Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 3

"Ayok.....!"

Jari Aditya menggenggam pergelangan tangan setelah tiga langkah keluar dari ruang administrasi.

Aku yang masih terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, Aditya menarik tanganku untuk mengikuti langkah kakinya. | Cerpen Sedih Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 3

"Mau kemana?" tanyaku pasrah diseret begitu saja.

"Kita harus tanya apa maunya?"

"Siapa?"

Langkah Aditya tiba-tiba berhenti. Sejurus menatapku aneh. Tanpa berkedip seolah dia sedang membaca pikiran dan hatiku. Sedetik kemudian tangannya menjontor dahiku pelan.

"Den bagus, Oon...!" sentaknya kesal.

Aku mengerutkan dahi, " kenapa?"

Aditya menepuk dahi sendiri sambil menghentakkan sebelah kakinya. Terdengar suara hembusan napas panjangnya.

"Kamu gak penasaran. Kenapa orang seperti Den Bagus mau melunasi semua Sppmu?"

"Kasihan, mungkin."

Aditya kembali memukul dahinya sedikit keras kali ini.

"Lalu kamu gak mau mengucapkan terima kasih padanya?"

Aku menatapnya kemudian mengangguk. Tidak pernah terpikir di otakku tentang hal ini. Pikiranku hanya satu, pulang... Dan ceritakan ini pada Simbah. Agar Simbah gak usah susah payah lagi mencari pinjaman uang. Kasihan...Simbah.

"Makanya...ayokk...!"

Diseret kembali tanganku memasuki area parkir. Dalam parkiran itu hanya ada beberapa sepeda, bagi keluarga mereka yang mampu membeli tentunya. Tapi kebanyakan punya guru-guru yang mengajar disini. Aditya melepas tanganku di pintu parkir dan dia masuk ke dalam mengambil sepeda federal miliknya. Sepeda yang harganya bisa membeli beras buat lima bulan lamanya.

Waktu itu harga beras 1 kg masih sekitaran 1000 rupiah sedangkan sepeda federal itu harganya 300 ribu rupiah. Bayangkan! Memang tahun 1990 harga beras sangatlah murah. Karena masih membentang luas sawah dengan padi sebagai peran tunggal perekonomian bagi masyarakat. Hanya ketika musim kemarau panjang, mereka beralih menanam jagung.

Aditya menarik tubuhku untuk duduk di besi penghubung antara setir dan dudukan sepeda. Aku sedikit ragu tapi tangan Aditya memaksaku untuk segera naik. Sesaat ada sesuatu yang bergemuruh. Merasakan napas Aditya yang berembus melewati telinga.

Aditya mengayuh sepedanya sedangkan aku menarik tubuh kedepan, mendekati setir agar tak merasa risih saat mendengar napas Aditya menderu.

Sekolah dengan tempat tinggal kami masih sangat jauh. Bila ditempuh dengan jalan kaki bisa sekitar 2 jam. Biasanya aku akan pergi ke sekolah bersama Simbah yang hendak ke pasar naik sepeda onthel. Itu pemberian ibu ketika masih bekerja di kota, dulu. Sekolah dan pasar memang lumayan dekat sekitar 5 kilo. Biasanya Simbah akan menunggu jamku pulang sekolah. Kasihan, katanya bila berjalan kaki sebegitu jauhnya.

Dulu, Bulek Tum pernah dibelikan Ibu sepeda hanya saja sepeda itu dijual saat Bulek minta Simbah untuk dibelikan kalung emas. Ya, uang hasil jualan sepeda dibelikan kalung. Bulek lebih malu kalau tidak mempunyai kalung waktu itu daripada harus meneruskan lagi ke SMA. Entahlah. Apa yang dipikirkan Bulek waktu itu?

Di sebuah rumah besar dengan halaman dipenuhi rajutan bambu ( kepang ) yang akan dibuat untuk mengeringkan padi. Ada mesin baru yang didatangkan dari kota untuk memudahkan penggilingan padi. Suaranya amat bising. Bila kita bicara harus teriak dulu. Mesin itu ditempatkan di ruang berbilik bambu yang luas, kami sebut gudang padi (selepan)

Di depan gudang padi, seorang pemuda sekitaran berumur 28 tahun berdiri dengan tangan mengikat ke belakang. Matanya mengawasi para pekerja yang sedang mengangkati karung goni berisi padi kering kedalam gudang.

Dia sedang berbicara dengan seorang pria yang cukup aku kenal dan aku takuti. Yaitu Pak Narwi, ayah Aditya. Melihat sosok kami di pintu pekarangan, Pak Narwi tiba-tiba berjalan cepat tanpa menghiraukan majikan yang sedang berbicara padanya.

"Aditya!" panggilnya. Aditya langsung berhenti kemudian meraih tanganku dan digenggam erat. Wajah Pak Narwi sangatlah menakutkan. Matanya membesar dengan muka merah.

"Kowe nyapo karo cah wedok iki."

"Menemui Den Bagus, Pak." Aditya menunduk, takut. Pak Narwi menghentakkan tangan Aditya supaya melepaskan genggaman tangannya.

"Ra usah demek- demek, " kentusnya lagi. Aku makin menunduk. Mendengar suaranya yang penuh kebencian itu membuat badanku gemetar.

"Awakmu nang gak nyedeki anakku ki nyapo tho." Pak Narwi menatapku tajam.

"Aku yang ngajak Kiranna, Pak, " sahut Aditya.

"Meneng lambemu! Tak tapok, Kapok kowe!"

Terdengar suara berdehem di belakang Pak Narwi. Aku mencuri pandang dengan sekali donggakan kepala. Den Bagus berdiri dengan mukanya menggeras.

Pak Narwi menoleh lalu menundukkan kepala, " "Anak ini mau ngomong sesuatu sama Den Bagus."

"Ya, " jawab Den Bagus, " pergilah! Awasi para pekerja."

"Baik, Den." Mengangguk. Sejurus kemudian Pak Narwi menarik lengan Aditya untuk melangkah mengikutinya, " ikut aku !"

"Pak!" panggil Den Bagus.

"Iya, Den."

"Biarkan Aditya bersama kami."

"Tapi..." Pak narwi tidak meneruskan kata-katanya hanya menatap aku dengan mata kebenciannya. Aku menunduk dengan menelan ludah terasa pahit ditenggorokan, " baiklah."

Pak Narwi berlalu dengan pikiran yang entah. Sesaat aku masih teringat mata yang menungkik tajam itu. Sangat menakutkan.

"Kita bicara di jalan sana saja." Den Bagus menunjuk jalan setapak menuju kawasan persawahan, " disini berisik."

Aku mengangguk kemudian mengikuti langkah beliau. Disusul Aditya sedikit berlari mengejar langkah kami.

"Apa yang ingin kamu bicarakan, nduk?" tanya Den Bagus setelah berada ditujuan kami. Angin berembus sepoi-sepoi. | Cerpen Sedih Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 3

Membuat mataku terasa memejam.

Jam 3 pagi, aku sudah bangun membantu Simbah menyiapkan dagangan. Makanya jam seperti ini, rasanya aku ingin tidur siang untuk melepaskan ngantuk.

"Apa kamu punya maksud tertentu menolong Kiranna?" tanya Aditya berdiri ditengah kami.

Aku melotot pada Aditya tapi dia malah melirikku cuek.

Den Bagus diam. Kemudian tersenyum. Aditya tidak berhenti menatap tajam pada sosok dihadapannya.

"Apa harus dijawab sekarang?" tanya balik Den Bagus sambil mengacak rambut Aditya. Orang yang diperlakukan seperti anak kecil itu mengibas kasar tangan yang menyentuh rambutnya.

Aku tertawa kecil melihat wajah Aditya berubah pias. Memerah.

"Harus." sengit Aditya menjawab.

"Pentingkah bagimu?"

"Jelas. Sangat penting."

"Bagaimana menurut kamu, Kiranna? Apa sebegitu penting jawaban itu?"

Aku menggeleng, " aku kesini hanya ingin berterima kasih pada Den..."

"Om !" sahut Den Bagus memotong.

"I-iya, " jawabku mengiyakan tetapi kemudian merasakan sakit pada ujung kaki karena pijakan seseorang, " den...eh maksudku Om... Aku mengucapkan banyak terima kasih karena telah menolongku melunasi Spp."

Den Bagus tersenyum lalu mengangguk, " belajar yang pinter ya, Nduk."

Sebelum tangan Den Bagus mengelus rambutku tiba-tiba tangan beliau disingkirkan kasar oleh Aditya.

"Gak oleh demek-demek."

Den Bagus tertawa melihat kesinisan Aditya.

"Ya, udah. Aku tak pergi dulu ngurusin para pekerja soalnya padinya mau dikirim ke kota."

Kami mengangguk. Den Bagus berlalu dengan tangan berkaitan di belakang. Gayanya itu lho bikin aku kagum. Alus banget.

"Bodoh, kenapa kamu gak nanya alasannya nolong kamu?"

"Itu urusan nanti."

"Kalau dia nolong kamu ada apa-apanya, gimana?"

Aku mengerut dahi, " aku lo anak wong mlarat. Jaluk opo tho karo aku..."

"Semisalnya ... Jadi istri."

"Astaga..." teriakku kencang sambil memukul keras jidatku sendiri.

"Tuh, baru koneks otaknya. Coba kalau aku gak kasih tahu. Makanya jangan suka nerima pertolongan dari orang yang gak dikenal."

Aku tidak menghiraukan perkataan Aditya. Pikiranku tiba-tiba teringat tentang Simbah yang menungguku di depan sekolah. Segera aku bergegas berlari.

"Ketempat Den Bagus?" tanya Aditya yakin.

Aku menggeleng.

"Lho..."

Segera ku raih tangannya dan kuseret menuju sepedanya diparkir.

"Simbahku masih menunggu di depan sekolah. "
"Lha urusannya sama Den Bagus gimana?"

"Urusan nanti itu, "

Sekarang gantian Aditya yang memukul jidatnya kemudian terdengar helaan napas panjang, " terserah kamu lah."

Dengan tampang mengerucut kedepan, Aditya mengayuh sepedanya. Tak ada suara selama diperjalan kembali ke sekolah. | Cerpen Sedih Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 3

Entah. Apa yang dipikirkan Aditya saat itu? Kadang aku juga bingung melihat sifatnya yang kadang berubah diam saat aku didekati seseorang. Aneh.

- Bersambung -