Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 8

Saat kau menggenggam kenangan terlalu erat,
sejatinya kau menyulut rindu yang semakin berat.
Ini pasti mimpi! | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 8

Khai menatap Keka tanpa berkedip. Akhirnya ia bisa menatap langsung wajah Kekasih yang selama setahun ini hanya bisa ia temui di laman facebook dan instagramnya.

Gadis dengan wajah putih dan alis mata tebal itu duduk dihadapannya. Cahaya rembulan jatuh tepat menyinari gadis yang dua bulan ini dirindukannya setengah mati. Ia cantik sekali malam ini. Bercahaya. Terangnya melebihi bintang di langit cerah. Kejora yang sempurna dalam pandangan Khai.

Khai sudah bertemu dan berhubungan dengan banyak perempuan cantik, bahkan yang sekelas fotomodel dan artis profesional. Ia banyak berinteraksi dengan perempuan jelita baik di atas panggung, di belakang layar , di dunia nyata maupun di laman dunia mayanya. Tak satupun yang mampu mengalihkan dunianya, sebagaimana paras indah Keka malam ini.

"Ke, " Khai membuka suara. Lalu meraih tangan Keka yang begitu dingin. Keka menarik perlahan tangannya. Khai sudah menduga, gadis itu belum memaafkannya.

"Keka, " lirih suara Khai, hampir tak terdengar. Tiba-tiba lelaki berwajah khas Jawa-Pakistan itu kehilangan kekuatan untuk berkata-kata. Lidahnya kelu. Jantungnya berdegup tak menentu. Ia yakin saat ini wajahnya memerah menahan gejolak rasa didada. Entah itu karena gugup, malu, atau bahagia. Yang pasti itu rindu. Rindu setengah mati.

"Bicaralah Khai, bicara. Waktuku tak banyak." Gadis bernetra hitam itu menentang mata Khai tanpa ragu. Tatapan yang meluruhkan segala keakuan di kepala Khai. Pandangan yang meluluh lantakan setiap pertahanan sendinya, ia lemah. Tak berdaya ditentang netra gadis pemilik rindunya. Khai menunduk. Ia tahu ia di hadapkan pada kelemahannya, tak bisa berkata-kata didepan kaum hawa. Apatah lagi depan perempuan yang dicintainya.

Ia terkenal dengan kepiawaiannya merangkai diksi indah, di tulisannya, di lirik lagunya, atau di status media sosialnya. Tapi ia bisu jika harus bicara langsung depan lawan jenisnya.

"Khai ...." Suara Keka memberi resonansi merdu di pendengaran lelaki berhidung bangir itu. Hidung yang sering digandrungi para fansnya.

"Bicara, atau aku pergi jika memang tak ada yang perlu kita bicarakan lagi." Keka beranjak dari duduknya dengan bergegas.

"Ke, jangan pergi," tukas Khai, "tetap di sini, kumohon."

Tangan kiri Khai menahan jemari Keka. Kali ini ia menggenggamnya dengan erat. Menghimpun segala kekuatan untuk bisa mengulur waktu bersama gadis bertubuh semampai itu.

Khai menghela napas panjang, menghimpun ratusan tenaga angin untuk bisa merangkai kata indah. Tapi tak ada kata yang keluar sepatahpun. Kelu.

Sejurus dipandanginya wajah bercahaya gadis yang begitu apik memainkan perasaannya selama ini. Ia sungguh kejora tanpa kerlip.

"Kau cantik, Ke."

"Hmm.... "

"Kau masih seperti dulu."

Hening. Mereka beradu pandang, sesaat.

"Kau cantik sekali. " Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Khai.

"Aku bukan Keka yang dulu lagi Khai. Bukan. " Keka berujar tenang. Mata hitam kelamnya di edarkan pada rembulan yang jatuh sempurna di belakang rambut lurusnya Khai.

"Bagiku kau selamanya Kekasihku. "

"Bukan," Keka menukas, "Aku bukan Kekamu lagi, bukan Kekasih Humaira Ardiansyah yang dulu kau abaikan berminggu-minggu tanpa kepastian sikapmu."

"Kau tetap Keka yang aku rindu. " Khai menautkan jemarinya pada jemari Keka. Gadis berambut panjang itu menolak, tapi genggaman Khai semakin menguat.

"Bukan. Ia telah mati. Kau telah menikamnya dengan syair indahmu di lagu Entah itu. Kau membunuhnya Khai. Membunuhnya."

Suara Keka mengalir tenang namun mengantarkan aliran listrik yang menyengat dahsyat dari ujung kaki Khai menjalar hingga tengkuknya. Lelaki itu merasa kaku sesaat, terpaku dingin. Mulutnya sedikit terbuka, terperangah mendengar kata-kata Keka.

Khai meremas jemari Keka mencoba mencairkan susana tegang diantara mereka.

"Apa yang terjadi pada kita, Ke?" Khai menata degup jantungnya yang berpacu cepat. Ia merasa sedang berada di dalam roller coaster yang berjalan lambat namun pada ketinggian tak terhingga. Melenakan sekaligus menakutkan.

"Aku dan kamu, kita kenapa Ke? " tanya Khai lagi.

"Kau sungguh naif Khai. Harusnya aku yang bertanya, kau kenapa? Tak cukup berartikah aku di hatimu hingga kau abaikan aku demi eforia bahagiamu di elu-elukan para perempuanmu di luar sana? "

Hening. Hanya suara angin malam sesekali menerpa wajah mereka. Dingin.

"Apa yang terjadi pada mimpi-mimpi itu, mimpi kita? " Keka menyisir wajah lelaki dihadapannya. Masih wajah yang sama, yang dua bulan lalu masih bertahta di hatinya. Hanya sedikit lebih tirus dengan jambang halus dikiri kanan pipinya. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 8

Hening kembali. Mereka beradu pandang tanpa suara. Sedetik, dua detik, tiga detik, Khai beringsut mendekat pada Keka.

"Aku ingin menciummu, Ke."

"Aku ingin menamparmu, Khai! "

Plak!

"Ouch!" Khai terkejut. Ia sungguh tak siap mendapat tamparan sekeras itu. Ia terhuyung ke kanan.

Duk!

Kepalanya terantuk jendela kamar yang terbuka lebar. Khai tersentak kaget mendapati dirinya seorang diri di dalam kamarnya. Gelap.

Setengah tak percaya matanya diedarkan ke penjuru ruangan. Benar itu kamarnya. Ia tertidur sedari sore tadi. Lampu kamar belum dinyalakan bahkan jendelanya masih terbuka.

Ia berjalan ke arah saklar lampu sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit terantuk jendela kayu.

Lampu dinyalakan. Khai melihat arloji hitam di tangan kanannya. Pukul 8 malam, artinya ia tertidur dua jam lebih dengan posisi duduk di tepian jendela bersama gitarnya. Mencoba mencari inspirasi lirik lagu terbaru sambil menunggu purnama muncul sempurna. Hingga ia tertidur dan memimpikan Keka, Kekasih datang sebagai bunga tidurnya.

Khai mencoba mengingat kembali mimpi yang baru saja menghampirinya. Terekam jelas sekali wajah Keka yang ayu bercahaya. Itu sungguh wajah gadis yang dirindukannya. Bahkan rasa panas tamparannya pun begitu nyata terasa.

Khai memegangi pipi kanannya. Masih panas. Ia mencari cermin di samping lemari pakaian. Penasaran di amatinya pipi bekas tamparan Keka dalam mimpi. Merah!

Khai mundur sejengkal. Kaget. Ini benar mimpi, namun sakitnya begitu nyata. Bagaimana bisa? Khai tak habis pikir. Ia terus memegangi pipi yang terasa pedih, ini sungguh sakit namun tak sepedih lara hatinya. Rindu yang terluka di rajam kenangan. Ini menyakitkan.

"Kau ada Ke, masih berdenyut kuat di jantungku. Bahkan jarak tak mengusaikan rinduku meski diammu melumpuhkan segala daya." Khai berseru pada purnama malam itu. Satu lagu tentang rindu tercipta bersama sayatan pilu dihatinya.

Khai masih memutar kenangan bersama Keka. Percakapan mereka tentang rencana membangun rumah kayu di hutan rindang yang tenang berkelebat lagi. Bahkan tawa renyah Keka yang memimpikan memiliki bayi-bayi yang sehat dan lucu pun datang mengetuk ingatan Khai malam itu.

"Aku ingin rumahku ramai dengan anak-anak Khai," ucap Keka suatu sore.

"Tentu. Dua anak kita, seorang putri cantik dan seorang jagoan tampan. "

"Tiga anak, Khai. Dua terlalu sepi. "

"Dua cukup. "

"Tiga. "

"Dua."

"Khai, Tiga. "

"Berapapun, ayo kita buat sekarang! " Khai mengakhiri debat mimpi mereka dengan tawa berderai. Keka menyambut dengan tawa manjanya. Indah kala itu meski hanya dalam telepon, mesenger atau di watsap mereka.

Khai memandang rembulan dari balik jendelanya. Purnama mulai bulat sempurna. Ada wajah cantik Keka di sana. Menatap sendu tanpa senyum yang ia rindu.

"Apa yang terjadi pada kita, Ke?" Khai bertanya lirih pada hatinya. Rekaman mimpi tadi terus berputar lagi di benaknya. "Kau yang menelantarkan hatiku, tak memberiku ruang dan waktu. Kau kejam, Ke. "

Khai memetik gitarnya, menyenandungkan lagu Dunia Mayanya Ari Lasso.

"Aku merasa jatuh cinta padanya
Meski tak pernah berjumpa
Ingin rasanya ku memiliki dirinya
Dalam dunia nyata
Seutuhnya sesungguhnya selamanya
Gejolak perasaan
Bertemu di kenyataan
Bukan sekedar mimpi dan khayalan"

Lantunan dawai gitar Khai mengiringi tekadnya untuk segera memenuhi janjinya. Janji untuk datang mewujudkan semua mimpinya bersama gadis pujaaan hati, Kekasih Humaira Ardiansyah.

Sementara di bawah bulan purnama yang sama, Keka memandang pilu pada pantulan cahayanya yang jatuh di peraduan. Ia menangis, hatinya terkoyak tanpa bentuk. Tak sengaja sore tadi ia mendengar Abah dan Mamah menasehati kakak semata wayangnya, Ananta sebelum ia kembali ke Bengkalis untuk pekerjaannya. Sebuah nasehat bagi Ananta, namun terasa bagai petir bertegangan tinggi bagi Keka. Ia tersengat mendengarnya hingga jatuh lemas tak kuasa berkata lagi. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 8

Benarkah apa yang ia dengar? Air mata Keka menderas, hatinya sungguh hujan malam itu.

- Bersambung -