"Ngapaen mondok? Ndak ada masa depan. Anak-anaknya pada kolot. Kudisan, panuan dan penyakitan. Ntar kamu ketularan dari mereka." Aku lekas keluar setelah mengucapkan itu pada adik lelaki. Dada ini sedikit memanas. Bagaimana tidak, berkali-kali dia kusarankan melanjutkan untuk kuliah. Namun, tetap saja ia memilih masuk pesantren. Kali ini, rasa muak tidak bisa tertahankan. Pasalnya, bapak dan ibu juga membela si bungsu.
"Fitri! Tolong tas Kakak dibawa kemari," pintaku pada Fitri, kakak perempuannya. Aku jadi malas kembali ke dalam. Apalagi, bila harus berpapasan dengannya. | Cerpen Islami Ayo Mondok Ke Persantren
"Bagaimana dengan Ikbal, Kak?" Fitri bertanya.
"Kalau dia memang ga mau ikut apa yang saya suruh, ya sudah ... kamu bantu aja dia. Lagipula, Mak sama Bapak kan belain dia. Mereka pasti punya uang. Saya berangkat." Menuju mobil yang sejam tadi sudah terparkir.
"Kalau dia memang ga mau ikut apa yang saya suruh, ya sudah ... kamu bantu aja dia. Lagipula, Mak sama Bapak kan belain dia. Mereka pasti punya uang. Saya berangkat." Menuju mobil yang sejam tadi sudah terparkir.
Sejam yang lalu ...
"Kak Dimas, Mak sama Bapak minta Kakak ke rumah sebentar," Fitri menelpon.
"Ada hal penting apa?" Aku balas bertanya.
"Kurang tau, Kak. Sepertinya masalah Ikbal. Kakak kemari sajalah. Nanti tau sendiri." Fitri mematikan telepon.
"Ada apa, Mas?" Sabila, istriku bertanya.
"Bapak sama Mak minta saya ke rumah sebentar."
"Apa tidak dihabiskan dulu nasinya, Mas? Kasian kan nanti mubazir?" Sabila mengerutkan dahi.
"Kan ada kamu, Sayang?"
"Aku?"
"Iya. Kamu."
"Maksudnya? Sisanya buat aku? Gitu?" Dua matanya membulat.
"Kak Dimas, Mak sama Bapak minta Kakak ke rumah sebentar," Fitri menelpon.
"Ada hal penting apa?" Aku balas bertanya.
"Kurang tau, Kak. Sepertinya masalah Ikbal. Kakak kemari sajalah. Nanti tau sendiri." Fitri mematikan telepon.
"Ada apa, Mas?" Sabila, istriku bertanya.
"Bapak sama Mak minta saya ke rumah sebentar."
"Apa tidak dihabiskan dulu nasinya, Mas? Kasian kan nanti mubazir?" Sabila mengerutkan dahi.
"Kan ada kamu, Sayang?"
"Aku?"
"Iya. Kamu."
"Maksudnya? Sisanya buat aku? Gitu?" Dua matanya membulat.
"Konon katanya, kalo suami istri makan sepiring berdua, maka cinta mereka akan abadi selamanya. Hehehe." Aku meyakinkan.
"Yeee. Gombal. Ya, sudah. Hati-hati di jalan." Aku mengecup dahinya. Lalu, dahi Asyraf, jagoan kami yang baru berumur dua tahun.
"Dimas, Mak dan Bapak ingin kamu menolong Ikbal. Dia sudah tamat SMU. Buat dia dapat ijazah juga sepertimu. Nanti bisa mudah nyari pekerjaan." Ibu meneruskan menjahit. Sesekali, tangan keriputnya meremas-remas tangan Fitri. Adik perempuanku itu sedang menulis cerpen. Beberapa karyanya diterima di beberapa majalah ternama. Saat itu, ia sedang menyelesaikan permintaan mereka. Mungkin, tangannya sedang keram. Aku mengembangkan pipi melihat kesuksesan Fitri. Walau cuma jadi penulis cerpen di majalah. Setidaknya, ia sudah menghasilkan uang. Walau tidak sebanyak yang kami miliki.
"Ikbal, lamar STM aja gimana?" tanyaku pada si bungsu yang sedang nonton tivi. Sesaat ia menoleh, lalu mematikan tivi. Lantas, menghadap dengan seluruh tubuhnya.
"Yeee. Gombal. Ya, sudah. Hati-hati di jalan." Aku mengecup dahinya. Lalu, dahi Asyraf, jagoan kami yang baru berumur dua tahun.
"Dimas, Mak dan Bapak ingin kamu menolong Ikbal. Dia sudah tamat SMU. Buat dia dapat ijazah juga sepertimu. Nanti bisa mudah nyari pekerjaan." Ibu meneruskan menjahit. Sesekali, tangan keriputnya meremas-remas tangan Fitri. Adik perempuanku itu sedang menulis cerpen. Beberapa karyanya diterima di beberapa majalah ternama. Saat itu, ia sedang menyelesaikan permintaan mereka. Mungkin, tangannya sedang keram. Aku mengembangkan pipi melihat kesuksesan Fitri. Walau cuma jadi penulis cerpen di majalah. Setidaknya, ia sudah menghasilkan uang. Walau tidak sebanyak yang kami miliki.
"Ikbal, lamar STM aja gimana?" tanyaku pada si bungsu yang sedang nonton tivi. Sesaat ia menoleh, lalu mematikan tivi. Lantas, menghadap dengan seluruh tubuhnya.
"Sekolah Tehnik Mesin, Kak?"
"Iya. Kanapa? Keberatan? Kalau tak mau, ke Universitas Gajah Mada? Keberatan juga?" Aku balas bertanya. Pasalnya, dahi si rambut ikal itu nampak mengerut. Ia berdiri.
"Aku mau masuk pondok pesantren, Kak." Ikbal menoleh ke Bapak.
"Tapi, ...."
"Iya. Kanapa? Keberatan? Kalau tak mau, ke Universitas Gajah Mada? Keberatan juga?" Aku balas bertanya. Pasalnya, dahi si rambut ikal itu nampak mengerut. Ia berdiri.
"Aku mau masuk pondok pesantren, Kak." Ikbal menoleh ke Bapak.
"Tapi, ...."
"Sudah, Dimas. Turutin aja kemauan adekmu ini." Ucapanku terpotong kata-kata ibu.
"Dimas." Bapak menurunkan kacamatanya. Lalu, meletakkan koran di meja. "Tak usah dipaksa. Adekmu ini mungkin lebih suka ke sana. Kamu turutin saja." Bapak melanjutkan sambil menyeruput kopi miliknya.
"Saya tidak setuju, Mak, Bapak." Aku berdiri.
"Aku tetap mau ke pondok." Ikbal sedikit meninggikan suara. Lantas, Aku keluar saat mengetahui ia tidak mau diatur.
Setelah lima tahun Ikbal di pondok ...
"Kak! Bapak, Kak." terdengar Fitri sesegukan.
"Bapak kenapa?"
"Dimas." Bapak menurunkan kacamatanya. Lalu, meletakkan koran di meja. "Tak usah dipaksa. Adekmu ini mungkin lebih suka ke sana. Kamu turutin saja." Bapak melanjutkan sambil menyeruput kopi miliknya.
"Saya tidak setuju, Mak, Bapak." Aku berdiri.
"Aku tetap mau ke pondok." Ikbal sedikit meninggikan suara. Lantas, Aku keluar saat mengetahui ia tidak mau diatur.
Setelah lima tahun Ikbal di pondok ...
"Kak! Bapak, Kak." terdengar Fitri sesegukan.
"Bapak kenapa?"
"Bapak sakit keras. Cepetan, Kak."
Sabila dan Asyraf lekas kuboyong bersama ke rumah orangtua setelah Fitri memutuskan suara di telepon. Sepanjang jalan dada ini tak tenang.
Sabila dan Asyraf lekas kuboyong bersama ke rumah orangtua setelah Fitri memutuskan suara di telepon. Sepanjang jalan dada ini tak tenang.
"Hati-hati, Mas," Sabila menenangkan begitu melihatku sedikit ceroboh saat menyetir. Hingga, rasa yang kian membuncah itu pun bertambah. Tiba di halaman rumah, beberapa warga terlihat memenuhi ruang tamu. "Kaaak. Huuu. Hiks hiks hiks." Fitri sponton memeluk. Ia terisak-terisak. Baju ini basah oleh air matanya.
"Ikbal mana? Apa ia sudah diberitahu?" Dengan mata berkaca-kaca aku bertanya. Mencoba menahan, namun tumpah juga air mata ini.
"Sudah, Kak. Ia sedang memandikan Bapak." Sssr! Dada ini bergemuruh. Aku menyangka, dengan kendaraan pasti duluan sampai di sana. Kami melangkah pelan ke tempat ibu yang masih bersimbah air mata. Tubuh yang sedang berduka itu kurangkul. Kami semua tenggelam dalam duka. Duka yang pasti mendatangi setiap keluarga.
"Sudah, Kak. Ia sedang memandikan Bapak." Sssr! Dada ini bergemuruh. Aku menyangka, dengan kendaraan pasti duluan sampai di sana. Kami melangkah pelan ke tempat ibu yang masih bersimbah air mata. Tubuh yang sedang berduka itu kurangkul. Kami semua tenggelam dalam duka. Duka yang pasti mendatangi setiap keluarga.
"Bapak sudah siap. Hadirin yang mau sholat jenazah, silakan ambil wudhuk." Dengan wajah mengembang dua pipi, Ikbal memberitahu.
Setelah semua sudah bersuci dan mengatur saf. Imam masjid menuju arahku.
"Nak, silakan." Sang imam menyuruh dengan isyarah tangan kanannya. Aku dipersilakan mengimami sholat.
Mata ini menatap hadirin. Mereka semua melihatku. Bibir ini seperti tercekat tak bisa berkata. Hanya mampu bergetar lalu menelan ludah. Tidak. Aku tidak tahu cara menyolatkan jenazah. Sungguh. Karena kesibukan, bahkan sholat lima waktu aku tak sempat. Aku krisis ilmu saat itu. Hati ini terasa gersang di saat dahaga pun kian bersama ketika berduka. Hanya satu solusinya. Ikbal. | Cerpen Islami Ayo Mondok Ke Persantren
Setelah semua sudah bersuci dan mengatur saf. Imam masjid menuju arahku.
"Nak, silakan." Sang imam menyuruh dengan isyarah tangan kanannya. Aku dipersilakan mengimami sholat.
Mata ini menatap hadirin. Mereka semua melihatku. Bibir ini seperti tercekat tak bisa berkata. Hanya mampu bergetar lalu menelan ludah. Tidak. Aku tidak tahu cara menyolatkan jenazah. Sungguh. Karena kesibukan, bahkan sholat lima waktu aku tak sempat. Aku krisis ilmu saat itu. Hati ini terasa gersang di saat dahaga pun kian bersama ketika berduka. Hanya satu solusinya. Ikbal. | Cerpen Islami Ayo Mondok Ke Persantren
"Ikbal!" Aku memanggil. Dengan isyarah muka dia kusuruh. Sekejap, dengan tenang ia melangkah menggantikan posisiku. Sungguh tak berguna. Seharusnya, sebagaimana anak pertama, itu jatahku. Namun, aku tak mampu.
"Aku siap menjaga Asyraf bila ia mengaji ilmu agama bersamaku." Ikbal mendekat mencium tangan Asyraf saat di pangkuanku. "Saya mengalah, Dik. Kamu menang. Kamulah pemilik masa depan sesungguhnya."