah acara pernikahan saudara Danu. Kebetulan juga bila saat itu Kirana ada di pesta itu.
“Kita langsung pulang?” tanya Danu padanya, namun ekor mata cowok tampan itu masih lekat menatap gadis yang diam-diam juga melempar senyum padanya.
“Kalau kau masih mau di sini aku bisa naik ojek,” jawab Kirana ketus. Dengan muka terlipat bergegas melangkah meninggalkan Danu.
Tanpa menjawab Danu segera mendekati motor yang diparkirnya di dekat mereka. Ia tak suka berdebat, terlebih di depan mantan pacarnya. Wajahnya sedikit memerah saat meraih stang motornya. Gadis itu segera menyisih, memberinya jalan kemudian berpamitan meninggalkan mereka. Dari arah belakang Kirana menatap tubuh lampai gadis itu, juga kakinya yang jenjang melangkah di halaman Klinik. Pinggulnya yang bulat berayun pelan, jelas terlihat hanya terbungkus celana panjang dari bahan elastis dan ketat. Berbeda jauh dengan dirinya yang hanya memiliki tinggi seratus empat puluh delapan senti dengan berat empat puluh lima kilo gram itu terkesan mungil.
Danu bukan play boy, ia tahu dan itulah yang kemarin diyakininya. Namun keyakinannya seolah terkoyak melihat banyaknya kebetulan yang tak henti menghampirinya. Keyakinan itu datang terlihat semakin kuat justru saat pernikahan mereka semakin dekat. Mengingat itu kepala Kirana kembali berdenyut sakit.
“Kau tidak mengajakku masuk?” tanya Danu saat Kirana turun dan meninggalkannya begitu saja. Lelaki muda itu berjalan di belakang Kirana sampai di teras rumah. Tapi seolah Kirana tak menyadarinya.
“Kupikir kau masih ada kesibukan yang lain, pulanglah! Atau kau temui dia lagi,” tatap Kirana tajam. Nada suaranya terdengar lebih ketus dibandingkan saat tadi mereka berbicara di parkiran Klinik.
“Akhir-akhir ini kau marah-marah mulu. Mudah curiga, atau ...? Ah sudahlah,” putus Danu akhirnya kemudian berbalik menuju motor yang masih terparkir di halaman. Percuma juga bicara dalam kondisi seperti itu. Kirana lebih membutuhkan istirahat daripada kehadirannya.
“Minum obatnya, Say ... biar cepat sembuh!” katanya sambil menghidupkan motor. Kirana tak peduli. Ia melangkah masuk dan kemudian mengempaskan tubuhnya di atas kasur di kamarnya. Berharap bisa istirahat lebih baik.
Matanya masih menatap marah pada langit-langit kamar yang tak berdosa. Beberapa kejadian terkhir ini membuatnya tertekan maksimal! Kepalanya masih berdenyut pelan, namun menimbulkan rasa sakit yang kian berlipat. Tangannya yang gemetar meraih botol air mineral yang masih tersisa separoh di dalamnya. Dengan cepat ia meraih kantong plastik yang berisi obat dari Klinik. Setelah membaca labelnya ia mengambil sebutir dan menelannya pelan.
Beberapa menit berselang, rasa sakit itu mulai berkurang. Namun bayangan Danu masih terus berseliweran di pelupuk matanya. Tangannya mengelus permukaan perutnya yang kini terasa berbeda. Lamunannya kembali melayang pada kejadian berbulan yang telah lewat.
Awalnya siang itu Danu main ke rumah saat semua penghuninya sedang berpergian.Mereka hanya duduk di depan TV menonton sebuah sinetron. Awalnya mereka hanya saling pandang, lalu tangan Danu terulur membelai lembut rambut Kirana. Hingga terjadilah yang tak semestinya terjadi. Bukan hanya sekali, bahkan terulang dalam bilangan yang Kirana sendiri telah melupakan.
“Aku telat!” bisik Kirana sore itu, setelah seminggu lebih ia tak mendapatkan haidnya.
“Maksudmu?” tanya Danu panik.
“Mungkin aku hamil,” bisik Kirana lirih.
Sejenak wajah Danu tampak terkejut. Raut mukanya kelihatan masgul. Kecewa dan putus asa. Namun akhirnya ia berpikir, tak masalah mereka menikah. Keduanya punya pekerjaan. Sejak awal mereka menjalin hubungan sudah merencanakan untuk menikah. Meskipun tak berharap akan secepat ini!
“Kita akan menikah, tapi jangan katakan pada siapa pun keadaanmu. Aku akan bertanggung jawab,” bisik Danu akhirnya. Setelah sekian kali mondar-mandir di ruangan itu.
Lelaki muda itu memang menepati janjinya. Hari pernikahan mereka tinggal dua minggu lagi. Tapi dalam beberapa hari terakhir ada beberapa hal yang selama ini Kirana tak mengetahuinya tentang Danu, dan baru dimengertinya hari ini. Hal itu membuat Kirana sedikit shock.
“Kepalaku sakit dan mual-mual terus,” jawan Kirana saat sore itu Narin menjenguk.
“Kehamilan di usia muda juga sering menimbulkan sakit kepala dan mual-mual, Ran,” kata Narin yang sore itu datang menengok, “tapi bisa juga merupakan gejala penyakit lain yang lebih serius.”
Sejenak ia menatap Narin. Dari mana dia tahu kalau dia sedang hamil? Bukankah hanya dia dan Danu saja yang mengetahui tentang itu?
“Tapi kau kan tidak sedang hamil, Ran. Jadi sebaiknya segera periksa ke rumah sakit. Jangan-jangan ada yang serius dengan sakit kepala yang sering kau rasakan,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kau dirujuk ke rumah sakit di kota?” mata gadis itu sedikit membeliak saat menemukan surat rujukan dari Puskesmas ke rumah Sakit.
Kirana hanya mengangguk. Konon kata petugas tadi ia harus berobat pada seorang spesialis di Rumah sakit kota yang peralatannya lebih lengkap. Tapi bukan itu yang membuatnya khawatir. Ia lebih khawatir pada sikap Danu akhir-akhir ini. Mestinya pasangan yangmendekati hari pernikahan akan lebih bahagia karena waktu pernikahan mereka yang semakin dekat. Tapi tidak dengan Kirana. Ia semakin gelisah, merasa ada banyak hal dalam diri Danu yang kini mulai mengganggu perasaannya.
“Pernikahan kan memang tentang dua pribadi yang akan menyatu, Rana. Setiap orang selalu unik bagi orang yang lain. Kelak kau akan menemukan, Danu yang selama ini kau kenal tidaklah sama persis dengan yang kau hadapi dalam hari-harimu. Ibumu ini masih terus belajar tentang ayahmu. Selalu ada hal-hal baru yang akan kau temukan pada Danu,” kata Ibu saat ia memutuskan untuk menerima pinangan Danu. Ah! Lebih tepatnya karena dalam tubuhnya ada janin hasil hubungannya dengan Danu.
“Saat kau memutuskan untuk menerima, berarti kau harus siap dengan semua perubahan yang terjadi pada suamimu, Ran. Baik atau pun buruk, itu akan menjadi hari-harimu,” sambung Ibu sambil menatap tajam. Seolah mata lembut itu menangkap kegelisahan yang terperangkap di manik matanya.
Ibu selalu benar! Keraguan dan kegelisahan itu kini mulai merayapi hari-harinya bersama Danu. Seperti beberapa detik kemudian, ketika gawainya bergetar.
“Ma ...” panggil Danu lewat pesan What’s App.
“Sudah malam tidurlah,” balas Kirana.
“Ada yang mau aku omongin.”
“Kepalaku masih sakit.”
“Obatnya sudah diminum belum?”
Sunyi sejenak. Ada rasa kesal membongkah di hati Rana. Ingatannya kembali melayang ke parkiran Klinik tadi siang.
“Ma ... udah tidur, ya?” pesan itu masuk lagi setelah beberapa menit tak ada jawaban dari Kirana.
“Sudah ... sekarang kau bisa lanutkan chat sama dia,” balas Kirana kesal. Danu masih terlihat berbagi canda dengan mantannya di medsos mereka. Hatinya terasa perih.
“Kau kenapa, sih? Biasa aja, kali ... gak usah sewot gitu, Ran.”
“Aku nggak suka!” jawabnya ketus.
“Nggak suka apanya?”
“Kamu masih belum bisa melupakan dia, kan? Masih saja mengingatnya setiap ada kesempatan. Kalian masih saja berhubungan.”
“Kami berpisah baik-baik, Ran. Wajar sampai kini pun hubungan kami tetap baik.”
“Aku keberatan hubungan kalian tetap baik, itu sakit bagiku.”
Klek. Gawai ia matikan. Namun beberapa menit kemudian Kirana berubah pikiran. Itu pasti menyenangkan bagi Danu. Bisa jadi memang itu yang diharapkannya.
Kembali ia raih gawai yang tergeletak pasrah saat ia lempar tadi.
Kini matanya yang redup mulai menjelajahi profil akun Danu. Matanya melebar saat menemukan postingan Narin di wall Danu. Baru dua menit yang lalu.
Narin? Sahabatnya? Bisiknya dalam hati.
Danu –Wah, ternyata masih tersimpan rapi— emoticon wow
Narin –Tentu dong, Say ...—
Danu –- Masih ingat yang ini nggak? — Danu melampirkan sebuah foto yang lain.
Narin –- hahaha —
Detik demi detik keduanya saling mengunggah foto-foto ketika mereka di SMA yang sama sambil saling berkomentar. Setelah kehabisan foto dan kata-kata beberapa menit kemudian mereka saling kirim stiker. Awalnya hanya jempol dan bunga, lama-lama gambar hati mulai berhamburan di dinding mereka.
Rasa sakit menyentak di sudut hati Kirana. Lebih sakit dari kepalanya yang terus berdenyut. Sakit di kepalanya tak membuatnya merintih. Namun rasa sakit di dadanya membuat jiwanya seolah ingin menjerit. Ia sungguh-sungguh kecewa pada sikap Danu juga Narin yang selama ini dia anggap sebagai sahabat setianya. Dikhianati baginya merupakan sakit yang paling sempurna.
Berkali tubuh mungilnya bergulingan di ranjang yang selalu mendengar doa-doanya untuk Danu. Ranjang yang selalu menjadi saksi saat mereka menjawab kesunyian dan kerinduan dengan banyak cara. Ranjang yang telah menghadirkan kehidupan baru dalam tubuhnya. Kini ranjang ini pula lah yang telah mengubah rindu tanpa jeda itu menjadi kecewa.
Terlalu berat bila ia harus menjalani semuanya sendirian. Danu adalah alasan untuk menjadi kuat dan ingin bertahan. Tapi kini keyakinan itu bagai tercabik oleh sebuah kebetulan yang terpampang di depan mata.
Tangan gemetar Kirana meraih plastik kresek yang sengaja ia letakkan dalam batas jangkauannya.
Kena! Bisik hatinya saat kantong itu teraih oleh tangan kanannya. Botol kemasan mineral yang tergeletak tak jauh darinya teraih dengan tangan kirinya. Jari runcingnya gemetar saat membuka tutupnya.
Tidur!
Hanya itu yang ia inginkan. Ia ingin melupa meskipun mungkin hanya untuk sejenak. Melupakan kenyataan bahwa bukan masih bersama mantannya itu tapi juga bersama Narin sahabatnya.
Tanpa beranjak dari tempatnya berbaring, plastik pembungkus obat ia buka dan ia tuangkan isinya ke mulut yang setengah terbuka, disusul beberapa teguk air mineral yang sudah ia siapkan. Tertelan sudah semuanya.
Kelopak matanya mendadak terasa berat. Kian berat ... hingga akhirnya Kirana membiarkan dirinya hanyut dalam ketidaksadaran. | Cerpen Sedih Gadis Cantik Berwajah Seputih Kapas
Paginya rumah itu gempar. Tubuh gadis berusia dua puluh tiga tahun itu ditemukan terbujur kaku di ranjangnya dalam kamar. Senyum beku menghias wajahnya yang pias seputih kapas. Pipi itu tak lagi menampakkan rona. Jantung itu tak lagi berdetak. Nadinya pun tak lagi mengalir. Tak ada lagi tanda kehidupan di tubuh Kirana.
Gawai itu masih tergeletak di sisi kepalanya dalam keadaan menyala. Danu menatapnya sesaat, kemudian tersenyum samar. Ia sudah menghapus postingan chatnya dengan Narin semalam. Seperti yang selama ini mereka lakukan. Danu tidak tahu, malam tadi kebetulan Kirana melihatnya. Ia melempar senyum tipisnya saat ekor matanya bertaut dengan tatapan Narin yang entah maknanya.|
Ada banyak kebetulan di dunia ini, namun tak jarang sesuatu yang kita anggap hanya kebetulan menjadi kenyataan yang mencelakakan orang di sekitar kita. Ada banyak candaan yang bagi kita mungkin terasa seru, tapi menyakitkan bagi orang terdekat dengan kita.