Aku Tunggu Sumpah Janjimu Menikahi Aku

Pernah naif 'berpacaran' ? | Cerpen Romantis Aku Tunggu Sumpah Janjimu Menikahi Aku

Oh tidak, aku tidak berpacaran aku hanya bertukar kabar hampir setiap hari dengan yang bukan mahramku, sering bercanda lalu curhat. Tidak, tidak mungkin aku berpacaran. Aku gadis berkerudung lebar , kaos kaki menemani hari-hariku. Aku telah menutup rapat auratku dan membukanya.

Wait, bagaimana maksudnya menutup lalu membuka? Ya, membukanya lagi di media-media sosial, , membuka peluang bagi ikhwan abal-abal menatap photoku tak berkedip menzoom berkali-kali lipat sehingga setiap inchi tak luput dari mata liar. Sejatinya aku memang ingin pamer, iniloh diriku telah hijrah , walaupun bungkusnya saja. Hiks. Begitu naif masa laluku.

"Aku benci Salman, kemarin aku dapati dia kasih love ke photo Desi" Ina ngomel-ngomel sendiri menatap layar hpnya.

"Lah." Ku tanggapi cuek omelan Ina.

"Itu loh Ndi, Desi yang jago ngedance. Baru hijrah katanya."

"Ah gua gak urus." Aku sibuk dengan laptopku, besok tugas dikumpul dan aku baru mulai mencari bahan sekarang. Ya, the power of kepepet adalah saat dimana otak mahasiswa berpacu dengan detak jam dinding.

"Padahal Salman janjiin aku nikah setelah kita tamat kuliah dan dia dapat kerjaan." Ina terisak, aduh cengengnya kumat. Baiklah, daripada dia meraung-raung ku kesampingkan kerjaanku.

"Ina, itu berapa tahun lagi?" Aku bertanya serius.

"Mana aku tahu Ndi. Kurang ajar tu si Salman jelalatan." Umpatnya lagi.

"Kamu putusin dia."

"Lah, kita gak pacaran." Ina membela diri.

"Sejatinya kalian berpacaran, dan kita gak tahu ada berapa akhwat yang nasibnya serupa sepertimu. Aku gak mengajarkan untuk su'udzon ya. Tapi ikhwan yang jempolnya bertebaran di photo-photo akhwat tidak pantas dijadikan calon suami." Entah kenapa aku begitu berapi-api, seperti orasi presiden mahasiswa ketika BBM naik atau rektor di isukan korupsi.

"Maksudnya aku bilang aku gak jadi nunggu dia gitu?" Tanya Ina polos.

"Kamu message saja, tidak pantas ikhwan dan akhwat berhubungan japri-japrian, setelah itu gak usah lagi komunikasi sama dia. Bilang kamu takut akan pengawasan Allah."

"Segitunyakah ndi?"

"Harus tegas jadi akhwat, kecuali mau jadi kawat. Karatan nugguin ikhwan gatel."

"Kamu benar Ndi, tapi aku terlanjur jatuh hati." Ina menunduk, menyeka matanya.

"Hawa nafsu sudah menguasai dirimu Na, ittaqillah." Aku memeluk Ina yang menangis sambil beristighfar.

***

Ibu telah membeli kalender baru tandanya aku semakin menuai ragu. Kata bapak, laki-laki itu yang dipegang kata-katanya. Untuk apa kau berusaha menyentuh hatiku jika kau belum berani menjabat tangan bapakku?

[Kita itu jauh, aku anak sulung dan aku laki-laki. Aku punya tanggung jawab untuk adik-adikku. Kerjaanku masih serabutan.]

[Lalu, kenapa kamu menambah bebanmu dengan menjanjikan ini itu kepada anak gadis orang?]

[Aku mencintaimu, tunggu aku 1 tahun lagi]

Isi pesan singkatku dengan Arif. Kami berkenalan di sosial media. Awalnya hanya perkenalan singkat lalu merambah ke ranah pemikiran. Kami satu ide dan mempunyai banyak persamaan. Sering aku membaca artikel tentang etika hubungan ikhwan akhwat membuatku semakin risih pada kedekatanku dengan Arif.

Setahun telah berlalu.

[Aku takut kepada Allah atas apa yang kita sembunyikan dari orang banyak.]

[Sabar Ndi, tunggu aku setahun lagi setelah aku menjadi pegawai tetap. Aku janji akan melamarmu]

[Aku bukan petai yang digantung-gantung, bisa jadi semua berubah sebelum itu dan aku masih menunggu sebuah ketidakpastian.]

Tiba-tiba photo profil WA nya berubah menjadi photoku.

[Hapus, apa maksudmu?] Aku geregetan

[Haha kenapa? Bukannya kau yang menguploadnya ke medsos? Bukan salahku.]

[Oh seperti ini sifat aslimu? Sudah, cukup tahu. Benar, aku yang salah aku yang mengumbar. Terserah kamu.] Aku memblokir laki-laki itu dari semua lini kehidupanku. Coret! Aku memblack listnya dari hatiku dan daftar calon suami.

"Ndi, aku gak bisa lupain Salman." Ina merengek, menyodorkan hpnya padaku.

[Aku like photo akhwat itu tanda aku apresiasi dengan perubahan mereka. Maafin aku kalau kamu mikirnya lain. Aku benar serius denganmu.] Heh, antara ingin berkata kasar atau tertawa ngakak. Wajahku tak beraturan membuat Ina manyun melihat ekspresiku.

"Na, sebelum kamu tergila-gila dengan ikhwan bakwan akupun pernah mengalaminya."

"Hah? Kamu pernah suka dengan Salman?" Ina menggoyang-goyang bahuku. Aduh.

"Bukan, bukan seperti itu. Tenang dulu." Aku mengajaknya ke kantin, menyeruput es jeruk dan menyantap semangkok bakso.

"Jadi aku pernah terjebak dalam hubungan tak berkesudahan, tidak pacaran tapi hakikatnya berpacaran. Sama seperti dirimu. Dunia ikhwan akhwat zaman now tak mengindahkan batasan. Kebablasan." Ina menyimak, tidak ada pertanyaan atau pernyataan keberatan.

"Dia ingin aku menunggunya , namun tepat di tahun yang dia janjikan dia tak kunjung menepati janjinya untuk melamarku. Tidak ingin melepas namun tidak siap mengikat dengan ikatan halal. Ikhwan macam apa itu?"

"Benar Ndi, benar-benar kebablasan . Dosaku udah banyak." Ina tertunduk lesu.

"Apa bedanya kita dengan mereka di luar sana? Hanya berbeda casing saja."

"Kamu benar Ndi, Salman keparat." Ina mengacungkan tinjunya. Terlihat lucu teman satu ini, begitu polosnya.

"Sebenarnya kita salah Ina, tanpa kita membuka pintu mereka tidak akan bisa masuk." Ujarku menenangkan emosinya. Dia mengeryitkan dahi.

"Status kita yang secara tidak sadar meminta perhatian atau photo selfie kita dengan ekspresi ganjen. Itu menarik mereka. Kita yang membuka pintu fitnah untuk laki-laki. Mereka chat kita balas atau bahkan kita yang duluan memulainya. Dengan dalih bertanya ilmu agama sedangkan hal tersebut bisa kita tanyakan kepada ustadzah atau teman lain." Ina mengangguk tanda faham.

"Benar banget aku sering modus sama Salman sih, dia juga gitu minta aku jadi alarm bangunin tahajud."

"Nah kan. Kena kan?" Aku cekikikan

"Tapi tidak semua ikhwan seperti itu kok, jangan trauma ya." Selesai penjabaranku.

Koridor kampus yang ramai. Terlihat laki-laki bercelana cingkrang dengan jenggot tipis. Memakai sendal gunung dan baju koko. Pandangannya tegas ke depan kadang menunduk. Aku memperhatikan dari kejauhan.

"Ikhwan baju hitam itu Ndi." Ina menunjuk ke arah ikhwan yang sedang kuperhatikan.

"Ehm, Ihsan?" Ujarku. Agak tertahan ditenggorokan untuk melafadzkan namanya.

"Aku ngebet. Aku cari di medsos gak jumpa" Ina cekikikan.

"Jangan nganjen Ina, dia tidak punya medsos." Aku manyun 5 cm. Badanku panas dingin kadang merinding.

"Inaaaaaa !!! Lihatinnya jangan begitu dong." Aku menutup matanya. Ganjen.

"Dia itu calonku." Keceplosan.

"Nindi? Dasar tukang tikung. Main belakang." Dia menimpukku dengan binder tebalnya. Sakit.

"Bukan aku, tapi dia."

"Dia udah datang kerumah nemui bapakku." Aku memamerkan geligiku pada Ina.

"Nindiiiiiiii... Aaaaaaaa." Ina semakin tak terkendali, menggoyang bahuku, mengacak jilbabku.

Ihsan. Laki-laki dingin. Diberi gelar 'es batu' karena hampir tidak pernah menyapa perempuan. Cuma beberapa kata yang perlu saja. Anti basa-basi. Namun, saat didepan bapakku dia ramah sekali.

"Jadi? Siap nikah muda?" Ina meledekku.

[Aku semakin yakin denganmu ketika aku mendengarkan perdebatanmu dengan dosen liberal itu ketika dia menyalahkan cadar yang kamu pakai. Kamu yang pertama kali melakukannya di kampus kita] Balasan smsnya ketika aku tanya apa yang membuatnya yakin memilihku.

Bismillah. Didepan bapak aku mengangguk. | Cerpen Romantis Aku Tunggu Sumpah Janjimu Menikahi Aku

- Bersambung -