Yang tersulit bukanlah melepaskan melainkan melupakan.
Dan yang tersakit adalah tersandera dalam kenangan, tanpa tahu cara membebaskan diri.
[ Kekasih, mencintaimu ternyata menyakitkan. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 2
Tapi hanya itu yang bisa kulakukan. ]
Khai menulis pada inbox mesenger Keka yang telah lama ditinggalkan pemiliknya.
Mesage can not be sent. Tap for details!
Selalu itu saja balasan dari mesenger akun Keka. Tanda tak ada kehidupan lagi disana.
Khai menghela nafas panjang. Berat. Ya ini berat. Rindu itu berat. Dilan ada benarnya pikir Khai. Tapi Dilan tidak tahu bahwa yang terberat adalah menepis kenangan yang terus menyandera relung hati, memasung jiwa, dan memenjara pikiran. Khai merasa seribu kali lebih berpengalaman dari Dilan perkara berhadapan dengan kenangan. Tapi tetap saja tak bisa mengalahkan Dilan dalam urusan kepekaan terhadap wanita, Dilan tetap juaranya.
Dilan gemilang memenangkan hati sang milea, sedang Khai, ia harus menerima ditinggalkan Kekasihnya bahkan tanpa kata perpisahan. Tragis.
Khai tak habis pikir mengapa gadis berpipi lucu, pemilik tawa renyah itu bisa sekejam ini menelantarkan hatinya begitu saja. Harga diri Khai terasa dijatuhkan dari rooftop gedung WTC. Hancur! Murah sekali!
Ada rasa tak terima di sudut kecil hatinya. Tak terima diabaikan gadis yang masih usia belasan tahun itu. Sedang ia bisa mendapatkan ratusan gadis lain yang jauh lebih segalanya dari Keka.
Khai dengan segudang kesibukan barunya pasca release album terbaru, tak lagi menyusuri jejak Keka di laman medsosnya. Tak lagi mencari kabar tentang statusnya ataupun semua yang berhubungan dengannya. Bukan karena tak mau atau tak rindu. Tapi karena Keka sungguh menghilang ditelan waktu dan rindu. Iya ini rindu, rindu yang kadang menyulut bara dihati yang panasnya meranggas kejam menghanguskan setiap ranting jiwa. Kadang rindu itu menjelma salju, membekukan aliran darah sampai ke tulang. Membuat Khai tak berdarah sesaat, beku, tak mampu bergerak bahkan berpikir. Gila. Ini gila, pikir Khai.
Ada banyak sahabat maupun fans wanita Khai yang datang silih berganti dengan manja menghangatkan hari-hari Khai, namun tetap saja netra hitam mutiara Keka yang terus mengejarnya. Senyum manis Keka hadir bersama bulan, bersama bintang disetiap malamnya. Ini lebih mengerikan daripada dibayangi wujud hantu di film Insidious. Khai membatin pada dawai gitarnya, pada not balok yang berbaris rapi, pada hatinya yang terus memar.
"Sampai kapan ini Ke? Aku ada, kamu ada tapi kita memaklumi untuk saling meniadakan. Kau kejam sekali." Khai merutuk lagi.
***
[ Kau tak bisa menyakitiku lagi dengan janjimu Khai, tapi mengapa kenangan itu bisa menahan luka hingga berbulan-bulan tak bisa sembuh. Aku demam berkali-kali. Kau sungguh virus Khai. Menyebalkan. ]
Keka menulis di kolom sms pada gawainya. Tanpa nomor seluler, tanpa nama. Tanpa pernah dikirimkan pada siapapun. Keka hanya menulis untuk melerai sakitnya dikejar kenangan itu. Tak ada air mata lagi, namun tetap saja nyeri menyahut lirih di ulu hatinya. Ini hanya sesaat. Pikir Keka.
Tiba-tiba Keka merasa rapuh, dua bulan berlalu tanpa Khai ternyata tak cukup mematikan semua rasa dihatinya. Entah rasa apa yang terus membadai, marahkah, kecewakah atau rindukah. Keka tak bisa memastikannya, yang pasti ia masih merasa sakit setiap mendengar nama Khai, Rakhaiva Sinatriya.
Meski begitu tekadnya bulat untuk menyudahi semua rasa pada lelaki yang pernah begitu menyayanginya. Lelaki yang pernah memujanya dengan rangkaian diksi indah yang terabadikan dalam lagu-lagu ciptaannya. Lagu romansa cinta yang mampu menerbangkan setiap hati wanita hingga ke langit ketujuh. Meski kemudian bagi Keka, rima dan irama sewangi surga itu akhirnya menghempaskan dirinya ke palung samudera terdalam. Membuatnya tenggelam tak berdaya.
Keka pikir setelah menutup semua akses komunikasi yang terhubung pada Khai maka akan mudah baginya melupakan semua cerita cinta mereka. Ternyata salah besar. Hati Keka masih saja mengerang perih mendengar nama Khai disebut. Kenapa melupakan menjadi hal tersulit kali ini.
Bahkan setelah dua bulan ini ia menyibukkan diri dengan menjadi peserta kursus memasak ala chef Juna yang konon banyak memesona mata para wanita, tetap saja ada kalanya Keka diteror lembar kenangan itu. Dimalam-malam dan dipagi-paginya selalu saja wajah Khai yang berhias jambang rapi datang menghampiri. Menyedihkan. Keka merasa ini begitu menyedihkan. Bahkan saat abahnya nonton persib, rasanya ia ingin bilang abah untuk menonton yang lain saja. Karena persib membuatnya terkenang pada Khai yang maniak bola. Sungguh menyebalkan.
Keka mengambil wudhu lagi, beristighfar berkali-kali demi menghilangkan rasa sakit saat kenangan itu datang lagi. Ketukan di ruang tamu menunda shalat dhuhanya pagi itu. Suara lelaki mengucapkan salam. Suara yang begitu dikenal Keka. Suara yang tiba-tiba mengundang debar dihati Keka. Mungkinkah?
Keka setengah berlari, bergegas menuju pintu. Suara lelaki itu mengucap salam lagi. Suara yang sungguh tak asing bagi Keka, suara dimasa lalunya meski ia sedang berharap untuk masa depannya.
"Wa'alaikumsalam," Keka membukakan pintu perlahan. Matanya terbelalak.
"A... Aa?, " Keka menutup bibirnya dengan lima jarinya. Ia tak percaya pada matanya, pada lelaki yang berdiri dihadapannya. Saat pengharapanmu pada manusia menemui kecewa,
sejatinya Tuhan sedang mengajarmu arti ikhlas dan tertawa.
Jantung Keka berdetak kencang saat mendengar suara lelaki mengucap salam. Mungkinkah ia? Lelaki dari masa lalu yang setengah mati ingin ia lupakan, namun terus mengejarnya bersama kenangan.
"Wa'alaikumsalam...." Keka membukakan pintu.
"A...Aa?" mata bulat Keka membelalak. Keka menatap tak percaya pada lelaki yang berdiri tegap di hadapannya. Ia menggenggam daun pintu, mencari sandaran tubuhnya yang mendadak lemas.
"Aa?" Keka masih terkejut, lima jarinya spontan menutup mulutnya yang ternganga.
"Iya, kenapa? Cakep banget ya? Sampe terpesona begitu." Lelaki berjambang tipis berdiri di depan pintu. Tubuhnya tegap memanggul ransel besar. Tersenyum manis pada Keka.
"Aa? "
"Iya Keka. Kekasih. Ini aku, Aa-mu." Damar menyentuh kening Keka dengan telunjuknya.
"Kenapa De? Lupa ke Aa?" Damar meraih gagang pintu dan menerobos masuk.
"Ngga. Bukan lupa. Aa lama banget ngga kesini kan? Tumben." Keka salah tingkah. Tangannya menunjuk sofa, mempersilahkan lelaki hitam manis itu duduk. Damar meletakkan ransel besarnya di sofa pojok.
"Aa mau ketemu Kak Ananta? Abah? Atau Mamah? Mereka ga ada semua. Kang Nanta kan camping."
"Kalo teh manis ada, Neng? "
"Eh hehe.... " Keka tersipu. "Bentar atuh Ade bikinin ya A," Keka beranjak dari sofanya.
"Ngga De, Aa bercanda ko. Mau sholat kan? "
Keka mengangguk, mengusap kepalanya yang tertutup mukena.
"Dhuha? "
"Hmm heu eum. " Keka berdeham mengiyakan.
"Bareng ya."
"Aa duluan aja gih. Ade bikin teh manis buat Aa ya."
Damar mengiyakan, langsung beranjak tanpa menunggu aba-aba lagi menuju mushola di sudut rumah Keka. Lelaki 25 tahun itu sudah hafal benar setiap sudut rumah Keka. Ini rumah kedua baginya setelah rumah orang tuanya , tempat menghabiskan hari-hari sepulang sekolah bersama Ananta, kakak semata wayang Keka yang adalah sahabat kecilnya sejak mereka dibangku sekolah dasar.
Damar sudah seperti abang bagi Keka, kakak kedua setelah Ananta. Dulu gadis berambut ikal panjang itu begitu manja baik pada Damar maupun Ananta. Mereka banyak menghabiskan waktu bersama, entah itu sekadar memetik buah kersen di belakang rumah, mengerjakan PR sekolah bahkan mandi di sungai bersama.
Beberapa kali abah marah besar pada Damar maupun Ananta karena membiarkan Keka kehujanan bersama mereka sepulang sekolah. Pernah juga abah tak bisa menahan amarahnya saat tahu Keka ikut camping dan menghabiskan malam dengan tidur satu tenda bersama Damar dan Ananta. Waktu itu Keka masih kelas 3 SMP. Pikir Keka itu wajar saja, meminta kedua kakak kesayangan menemaninya di tenda. Mengingat saat itu ia satu-satunya peserta camping termuda dan satu-satunya perempuan. Semua peserta camping adalah teman Ananta di klub pecinta alam. Itu salah Keka. Tapi abah menghukum Ananta dan Damar tanpa dia duga.
Sejak itu abah tak pernah mengizinkan Keka ikut kegiatan Ananta maupun Damar. Meski sesekali mereka mencuri waktu bersama di belakang rumah menikmati gemercik air mengalir di balong abah, atau sekadar bercengkrama di ruang tivi bertiga.
Abah bilang, Keka anak gadis, pamali main dengan lelaki sedekat itu. Lelaki? Bagi Keka itu terdengar berlebihan, bukankah keduanya adalah abangnya meskipun Damar hanya sahabat Ananta?
Seiring waktu Keka mulai mengerti maksud abah, ia mulai merasakan rindu yang berbeda pada Damar. Saat Damar tak pernah lagi menginap di rumahnya semenjak diterima bekerja sebagai supervisor di sebuah toko waralaba terbesar di pinggiran kota. Saat itulah Keka merasa kehilangan. Kehilangan perhatian seorang kakak yang hangat. Pikirnya.
"Mau shalat, De?" suara bass Damar membuyarkan lamunan Keka. Keka mengangguk, mengambil tempat di sudut mushola.
"Aa pamit ya. Mo ngejer Nanta ama rombongan yang camping." Damar melipat sajadahnya. Keka mengurungkan niatnya untuk takbir.
"Kamu dhuha aja, De. Aa bisa keluar sendiri. Salam ke abah sama mamah ya."
"Ade anter Aa dulu ke depan ," Keka langsung mengekor Damar menuju ruang tamu. " Aa ko lama banget ga maen ke sini, " Keka memecah kecanggungan diantara mereka.
"Aa sering ke sini ko. Tiap libur kerja nyempetin ketemu abah sama mamah. Adek aja ga tau. Kata mamah sibuk pacalan sama siapa itu temen ngayalmu...eh temen mayamu." Damar menjawab tanpa menatap Keka. Tangannya sibuk merapikan gulungan kemejanya selepas wudhu tadi.
"Pacaran? Sama siapa? Ade ga pacaran wew! Mamah sama Aa ngegosip ih! "
"Itu sama temen ngayalmu...Khai... Rakhaiva Sin itu...Sintogendeng." Damar langsung berlagak batuk dilanjut dengan tawa kecilnya.
"Aa! " Keka langsung mendaratkan satu tepukan di bahu Damar. "Ga lucu! " Keka manyun.
Ada nyeri di hatinya saat mendengar nama itu. Luka itu masih menganga ternyata. Mengapa mendengar namanya saja membangkitkan rasa sakit di ulu hatinya? Keka membatin.
"Elaaah ngambek, jadi cewek ko ngambekan sih , ntar cepet tua non, " Damar menyentuh kening Keka dengan punggung telunjuknya. Mengetuknya penuh sayang. "Emang Khai kan namanya?"
"Iya tapi bukan sintogendeng A,"
"Cieeh dibelain yayangnya. Katanya udah putus...tapi...."
"Aa...udah ah, ga lucu becandanya," Keka mendaratkan satu tepukan lagi di bahu Damar. Matanya jatuh di kakinya, ia tak mau lelaki bertubuh tegap itu melihat kaca di matanya. Kaca yang bisa pecah kapanpun ia mendengar nama Khai. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 2
Tiba-tiba Keka merasa rapuh, dua bulan berlalu tanpa Khai ternyata tak cukup mematikan semua rasa di hatinya. Entah rasa apa yang tersisa dan masih membadai, marahkah, kecewakah atau rindukah. Keka tak bisa memastikannya. Yang pasti ia masih merasa sakit setiap mendengar nama Rakhaiva Shinatriya.
"De, Aa pamit ya."
"Aa ati-ati ya, " Keka mengusap sudut matanya yang mulai basah.
"Jangan nangisin Aa sekarang dong De."
"Siapa yang nangisin Aa, ge er."
"Itu matanya hujan. Terus banyak diemnya, ga cerewet lagi kaya dulu."
"Ini kan sambil dzikir diemnya A," Keka membela diri.
"Dzikir? Dzikir tuh mengingat Allah, De.Ini malah mengingat Rakhaiva Shintogendeng, " Damar terkekeh lagi. Berjalan menuju pintu tanpa menoleh lagi pada Keka.
"Sok tau ih," Keka mendorong bahu Damar, kesal.
"Udah gih lanjutin sana nangisnya, tetep cantik ko nangis juga. " Damar masih menggoda gadis berwajah seputih susu itu. Keka hanya balas mencibir. "Tunggu Aa pulang camping tiga hari lagi ya. "
"Emang boleh bolos kerja tiga hari cuman demi camping? "
"Siapa bilang bolosnya Aa demi camping, ini demi masa depan De."
"Masa depan apaan? pecinta gunung yang lebay!" Keka balas tertawa. Gigi putihnya terlihat berbaris rapi.
"Ya masa depan...di tempat camping itu ada calon kakak ipar Aa yang harus ditempelin sebelum nempelin adeknya."
"Ululuuu si Aa... haha teu lucu iih! " Keka tertawa lagi.
"Iyah kamu aja yang lucu. Aa mah jangan. Nanti banyak yang naksir."
"Huweeek...." Keka memperagakan gaya muntahnya disambut gelak tawa mereka berdua.
"Tiga hari lagi Aa pulang. Tunggu ya. Jangan sedih. Apalagi kangen." Damar membalikkan tubuhnya, lurus menatap bola mata Keka. Mereka saling tatap. Bibir Keka masih menyisakan tawa. Ia berusaha keras menahan tawanya lagi.
"Siapa yang bakalan kangen, ge er! " Keka mencibir.
"Aku." Damar balas tersenyum. Senyum dan tatap mata itu lama sekali tak dilihat Keka. Masih seteduh beberapa tahun lalu. Selalu teduh.
"Gombal ih," Keka memicingkan matanya dengan bibir maju satu senti.
"Tapi kece kan?"
"Jelek. Kayak Kodok"
"Pangeran kodok yang melelehkan putri Kekasih."
"Cokelat kali meleleh... Aa gih berangkat, gombalin mulu!"
Mereka tertawa lagi. Tawa renyah memecah hangatnya pagi itu.
"A...Aa," Keka berseru, memanggil lelaki bertubuh tegap itu sebelum keluar pagar.
"Kenapa?" Damar balik mendekat. "Udah kangen?"
Keka tak menjawab, senyumnya mengembang lagi.
"Makasih ya , udah mau mampir. Ade seneng Aa inget pulang lagi." Suara Keka terdengar manja.
"Iya. Aa ngga akan tersesat lagi sekarang De. Akan selalu tahu jalan pulang. Ke hatimu."
"Haha... Aa meuni gombal ah haha..." Tawa Keka berderai. Ia hampir lupa rasanya hangat tertawa seperti ini. Menyenangkan sekali ternyata. Ia lupa kapan terakhir bisa tertawa lepas. Mungkin malam itu, malam saat bersama Khai menghabiskan waktu mendengarkan lagu kenangan mereka. Tertawa berdua dari tempat berbeda sambil memandang langit dan bulan yang sama. Indah kala itu.
"De...."
"He em," Keka menghentikan tawanya. Ujung bibirnya masih menyisakan senyum manis.
"Cinta itu bukan hanya tentang chemistry atau bertautnya dua hati karena cantiknya budi dan hati. Cinta juga tentang kebiasaan." Damar maju selangkah mendekati Keka yang masih berdiri bersandar pada daun pintu. Gadis tinggi semampai itu nampak cantik tanpa make up meski hanya berbalut mukena.
"Cinta itu tentang kebiasaan De. Kemarin Ade terbiasa disetiap malam dan pagi berbagi rasa dan cerita dengan seorang Khai...Sintogendeng itu." Damar menarik bibirnya mencoba tersenyum meski setiap menyebut nama Khai ada rasa membara di palung hatinya. Cemburu.
"Sekarang Ade hanya tinggal mengubah kebiasaan saja. Terbiasalah berbagi rasa dengan Aa di pagi dan malamnya Ade."
"Iih Aa...apaan sih," Keka tak bisa menahan senyumnya, ada rona merah jambu menjalar di pipinya yang putih bersih, hangat sekali.
"Udah gih sana berangkat, Aa lama-lama ngelantur." Keka mengibas-ngibaskan tangannya seperti mengusir ayam pelungnya abah.
"Janji ya jangan kangen," Damar berujar lembut lalu mengucap salam. Keka menjawab salam diiringi dengan derai tawa renyahnya.
Keka memandangi tubuh Damar hingga hilang di ujung jalan. Ternyata bahagia itu sederhana. Tak serumit menujumu Khai yang perlu waktu setahun hanya untuk jatuh cinta lalu terluka.
Bahagia itu sederhana. Sesederhana pertemuan pagi ini. Sesingkat tawa canda yang datang dari hati dan seindah senyum tulus tanpa pamrih.
Ini nyata.
Keka menutup pintu rumah. Mengambil wudhu kedua kali untuk melanjutkan dhuhanya yang tertunda.
Ia ingin mengadu, mengistirahatkan rindu yang letih bertalu-talu.
Ia ingin bersujud mengucap syukur atas rindu yang mulai terobati.
Baru saja Keka selesai berwudhu, ketukan di pintu terdengar lagi. Tanpa salam.
Aa? | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 2
- Bersambung -