Ini bukan tentang jarak yang memisahkan kita, | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu
tapi diammu yang mengusaikan cinta.
Awal Desember
[ I Miss You ]
Sebuah pesan masuk di kotak mesenger. Khai membacanya dengan senyum sumringah, hatinya berbunga-bunga.
[ I always do ]
Lelaki 24 tahun itu membalasnya, menambahkan emot wajah bermata cinta, berbinar-binar. Lalu melanjutkan percakapan penuh rindu, menghabiskan malam hingga menjelang pagi. Indah. Seindah wajah pualam pemilik mata hitam cemerlang gadis di seberang sana.
Wajah Kekasih, gadis berwajah pualam itu memancarkan bahagia. Dunia serasa milik mereka berdua. Milik Khai dan Kekasih.
Akhir Desember
[ Keka, Aku rindu ]
Khai mengetik pesan singkat dengan tangan menahan getar hatinya. Ia ragu kali ini rindunya akan berbalas. Ia mengurungkan niatnya. Dihapusnya lagi bait rindu itu.
Khai tak mau ambil resiko mendengar kemarahan Kekasih. Keka nama kecil Kekasih yang sudah seminggu ini mendiamkannya. Keka marah karena banyak hal, yang menurut Khai itu hanya hal remeh-temeh.
Sekali waktu Keka marah karena cemburu pada fans Khai yang terus menghujaninya dengan komentar kagum di channel youtube tempat Khai mengunggah lagu terbarunya. Waktu yang lain Keka mencak-mencak hanya karena mendapati beranda Facebook Khai penuh dengan sapaan para fans Khai yang menggandrungi lagu terbaru yang dia rilis. Bahkan pernah gadis bersuara manja itu meledak hanya karena Khai membalas komentar beberapa teman perempuannya di instagram dengan emot full smile dan love.
Khai hanya tersenyum getir. Tak ada pembelaan, karena ia terlalu lelah menanggapi kecemburuan Keka.
Bagi Keka ini bukan tentang cemburu, ini tentang sikap, adab, etika, setia. Tentang Khai yang tak bisa mengabaikan semua pengagumnya. Tentang Khai yang tak bisa menyimpan senyum manisnya untuk Keka seorang. Tentang Khai yang memilih dimiliki semua orang, meski tetap memilih menggenggam hati Keka seorang.
Khai masih diam seribu bahasa saat Keka mengamuk di kotak mesengernya dengan berbagai tudingan dan sumpah serapahnya. Khai kehilangan kata, kehilangan seribu diksi yang biasanya berlarian indah di benaknya. Khai kehilangan tangga nada yang selalunya berdendang merdu di hati sepanjang waktu. Khai membisu. Diam.
Begitupun saat Keka menagih janji sebuah pertemuan setelah berbilang purnama saling rindu. Khai masih membisu. Tak mampu mengiyakan, tak juga meniadakan. Khai merasa Keka terlalu menuntutnya untuk ada. Khai merasa Keka tak cukup memahami kesibukannya sebagai seniman, sebagai pemusik yang sedang merambat menaiki anak tangga, meski entah di ujung sana menunggu kejayaankah atau sekedar fatamorgana semata. Tapi bagi Khai, Keka tak mau memahaminya.
Sedang bagi Keka ini bukan tentang siapa harus memahami siapa. Ini tentang janji. Tentang cinta yang bersemi di dunia maya yang dijanjikan menjadi nyata. Bukan semata romansa berkelindan dalam aksara. Ataupun diksi yang menggenggam hati penuh pesona. Bagi Keka ini tentang janji. Janji menggenggam hatinya dengan nyata. Janji hadir dihadapannya setelah berpuluh purnama menggenggam bayang semata, hanya mendengar suara dan lagu merdu di telinga.
Bagi perempuan, janji seorang lelaki seharga dengan seluruh kehormatan dirinya. Begitu pikir Keka.
Lalu di mana pikiran itu bermuara? Di mana Khai akan mengerti jalan pikiran Keka, dan Keka akan memahami inginnya Khai jika keduanya saling diam?
[ Khai, aku masih menunggu, beri tau aku bahwa kau masih peduli ]
Keka akhirnya mengetik satu pesan.
[ Keka, ku mohon beri aku tanda, satu nyala, agar rindu ini tak membuatku gila ]
Khai mengetik pesan untuk Keka.
Dan diwaktu yang sama mereka menghapusnya. Memutuskan diam, memandang jimat cinta mereka, gawai penuh romansa.
Hingga akhirnya... beep... beep... satu pesan diterima.
[ Lupakan, mari kita lupakan tentang aku, kau dan rindu itu ]
*Nama Kekasih terinspirasi dari tokoh true story behind the scene.
*Nama Keka dari novel Bang Arswendo Atm.
*Nama Khai? dari mantan pacar orang.
*Ini fiksi, kesamaan nama dan cerita diluar tanggung janab
Bukan cemburu yang jadi belati penikam bahagiaku,
tapi diammu yang jadi peluru pembunuh harapanku.
Awal Januari
[ Khai, aku masih menunggu. Lupakan rasa cemburu itu, sekarang hanya tentang kau dan aku ]
Satu pesan terkirim. Keka memandang gawainya dengan netra hitamnya, sayu.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, tak ada balasan. Pesan yang terkirim sudah tercentang biru sejak tadi, sudah dibaca sang penerima. Hening. Tak ada balasan, nasib yang sama seperti lima pesan yang Keka kirim diakhir Desember lalu. Dibaca namun sama sekali tak diindahkan.
Gadis dengan bola mata mutiara hitam itu menggigit bibir bawahnya. Nyeri. Ada nyeri di hatinya. Seketika rasa panas menjalar di kepalanya, di dadanya dan di dua matanya.
Ia bisa menahan sakit rasa cemburu saat melihat Khai bercanda tertawa lepas dengan para fansnya di beranda media sosialnya. Ia bahkan bisa menjaga airmatanya tak jatuh sia-sia saat para gadis yang menggandrungi pesona Khai satu-satu mempertanyakan kelayakannya sebagai kekasih Khai. Satu-satu mereka mengiriminya batu ujian atas kesetiaannya pada lelaki yang mulai populer sejak debut single pertamanya dirilis di youtube. Ia berhasil dengan gemilang melalui itu semua.
Tapi diabaikan orang yang disayangi sakitnya tak kuasa ditanggungnya. Keka menyerah.
Dadanya terasa nyeri, sakit sekali. Sekuat tenaga gadis berambut legam itu menggigit bibirnya, menahan guncangan di hatinya. Wajahnya ia tengadahkan ke langit kamarnya, berharap mata air di dua matanya menguap di sana. Tapi gagal. Mata air itu pecah sudah. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu
Deras mengalir di pipi putihnya. Pipi yang dulu selalu membuat Khai gemas padanya setiap bertemu wajah melalui video call.
"Nanti kalau aku ke rumahmu, aku ga akan nemuin kamu, " kata Khai malam itu.
"Loh ko? Kenapa?, " Keka bingung.
"Karena aku tak sabar menemui pipimu dulu, mau kucubit! "
Keka tertawa renyah mendengar jawaban Khai.
"Yakin? Berani? " Keka mencibir.
"Siapa takut? "
"Hmm ngga takut dituntut abahku karena menyakiti anak gadisnya?, " Keka mengerling manja. Seluruh wajah beningnya memenuhi layar gawai Khai. Membuat Khai semakin terpesona pada pipi putih berisi seperti pipi bayi.
"Dituntut ke KUA pun aku siap Ke, asal sama kamu dan pipimu yang lucu itu,"
Mereka tergelak bersama. Diakhiri rayuan gombal Khai malam itu, " Jangan sampai ada airmata mengalir di pipimu ya Ke, aku tak bisa terima."
Tapi siapa sangka malam ini airmata itu mengalir justru karena dia, lelaki bersuara merdu yang telah menawan hati Keka dengan janji-janjinya.
Malam itu Keka membiarkan dirinya tertidur bersama airmata. Entah airmata kecewa, marah, sedih ataukah rindu. Keka tak peduli lagi karena semua terasa sama, menyakitkan. Yang pasti ini airmata terakhir, tekadnya.
Sementara nun disana, Khai masih memandang gerhana bulan malam itu. Bulan jingga keemasan tanpa gemintang menyaksikan Khai terpaku dalam sendu. Matanya nanar menatap wajah bulan sempurna malam itu. Ini adalah purnama kedua dalam sejarah trilogi supermoon tahun ini. Seharusnya malam ini ia dan Keka menatap bulan yang sama sambil berbagi cerita cinta bersama. Nyatanya takdir Tuhan berkata lain, bahkan untuk sekedar membaca pesan rindunya pun tak ada lagi. Bulan tak lagi membawa pesan cinta Keka.
Khai mengambil gitarnya. Mencoba memetik dawainya, memainkan lagu kesayangan mereka perlahan. Lagu bingkisan Tuhan dari sheila on 7 bersenandung bersama alunan gitarnya. Namun terdengar pilu di telinga Khai. Lebih mirip seperti anjing melolong di bawah bulan purnama. Ia tak bisa menikmati parade chordnya.
Ia hanya bisa mendengar suara Keka tertawa manja ditelinganya. Ini terasa seperti dihantui Keka. Kemanapun ia berlari, wajah Keka mengejarnya. Bahkan saat ia tidur sekalipun, gadis bermata indah itu terus menghantuinya. Berhari-hari sejak menerima pesan Keka yang memintanya melupakannya, Khai justru semakin jelas mengingat Keka. Wajahnya. Senyumnya. Manjanya. Bahkan sumpah serapahnya.
Khai menghela nafas panjang, mengisi oksigen ke rongga dadanya yang mendadak sesak. Ini bukan asma atau flu yang kerap jadi sahabatnya, ini hanya rindu. Khai meyakinkan dirinya. Ini hanya rindu.
Ia merindukan Keka, tapi harga diri dan egonya menahan untuk tidak membalas semua pesan Keka. Ia merasa gadis itu begitu egois menginginkannya ada setiap waktu. Tak bisakah ia mengerti dan memahami kesibukannya, menunggunya sekali lagi, meski entah untuk berapa lama lagi.
Khai melempar gawainya ke atas sofa setelah berulang kali menyusuri setiap pesan yang dikirim Keka. Mengapa perempuan bisa secerewet ini, pikir Khai. Ia tidak mengerti bahwa penelitian membuktikan perempuan normal perlu mengeluarkan 20.000 kata sehari, tiga kali lipat lebih banyak dari lelaki. Perempuan perlu bicara saat menghadapi masalah, sedang lelaki kadang cukup dengan bahasa tubuh dan percaya pada waktu untuk menyelesaikan masalah.
Khai sungguh tak mengerti perempuan.
Dunia bisa saja mengakui Khai sebagai lelaki paling romantis merangkai kata dan lagu romansa, tapi bagi Keka ia hanya seorang lelaki berjubah romantisme namun berhati batu yang tidak peka. TIDAK PEKA. Titik.
Akhir Januari.
Hari ini seharusnya hari paling bahagia bagi Khai, setelah sekian lama berjuang akhirnya ia resmi menanda tangani kontrak dengan salah satu produser musik. Album pertamanya akan segera dirilis dalam waktu dekat. Mimpinya terwujud.
Tapi bahagia itu berganti kepedihan bagi Khai, mendadak seluruh tubuhnya tak bertulang, lemas. Ia tak bisa menemukan nama Keka atau Kekasih di kontak gawainya. Keka memblokir semua akses dengan Khai. Ia kehilangan jejak Keka di media sosial. Ia tak bisa melihat senyum dan binar mata gadis itu lagi. Bahkan saat ia mencoba menelpon Keka di nomor selulernya, nomornya tidak aktif.
Benarkah ia telah kehilangan Keka? Kehilangan Keka di hari yang ia rencanakan untuk menjawab semua pesan Keka beberapa minggu lalu. Hari ini ia menemukan semua jawab bagi tanya yang berkecamuk di dada Keka. Hari ini semua yang maya akan ia berikan nyata pada Keka bersama tanda tangan kontrak itu. Tapi terlambat. Khai terlambat meski rasa rindu itu masih bertalu-talu.
Sementara ratusan kilometer dari rindu yang bertalu itu, diatas sajadah Keka baru selesai menunaikan shalat Maghrib. Melipat mukenanya, mencium tangan imam dihadapannya.
Ini nyata. Keka meyakini akan ada tangan yang nyata yang mengalahkan cinta nyata yang maya. Sebesar apapun cinta maya kalah dengan yang nyata. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu