Bagiku Engkau Tetap Malaikat Kecilku

Sebagai anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan. Aku memang harus terbiasa hidup serba dalam kekurangan. | Cerpen Islami Bagiku Engkau Tetap Malaikat Kecilku

Tak terkecuali saat menginginkan sesuatu, maka aku harus lebih banyak mengalah. Karena ibu lebih memprioritaskan kebutuhan kakak lelakiku daripada denganku.

"Mungkinkah, aku ini cuma anak pungut yang ditemu di pinggir jalan?" desisku lirih. Saat kupandangi cermin usang di kamarku yang terbuat dari papan kayu.

"Kenapa ibu lebih sayang kepada kakak?"

"Berbeda sekali dengan teman-temanku di sekolah. Contohnya Alina, dia bungsu. Dan begitu dimanjakan oleh ke dua orang tuanya, sedang aku....?"

"Aku juga bungsu kan?"

Hanya mampu tergugu sembari menatap lugu wajahku yang memantul di cermin. Terlihat menyedihkan. Untuk anak seusiaku delapan tahun.

Kami tinggal berempat. Aku, ayah, ibu, dan seorang kakak laki-laki. Usiaku dengan kakak berbeda jauh, tujuh tahun. Namun dalam keseharian kakakku lebih banyak mendapatkan curahan kasih sayang. Berbeda sekali denganku.

"Buk, belikan sepatu baru?" rajukku pada ibu. Saat kami semua berkumpul di teras rumah. Sambil menikmati kudapan singkong rebus. Hasil panen yang dibawa ayah dari ladang.

"Memang sepatumu kenapa, Lela?"

"Sudah kelihatan jelek, Buk. Beda sama punya teman-teman yang lain di sekolah. Milik mereka masih bagus karena belum lama ganti, sedang punya Lela sudah nampak usang," jawabku sambil menunjukkan sepatu yang kini warnanya tidak lagi menarik.

"Tapi kan masih bisa dipakai?" tanya ibu sekaligus menandaskan isyarat tak kan ada sepatu baru untukku.

"Tapi, Buk?"

"Udah! Gak usah tapi-tapi. Bapak sama ibu lagi gak punya duit."

Hanya perih yang melukai relung hati. Padahal pagi tadi aku jelas-jelas melihat ibu menerima uang dari tetangga sebagai buruh matun. Lalu ke mana uang itu sekarang?

****

"Buk, bagi duit dong. Rizal mau maen sama teman?" pinta kakak kepada ibu yang terdengar olehku dari dapur saat aku pulang dari kebun tetangga memetik daun singkong.

"Hush... jangan kenceng-kenceng nanti adikmu kalau tiba-tiba pulang bakal denger?" suara ibu terdengar berbisik.

Namun ibu dan kakak tidak menyadari kehadiranku yang sudah berada di dapur.

"Ini." Ibu menyodorkan beberapa lembar uang puluhan ribu yang sempat kulihat kemarin pagi.

"Makasih, Buk." jawab kakak sambil berlalu keluar dari kamar ibu.

Aku menyaksikan kejadian nyata itu di depan mataku. Sengaja aku mengintip dari lubang kecil dari bilik anyaman bambu.

Sungguh perih hati ini. Nelangsa tiada terkira. Untuk anak seusiaku yang masih begitu polos dengan pola pikirku, dan lebih menganggap bahwa ibu memang tidak menyayangiku.

Entahlah....

Kalian juga tahu kan? Memori seorang anak lebih membekaskan rasa trauma yang terkadang tanpa orang tua sadari.

Kuberanikan diri memasuki kamar ibu dan mengutarakan keinginanku untuk dibelikan sepatu baru. Merajuk seperti tempo lalu.

"Buk, beliin Lela sepatu baru?" ibaku pada ibu sambil menangis.

"Ibu gak ada uang."

"Tadi Lela lihat ibu kasih uang sama Kak Rizal. Kenapa sekarang bilang gak punya uang," protesku yang justru disambut dengan raut muka ibu yang memerah.

"Kenapa ibu lebih sayang sama kakak?"

"Jangan lancang kamu. Bocah kemarin sore berani bicara begitu sama orang tua. Gak sopan itu namanya. Apa di sekolah itu pelajaran yang diajarkan?" bentak ibu padaku.

Aku semakin ketakutan dan menangis sejadi-jadinya.

Namun itu tak membuat hati ibu menjadi luluh, malah semakin murka. Secepat kilat beliau menyambar jarik yang ada di tempat tidurnya dan menyeretku keluar dari kamar. Mengikatku pada sebuah tiang yang ada di ruang tamu.

"Lepasin, Buk. Lela gak mau diikat di sini."

"Buk...?"

"Ibu lepasin Lela."

"Buk...!"

"Lepasin...!"

Aku terus saja mengiba dengan air mata yang terus membanjiri pipi.

Menahan rasa sakit di pergelangan tangan. | Cerpen Islami Bagiku Engkau Tetap Malaikat Kecilku

Kulihat ibu hanya duduk di kursi kayu yang telah mulai lapuk. Masih terus menatapku dengan penuh kemarahan. Dan aku semakin meronta namun hanya berujung sia-sia. Karena ibu mengingat tanganku dengan kuat.

Ibu perlahan berjalan ke arahku yang masih saja terus menangis tiada henti.

"Buk, tolong lepasin Lela. Tangan Lela sakit?"

"Gak akan ibu lepas sampai kamu bisa jadi anak yang tidak kurang ajar lagi sama orang tua!" Kini telunjuk ibu sambil diarahkah ke jidatku.

Huuuuuuhuuuaaaa....

Jerit tangisku sakin kencang tatkala hadiah cubitan halus mendarat di pahaku.

Entah sudah berapa lama aku menangis hingga akhirnya tertidur. Mungkin karena lelah setelah menguras telaga air di mataku.

****

Lima belas tahun sudah sejak kejadian itu. Walaupun masih menyisakan perih luka hingga ceruk rongga napasku. Namun sedikitpun tak ada terbesit dendam ataupun sakit hati. Karena aku yakin sejahat apapun beliau, dari rahimnyalah terlahir diriku.

Sejatinya karena hukuman itu yang akhirnya membuat dan membentuk diriku menjadi pribadi yang kuat meski diterpa badai kehidupan berulang kali.

"Buk, ayo buka mulutnya. Makanlah walaupun sedikit?" bujukku pada ibu yang terbaring lemah di ranjangnya. Raut mukanya kini semakin terlihat menua seperti umurnya.

"Ibu ndak lapar, Nduk."

"Tapi ibu belum makan sedari pagi."

"Ibu kangen kakakmu. Kenapa sudah lama tidak berkunjung ke sini."

"Mungkin kakak sibuk, Buk. Nanti kalau ada waktu pasti datang." Aku berusaha menghibur dan membesarkan hatinya.

"Kenapa kamu tidak membenci ibu, Lela. Padahal selama ini perlakuan ibu sering tak adil bagimu?"

"Karena surga letaknya di sini, Buk?" jawabku sambil menunjuk ke arah telapak kakinya.

Kemudian kami saling berpelukan. Dan inilah pelukan pertama yang kurasakan setelah sekian tahun tak kudapatkan dekapan hangat beliau.

Bukankah Allah sendiri telah memerintahkan kepada seorang anak untuk tetap berlaku baik kepada orang tuanya. Jika masih ada yang tega mendzolimi darah dagingnya sendiri.

Biarlah itu menjadi urusan dengan Tuhannya. | Cerpen Islami Bagiku Engkau Tetap Malaikat Kecilku