Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 9

Saat cintamu terasa sakit genggamannya,
maka ikhlas melepaskan adalah penawar lukanya.
*** | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 9

"Neng, " suara Ananta terdengar sayup memecah heningnya subuh. Lelaki berbadan tegap itu mengetuk pintu kamar adiknya berkali-kali. Tak ada jawaban. Ia mulai cemas. Selepas shubuh biasanya Keka tak pernah masuk kamar lagi, selalu sibuk membantu Mamah menyiapkan sarapan untuk Abah atau sekedar membantu Mamah membereskan dapur serta menyiapkan swalayan mini depan rumah yang buka dari jam 6 pagi.

"Neng, buka pintunya."

Hening.

"Neng.... " lirih suara Ananta.

"Siapa? "

"Kucing."

"Siapa? " suara Keka terdengar serius dari balik pintu.

"Burung. "

"Eh...," Keka membuka pintu kamar sedikit, wajahnya mengintip separuh. "Kakak?"

"Iya, kecewa? Ngarepnya burung?" Ananta terkekeh. "Burung hantu atau Elang? "

"Teu lucu ih! " Keka bersungut-sungut. Bergegas menutup kembali pintu kamar.

"Neng, naha ditutup deui?" Lelaki dengan rambut ikal yang masih basah air wudhu itu mengetuk lagi. Siang ini ia akan kembali bertugas, meninggalkan abah, mamah, rumah yang nyaman dan adik kesayangannya. Kembali ke negeri jiran dan setidaknya untuk setengah tahun kedepan ia belum tentu bisa mengambil cuti kembali pulang.

Semalam ia sudah melepas rindu pada Abah dan Mamah, banyak hal sudah tersampaikan. Abah tak seperti biasanya memberi wejangan panjang lebar semalam. Salah satunya adalah amanah abah yang memintanya menjaga Keka sebagaimana Abah menjaga Mamah dengan segenap kesetiaan. Dan pagi ini ia ingin menghabiskan waktu bersama Keka, menguatkan kembali ikatan hati yang merenggang saat Khai sempat mengisi hari-hari gadis itu.

"Neng."

Tak ada jawaban.

"Neng."

Keka bukan tak mendengar, tapi ia belum siap keluar kamar sepagi itu setelah menangis semalam. Matanya sembab. Bukan saja tak ingin terlihat sedih di hadapan Ananta , tapi karena ia tak mau kakaknya tahu bahwa ia menangis sebab mendengar percakapan antara Abah dan Ananta sore kemarin.

Gadis itu mendengar dengan jelas bagaimana Abah bercerita tentang sayangnya pada seorang bayi cantik yang kehilangan ayah dan ibunya di suatu subuh karena kecelakaan. 19 tahun lalu bayi cantik puteri sahabat karib Abah itu begitu menawan hati Abah dan Mamah. Hingga akhirnya Abah berjanji menjaga bayi cantik berpipi kemerahan itu sepenuh jiwa dan raga sebagai putri kesayangannya.

Ada banyak yang Keka dengar sore itu, namun yang paling terngiang di kepalanya adalah tentang darah yang berbeda. Ia bukan seorang Purwadiraja melainkan seorang Ardiyansah. Seorang Ardiyansah yang menjadi kesayangan keluarga Purwadiraja.

Entah kenyataan mana yang paling menyakitkan baginya. Tentang ia yang sesungguhnya tak beribu dan berbapak ataukah tentang cintanya Abah, Mamah dan Ananta yang utuh tak tercela sedikitpun padanya. Entah.

Ada sakit yang mendera jiwanya seketika.
Sakitnya tak biasa. Seperti patah hati, patah yang berbeda. Ini tak sederhana.

Semalaman ia menangis bersama cahaya purnama yang jatuh di peraduan, yang membawa kenangan Khai bersamanya. Kenangan saat Khai masih sering berbagi cerita tentang mereka. Tentang ayah dan ibunya yang ingin segera dipertemukan dengan Abah dan Mamah. Tentang pertemuan dua keluarga besar yang mendamba cucu-cucu sehat dan lucu. Cucu dari rahim seorang Kekasih Humaira , generasi pemegang waris bagi keluarga Rakhaiva Shinatriya.

Meski malam itu bermandikan cahaya purnama, bagi Keka ia tetap malam yang terasa kelam. Sekelam kenangan yang terus menarik Keka pada jala ingatan tentang Khai dan mimpi-mimpinya.

"Neng," suara Ananta masih bergeming di depan kamar Keka. "Kakak boleh masuk? "

Keka beranjak juga. Kali ini ia tak ingin lelaki yang seumur hidup ia yakini sebagai kakak kandungnya masuk kamar tidurnya. Ia mulai mengerti mengapa Abah tak pernah memberi wajah manis jika melihatnya berlama-lama di kamar Ananta, begitupun sebaliknya. Abah tak bisa menyembunyikan raut tak senang melihat Ananta yang bebas keluar masuk kamar Keka.

Gadis berambut panjang itu menggapai sweater birunya dan sehelai kerudung senada. Memakaikan sekenanya bahkan tanpa bercermin, lalu membuka pintu perlahan.

"Boleh masuk? " sambut Ananta dengan senyum manisnya. Keka menggeleng. Menutup pintu kamar dan bersandar di badan pintu.

"Kakak sudah selesai packing?" Keka mengalihkan percakapan. Wajah gadis itu nampak pucat dengan mata masih sembab.

"Habis menangis Neng? " Ananta menangkap mata yang merah dan bengkak di wajah ayu Keka.

"Ngga. " Keka menggeleng.

"Ngga sebentar? Itu sampe bengkak gitu, kayak mata
burung hantu. " Ananta mengangkat dagu gadis yang sedari tadi menunduk. Keka terpaksa mendongak, menatap wajah lelaki beralis mata tebal itu. Mereka bertemu tatap. "Burung hantu yang cantik," gumam Ananta sambil memicingkan mata berlagak memeriksa lebih dekat mata bengkak didepannya.

"Ayo Kakak obati. " Ananta langsung menarik tangan Keka ke ruang keluarga. Hamparan permadani tempat mereka sekeluarga menghabiskan waktu bersama saat menonton tivi terhampar disana. Beberapa foto keluarga terpasang cantik di beberapa sudut ruang. Ada Keka dan Ananta berpose saling menautkan rangkulan disana. Foto kenangan saat kemping bertiga dengan Damar pun terpampang penuh keceriaan. Menambah hangat suasana ruang keluarga mereka.

Keka menatap nanar pada foto-fotonya. Ia sekarang merasa tidak layak berada di sana. Tak layak diabadikan dengan kenangan indah itu. Ia merasa bukan siapa-siapa. Tak istimewa lagi.

Ananta mendudukkan Keka pada sofa di sudut ruangan. Ia ke dapur menyiapkan air garam hangat dan kapas. Tanpa ragu lelaki yang akrab dengan dunia pecinta alam itu langsung mengompres kelopak mata Keka dengan kapas yang ia celupkan pada air garam hangat. Itu ia pelajari saat aktif sebagai pecinta alam di kampusnya. Konon katanya bisa mengurangi efek sembab karena produksi airmata yang berlebih. Aitmata yang asin di lerai dengan air garam yang asin pula. Seperti luka, ia akan cepat mengering saat dilarung bersama air laut.

Keka menurut saja. Dibiarkannya Ananta bekerja.

"Berhijab? " Ananta melirik pada ubun-ubun yang tertutup kerudung Keka.

"He em. "

"Alhamdulillah. "

Keka mengangguk. Ikut menyenandungkan syukur di hatinya.

"Bukan karena patah hati sebab Khai kan Neng? "

"Enak aja! " Keka mengerucutkan bibirnya, kesal.

"Siapa tahu patah hati terus pengen tobat jadi jilbaban."

"Iih apaan sih Kakak. Dari dulu Neng pengen jilbaban yang bener kok. Selama ini kan udah jilbaban tapi kalo keluar rumah aja."

"Niatnya karena Allah ya, karena cantikmu perlu dijaga dengan hijabmu Neng. "

"He em."

" Terus kenapa Neng? " Ananta masih memberi satu lagi perasan kapas dimata kiri Keka.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa nangis? "

"Gapapa."

"Karena Khai lagi?"

Keka menggeleng.

"Terus kenapa?"

"Gapapa Kak, aku gapapa. "

"Cerita dong Neng. Siang nanti Kakak pergi,nanti lama ngga bisa nemenin Neng lagi. Sekarang cerita dong. "

Ingin rasanya Keka menumpahkan segala rasa gundah di hatinya.

Apa daya, Keka tak ingin lelaki yang seumur hidupnya telah menjadi kakak terbaiknya itu tahu bahwa ia menangis karena rahasia besar itu. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 9

"Inget dia lagi?" tanya Ananta lembut. Keka hanya tersenyum, mengiyakan. Ia tak ingin Ananta terus mengulik penyebab air matanya tumpah semalam.

" Kangen Khai? "

"Apaan sih Kak, jangan bahas dia lagi." Keka melepas kapas di matanya.

"Jangan bahas dia tapi air matamu masih untuk dia. Bodoh. Burung hantu yang bodoh. " Ananta menjawil hidung Keka, gemas. Hatinya merutuk tak terima setiap kali membayangkan Keka masih terperangkap di jala ingatan tentang pemusik yang sedang naik daun itu. Ia ingin membebaskannya namun merasa tak berdaya.

"Kakak akan datangkan dia untukmu Neng."

"Bisa? " tanya Keka. Ini kedua kalinya ia dengar kakaknya bicara tentang mendatangkan Khai untuknya.

"Sangat bisa," suara Ananta terdengar yakin.

"Untuk apa? Kami sudah selesai. " Keka menyanggah. Ia percaya Ananta tak main-main. Jika lelaki itu berjanji, ia akan sempurnakan ikhtiar untuk mewujudkannya. Jika ia katakan bisa, artinya sungguh bisa. Dan Keka khawatir jika benar Ananta mendatangkan Khai untuknya, entah apa yang harus ia lakukan.

"Entah untuk melanjutkan atau menyelesaikan, setidaknya Kakak ingin kalian menghadapi perasaan kalian. Bukan lari dari rasa yang ada. Apapun rasa yang tertinggal, hadapi Neng. Selesaikan dengan benar, agar ia tak menjadi luka ataupun dendam. Bahkan bisa jadi itu benar cinta."

Keka tak ingin mendebat Ananta sepagi itu. Ia hanya mengangguk mengiyakan. Berharap percakapan pagi itu segera selesai lalu membiarkan ia kembali ke kamar. Ia masih ingin menangis. Menumpahkan segala yang menyesakkan dada.

"Neng, maafkan dia. Dengan begitu kau tak dikejar rasa sesal. "

"Entahlah Kak. Neng tak ingin membicarakannya lagi."

"Dia memang tak bisa mengabaikan perempuan-perempuan lain yang mengejarnya, tapi Kakak tahu cintanya untukmu Neng. Setidaknya dia setia dengan caranya. Setia padamu Neng. Mungkin caranya yang berbeda, tak biasa untuk gadis luarbiasa sepertimu."

"Bisakah kita tidak membicarakannya lagi Kak? " Keka menentang mata hitam Ananta.

"Ok. Jadi baper ya? "

Keka mendelik, mulutnya mengerucut kesal.

"Cewek tuh cepet baper ya. Baru patah hati dunia terasa kiamat. Awalnya dari baper juga. Cowok muji dianggap suka. Cowok suka dianggap cinta. Cowok cinta dianggap siap nikahin. Cowok yang nikahin dianggap ngga akan nyakitin. Salah. Itu salah besar. Cowok tetap manusia Neng meskipun sedikit berbulu domba dan bermoncong srigala."

"Dasar srigala! " Keka mencubit perut Ananta. Kata terakhir lelaki berbadan tegap itu berhasil membuat Keka tertawa.

"Makanya jangan percaya moncongnya cowok Neng. Jangan! "

"Iya Neng ngga percaya moncong kalian! " Keka tertawa.

"Nah gitu ketawa dong, jangan nangisin dia lagi." Ananta mengusap kepala Keka. Keka percaya itu cinta, cinta tulus seorang kakak pada adiknya. Apalah artinya darah yang berbeda jika cinta itu terasa sama besarnya, mengalir deras tanpa pembeda.

Rasa sesak di dada Keka terasa lebih ringan. Meski ia tahu fakta yang berbeda tentang dirinya, cinta orang-orang istimewa di sekitarnya tak ada yang berubah. Layakkah jika ia masih mempertanyakan posisinya di hati mereka? Jika kenyataannya ia selalu menjadi kesayangan keluarga Purwadiraja.

Siang itu mereka melepas Ananta terbang kembali ke Bengkalis. Keka tahu Abah ingin anak lelaki semata wayangnya itu bekerja di tanah air, dekat dengan mereka. Tapi mimpi Ananta sudah tertambat di sana. Bukan saja karena posisinya sebagai programmer adalah impiannya, tapi juga karena ada seorang perempuan melayu yang menanti di sana.

Keka bahagia saat Ananta memperlihatkan foto Adlina, seorang news anchor muda di stasiun televisi tempatnya bekerja. Ananta baru bercerita pada Keka dan Damar perihal gadis berdarah jiran itu. Belum sampai pada Mamah apalagi Abah. Belum waktunya kata Ananta. Keka salut pada Ananta yang bisa menjaga hubungan dengan Adlina sebatas teman hingga nanti dipersatukan di pelaminan.

"Doakan kami berjodoh Neng, biar kamu punya teteh cantik buat curhat," kata Ananta pagi tadi. Keka mengaminkan sepenuh hati. Cita-cita Abah punya cucu penerus nama Purwadiraja akan segera tercapai.

"Kakak juga berdoa buat Neng sama Khai, semoga kalian berjodoh. Percayalah, jika Allah berkehendak tak ada yang bisa menghalangi kalian bersama. Cinta itu percaya Neng. Percaya. "

Keka ingin percaya, sebagaimana percaya bahwa saat cinta itu terasa menyakitkan, maka ia salah menggenggam hati. Cinta sejati itu tak pernah memaksakan kehendak, ia melepaskan agar bahagia. Meski bahagianya bersama yang lain. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 9

- Bersambung -