Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 11

Hadiah terindah yang Tuhan berikan selain cinta adalah percaya. Karenanya harga percaya pun setia lebih mahal dari nilai sebuah cinta.  | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 11
***
Jadi begini rasanya bertemu seseorang yang terhubung dengan mantan, tak berharga!

Ya, Khai merasa sungguh rendah di mata lelaki berbadan tegap dihadapannya. Saat ia tertuduh mematahkan hati sang mantan, maka seluruh dunia yang terkoneksi padanya seakan memusuhi. Teman sang mantan, sahabatnya, tetangganya, kerabatnya, keluarganya, apalagi kakaknya.

Mimpi apa Khai semalam sampai ia harus berhadapan dengan Ananta, kakak semata wayang gadis yang memutuskan cintanya begitu saja.

Ananta sengaja terbang dari Bengkalis ke seberang pulau tempat Khai tinggal. Abah memang tak meminta Ananta menemui Khai. Lelaki berambut putih itu hanya menelpon, mengabarkan kondisi Keka yang sempat memanggil nama Khai dalam demam tingginya. Selepas ditelpon abah, lelaki berwajah bulat dan berambut ikal itu tak menunggu lagi. Dengan penerbangan pertama hari itu ia membawa dirinya ke hadapan lelaki yang sempat merenggut cahaya hidup adiknya. Sore itu di Cafe Teras mereka bertemu.

Mereka hanya terpaut usia dua tahun. Ananta sudah melewati angka 26 sedangkan Khai baru meninggalkan usia 24 tahunnya dua bulan lalu. Bulan dimana ia mendapat ratusan ucapan selamat hari lahir dari para penggemarnya, namun ironisnya ia sedang didera rindu menggila pada gadis yang menghempaskannya tanpa kata perpisahan. Rindu pada seorang Keka.

Ananta duduk berhadapan dengan lelaki berperawakan kurus itu. Ternyata tak seistimewa penampilan yang dia lihat di youtube maupun di media sosial. Khai di mata Ananta tak lebih dari pemuda berwajah khas timur yang kebetulan digandrungi banyak gadis karena karyanya. Itu saja. Tak ada yang istimewa. Bahkan tubuh Khai kalah besar dan kalah tinggi darinya. Ananta yang menjaga asupan gizi dan olahraganya itu nampak jauh lebih berisi tubuhnya.

Mereka duduk berhadapan. Sekilas nampak tak jauh berbeda, sama-sama muda dengan wajah yang mudah mempesona para gadis. Yang membedakan hanya pembawaan sikap keduanya. Ananta dengan wajah putih bersihnya, rambut ikal dan tubuh atletis nampak lebih dewasa dari Khai. Sedangkan Khai, lelaki berkulit kecoklatan dan wajah khas blasteran Jawa-Pakistan itu masih terlihat sangat labil dengan kemeja hitam dipadu celana jeans belelnya, ada gundah di wajahnya.

"Sigaret? " Khai menawarkan class mildnya. Mencoba mencairkan suasana yang mendadak tegang di antara mereka. Ananta hanya menggeleng. Tak ada senyum sedikitpun, dingin. Khai merasa kata pembukanya adalah kesalahan fatal. Ah, kenapa rokok yang dia tawarkan. Seakan-akan ia pecandu berat. Seharusnya minuman pembuka atau setidaknya menanyakan kabar Keka bukan? Tapi lidah Khai mendadak kelu. Entah harus berkata apa pada lelaki tinggi tegap berwajah dingin di hadapannya.

"Bagaimana kabarnya? Keka? " Akhirnya meluncur juga pertanyaan itu.

"Masih pentingkah tahu tentang dia? " Ananta menjawab dingin.

"Hmm penting."

"Aku jauh-jauh kesini bukan untuk memberi kabar tentang Keka padamu."

"Lalu? " Kening Khai berkerut, ia menunggu jawaban lelaki berkemeja rapi dihadapannya.

"Kau pikir untuk apa? " Ananta melipat tangannya di dada. Duduk santai dengan kaki kanan bertopang di kaki kirinya. Sepatu booth hitam menambah gagah penampilannya.

Hening sejenak. Khai menarik nafas berat. Ia mencoba mengira-ngira apa yang ada di benak lelaki dihadapannya. Hal yang paling dikhawatirkannya bukanlah mendapat pukulan seorang lelaki, tetapi permintaan tanggung jawab seorang kakak yang adiknya ia lukai.
"Bukan aku yang memutuskan hubungan kami. Dan aku tidak sedang mempermainkannya. Aku bahkan belum pernah menjamahnya. " Khai mencoba membela diri bahkan sebelum diserang.

Di luar dugaan Khai, Ananta malah tertawa menanggapinya.

"Bagaimana kau menjamahnya, bertemu pun tidak, bukan?"

Khai balas tersenyum. Ia menatap wajah di hadapannya, ia seperti melihat tawa Keka di sana. Tawa renyah yang ia rindu.

"Tapi aku bukan lelaki bodoh, Bung! Kau memang tak pernah menjamahnya, tapi bukan berarti kau biarkan ia masih perawan kan?" ujar Ananta.

"Maksudmu? "

"Di dunia nyata dia masih gadis suci, bisa jadi di dunia maya kau sudah merenggut keperawanannya. Ya kan?" Ananta terkekeh melihat lelaki yang duduk semeter di depannya nampak gugup. "Tapi aku tidak ingin membahas tentang itu. Chat sex sekarang sedang trend bukan? Aku juga lelaki, cukup tahu saja. "

Hening meranggas kembali. Khai biasanya selalu piawai membuka ataupun menimpali percakapan. Tidak kali ini. Ia merasa tak bisa berkata-kata. Pikirannya mendadak kosong. Kemana aksara indah itu berlarian. Khai tak mengerti.

"Ada yang lebih penting." ujar Ananta.

"Tentang apa?"

"Tentangmu. Jika benar kalian telah selesai, berhentilah membawa nama dia dalam karya-karyamu. Dalam tulisanmu. Dalam lagumu."

"Itu hakku mau menuliskan apapun di karyaku. Sebuah karya seni bisa multitafsir. Kekasih, nama Keka tak selalu tentang Kekasih Humaira. Biarkan penikmat seni menafsirkannya sendiri. Begitupun aku." Khai mengatur degup jantungnya setenang mungkin.

"Terserahlah. Yang pasti jangan bawa namanya di atas panggungmu. Jangan sebut namanya depan fansmu."

"Fans? Fans apa? Aku tak punya fans!"

"Whatever!" Ananta menukas cepat. "Saat ini dia sedang berjuang melupakanmu, menepis setiap kenangan tentang kalian. Tapi kau dengan tertawa sengaja menghidupkannya, menyulut bara baginya menjadikan itu permainanmu."

"Aku tak pernah mempermainkannya!" Khai menentang netra hitam Ananta. "Bukankah dia yang semena-mena mempermainkan perasaanku. Dia yang pergi. Menutup semua jalan komunikasi."

"Baiklah, jadi adikku yang salah. Dia yang keras kepala dan tidak dewasa. Lalu bagaimana dengan sikapmu yang menjanjikannya mimpi indah lalu ingkar dan kau abai pada perasaannya? Bahkan kau tak mencoba memperjuangkan perasaan kalian. "

"Kami memang dua orang keras kepala yang bertahan dengan ego masing-masing. Tapi Aku tak pernah menduakannya. Sekalipun." Khai meremas jemarinya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tiba-tiba bayangan wajah manis Keka mengisi seluruh ingatannya. Ia disergap kenangan tentang Keka. Lagi.

"Aku hanya perlu waktu berpikir. Perlu ruang untuk bernapas." lanjutnya.

"Ruang bebas untuk melayani dengan hangat semua fansmu? Sure!" lugas suara Ananta.

Khai tak menjawab. Rasanya percuma ia membela diri.

"Aku memang salah." Khai buka suara lagi, "aku banyak berputar-putar tak jelas arah. Aku...."

"Setahun tanpa arah. Baguslah kau sadar kau salah." tukas Ananta, "sayangnya kau tak punya kesadaran untuk memperbaiki kesalahan, atau bahkan untuk sekadar meminta maaf ataupun untuk mengakhiri dengan benar." Sejujurnya batas kesabaran Ananta sudah terlampaui, ingin rasanya menyalurkan kegeramannya dengan melayangkan satu tinju ke wajah lelaki di hadapannya. Tapi Ananta menahan diri. Ia ingat janjinya pada Keka, janji untuk memastikan Khai baik-baik saja.

"Bukan aku yang pergi menghilang. Tapi Keka yang memutus semua aksesku padanya. aku di blokirnya."

"Tentu saja, ia pergi karena kau tak pernah memintanya untuk tinggal."

Khai tercenung. Kenangan tentang amarah-amarah yang pernah tersulut di antara mereka terbuka lagi. Ia selalu memilih menghindar saat Keka tersulut emosi. Biasanya itu ampuh meredam dua kepala yang panas. Tapi tidak kali ini, belum sempat Khai mengambil hati Keka, gadis itu telah menghilangkan diri, sampai kini.

"Aku menelpon. Aku berusaha meminta maaf, tapi telponku tak pernah di angkat, bicarapun tak bisa."

"Kau tahu dimana ia tinggal bukan? No excuse!" Ananta tertawa sinis.

Lalu, hening sesaat.

"Kau bebas datang, aku yang menjamin keselamatanmu, bahkan dari tamparan gadis keras kepala itu." Ananta memaksa mengguratkan senyumnya.

"Kau tahu Bung, bagi seorang publik figur saat kisah percintaannya terkuak di muka umum ada dua kemungkinan, menjadi kendaraaan tercepat bagi namanya melambung tinggi atau jadi boomerang paling mematikan!"

"Aku tak berniat pacaran lagi, aku mulai berpikir tentang pernikahan," suara Khai terdengar seperti sebuah pembelaan atas sikapnya.

"Terserahlah. Itu kehidupanmu Bung. Bukan urusanku. Urusanku hanya satu, Keka. Kalau kau membawa namanya kau berurusan denganku. " Ananta menatap tajam lelaki berkulit eksotis di hadapannya. Ingin rasanya mematahkan hidung mancung lelaki di hadapannya. Tapi bukan itu tujuannya datang. Ada janji pada Abah untuk memastikan bahwa Khai layak menjadi menantu keluarga Prawiraja.

"Misiku selesai. Aku pamit." Ananta berdiri, berjalan menuju pintu cafe tanpa memandang Khai lagi.

"Tunggu." Khai menyejajari langkah Ananta. "Terima kasih menemuiku,"suara Khai terdengar tulus bagi Ananta. Ia menyambut uluran tangan Khai. Menyalaminya seperti dua orang asing yang berdamai pada takdir. Ananta menatap dalam mata lelaki berhidung bangir itu.  | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 11

Akhirnya Ananta tahu mengapa Keka begitu mudah menjatuhkan cintanya pada lelaki di hadapannya. Dia punya senyum dan sikap yang hangat meski Ananta tetap tak yakin tangan itukah yang akan menggenggam sang wali nikah Keka saat ijab kabul.

"Maaf." Khai berujar, ragu. "Maaf untuk sakit yang Keka rasakan."

"Bukan padaku, minta maaflah pada adikku."

"Aku akan datang pada Keka," ucap Khai tanpa ragu.

"Kau masih bisa dipercaya?"

"Aku janji, Kak. "

"Aku tunggu. Aku pamit." Ananta menepuk bahu Khai layaknya seorang Kakak menguatkan adiknya.

Khai melepas Ananta dari pintu cafe, menatap senja yang jatuh di pantai Nongsa yang kali ini terasa lebih indah. Ada hangat menjalar di hatinya, harapan itu berpendar kuat. Ia akan kembali menggenggam Kekasihnya. Kekanya.

Kali ini ia bertekad untuk menepati janjinya. Harga diri seorang lelaki terlihat dari cara ia memegang janji, bukan? Khai membuka kembali ruang rindu itu, yang sejatinya tak pernah benar-benar ia tutup.
***
...kamu adalah bukti
dari cantiknya paras dan hati
kau jadi harmoni saat ku bernyanyi
tentang terang dan gelapnya hidup ini

kaulah bentuk terindah
dari baiknya Tuhan padaku
waktu tak mengusaikan cantikmu
kau wanita terhebat bagiku
tolong kamu camkan itu...

Suara Damar melantunkan lagu Buktinya Virgoun menemani Keka menghabiskan senja di rumah sakit. Dari kursi rodanya Keka menikmati petikan gitar lelaki berjanggut tipis itu. Sesekali mereka saling melempar senyum.

Ada bahagia menelusup di hati Keka bukan saja karena tiga hari ini Damar mewarnai hari-harinya di rumah sakit. Tapi karena ia mendengar dari Abah bahwa Ananta akan pulang menjenguknya.

Keka ingin bercerita tentang sekeping hati yang lelah memunguti setiap rindu yang terserak. Ia telah membungkusnya rapi dalam kotak yang ia sebut kenangan. Kotak yang tak ingin ia buka lagi, yang akan ia larungkan bersama bayangan Khai.

"De, tahu ngga apa yang paling berat? " tanya Damar membuyarkan lamunan Keka.

"Pasti rindu, ya kaaan? "

"Bukan."

"Berat badan Abah? "

"Eh, calutak. Pamali ngomongin orang tua, De." Damar terkekeh.

"Terus apa? "

"Yang berat tuh mengkhawatirkanmu, De. " Damar menatap bulat mata indah Keka. Wajah putih itu masih terlihat pucat karena sakit. Keka membalas tatapan lelaki dua puluh lima tahun itu dengan senyum termanisnya.

"Sembuh ya De, cepet pulang. Biar bisa cepet nikah. " Damar mengedipkan satu matanya.

"Nikah?" Keka bertanya lugu.

"Iya."

"Sama siapa?"

"Sama kucyiiiing. " Damar menirukan suara kucing mengeong. Dan Keka tak bisa menahan tawanya.

"Kucingnya nanti minta makan apa? Adek ngga bisa masak loh."

"Minta semangkok mie rebus panas aja deh lalu hangatkan dengan pelukan yang masaknya aja. "

Keka tertawa lagi.

"Atau seduhkan kopi pahit tapi diteguknya dengan bibir manisnya adek deh," Damar memainkan alisnya naik turun menggoda Keka yang masih terkekeh dari kursi rodanya.

Selalu ada bahagia terasa di relung hati Keka setiap menghabiskan waktu bersama Damar. Bahagia dan cinta yang hening namun nyata, bukan cinta yang riuh di dunia maya tapi hampa di dunia nyata.

Senja itu ada doa melangit memohon agar takdir menyatukan hatinya yang pernah terluka dengan Damar sebagai penawar lukanya. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 11

- Bersambung -