Dari balik topi yang kukenakan, aku dapat melihat dia duduk di bangku mas Dikin. Anak itu benar-benar bolos lagi. Kulirik jam di pergelangan tanganku, setengah sembilan. | Cerpen Motivasi Sebuah Kisah Cerita Di Jalan Veteran Part 2
Sesuai jadwalku untuk mangkal di sini. Tepat berseberangan dengan sekolah Taman Kanak-Kanak dan Paud. Sebentar lagi ibu-ibu yang menjemput akan datang, dan menggosip sambil menikmati semangkok bakso dan segelas es kelapa muda. Setidaknya, keberadaan sekolah di sana sedikit mengalirkan rejeki untukku.
"Beberapa orang mencarimu tadi. Kesiangan, ya?" Ken mendekatiku, begitu kuhentikan gerobak yang kudorong di samping lapak mas Dikin. Kuturunkan 2 bangku plastik dari atas. Menarik terpal dan menalikan di pagar besi tepat di belakang gerobak yang kuparkir. Setidaknya itu melindungiku dari sengatan matahari langsung.
"Memang biasa jam segini. Kenapa dia mencariku?"
Ken mengikutiku, saat aku berjalan sambil menenteng dua ember. Setiap pagi aku akan minta air pada pihak sekolah. Sebagai gantinya aku membayar lima puluh ribu perbulan. Pertama mereka menolak. Ambil saja katanya, cuma air. Dan itu juga tidak banyak. Tapi setelah kutinggalkan begitu saja selembar lima puluhan, ibu itu yang sampai sekarang tidak kutahu namanya, menerima sambil berterima kasih.
"Mau beli bakso lah."
Sambil menunggu air penuh, kuteliti pakaian yang dikenakan Ken. Dia tidak memakai seragam sekolah seperti kemaren. Celana selutut dan kaos berwarna kuning membuatnya semakin cerah. Warna kulitnya yang terang memang pantas mengenakan baju warna apa saja.
"Bolos lagi?" kupindahkan ember yang sudah terisi dua per tiga air, dan kugantikan dengan ember kosong satunya lagi.
"Barusan dari sekolah. Mami sudah mengeluarkanku dari sana. Mulai besok home schooling."
Betapa enaknya orang kaya. Tidak suka sekolah tinggal keluar. Toh masih bisa sekolah di rumah.
"Sini kubawain satu," ujarnya begitu kumatikan keran dan hendak menenteng keduanya.
Kulirik dia yang berjalan di belakangku. Sama sekali tidak keberatan. Postur tubuhnya memang bongsor. Setahun lagi kuyakin dia akan lebih tinggi dariku.
Kukeluarkan selembar limapuluhan dari tas perut yang melilit pinggangku.
"Nih. Duwitmu ketinggalan."
Dia hanya menatapku heran. "Aku mau makan bakso lagi," katanya. Dan tidak peduli pada uang yang kusodorkan padanya.
"Kemaren itu gratis. Jadi nggak usah bayar," ucapku mengambil mangkok dan memasukkan beberapa butir bakso setelah kunyalakan kompor.
"Anggap saja buat bayar yang sekarang." Dia berjalan ke meja mas Dikin. Meraih gelas yang tinggal separo dan kembali ke bangku yang didudukinya tadi.
Setelah kuserahkan mangkok padanya aku turut duduk di sebelahnya. "Ada masalah di sekolah?"
Mulutnya yang mangap, urung memasukkan bakso. Sendok itu kembali ke dalam mangkok. "Kalau mau berteman bisa nggak jangan nyebelin?"
Mataku berkedip. Apa tadi? Berteman? Mau ngobrol apa dengan anak ini? Kartun? Dia tidak mungkin paham harga cabe yang lagi naik, sedangkan sambel tidak bisa dipisahkan dari bakso. Atau tepung yang juga ikut naik, padahal adonan tanpa tepung juga takkan jadi bulatan bakso kenyal yang bikin ketagihan. | Cerpen Motivasi Sebuah Kisah Cerita Di Jalan Veteran Part 2
"Memang kamu nggak ada teman lain? Sampai-sampai nemenin tukang bakso?"
Satu lesung pipitnya membuat dia tambah manis saat tertawa. Dari sini terlihat dengan jelas, satu gigi taring yang lebih panjang dari deretan gigi susu yang tertata rapih. Satu kata, anak ini cakep.
"Mereka menganggapku sampah," ucapnya sambil terus mengunyah.
Aku tahu rasanya. Saat teman sekolahmu menganggapmu lebih busuk dari sampah.
"Mbak, bungkus dua ya. Nggak usah pake mie sama seledri." Seorang ibu berkerudung merah sudah berdiri di depan gerobak. Satu tangannya menggoyang-goyangkan kontact sepeda motor yang baru dia parkir tidak jauh dari gerbang sekolah.
"Iya bu." Kuraih kantong plastik dari dalam laci. Setelah kumasukkan sedikit garam dan sedikit penyedap rasa, beberapa bulatan bakso, tahu goreng dan tulang sapi melengkapi dua irus kuah dalam kantong yang kupegang. Seperti biasa, ibu ini meminta kuah dilebihkan. Buat bikin soup katanya.
Selembar duapuluh ribuan kuterima begitu kusodorkan kantong kresek warna hitam berisi dua plastik bakso.
"Terima kasih bu." Namun ibu itu hanya tersenyum dan cepat-cepat menyeberang jalan.
"Nggak rugi ya semangkok cuma sepuluh ribu?" Ken sudah menghabiskan baksonya dan menyerahkan mangkoknya padaku.
"Kalau rugi, aku sudah berhenti jualan." Kumasukkan begitu saja ke dalam ember, setelah kubuang sisa kuah ke selokan.
"Kenapa nggak kerja di kantor?"
Siapa juga yang tidak ingin kerja di depan layar komputer? Ruangan ber-AC dan pakaian formal yang elegant. Tapi posisi apa untuk anak tamat SMA? Paling banter pesuruh. Itu pun kalau pesuruh lama sudah mengundurkan diri. Memangnya mau sebanyak apa OB dalam satu perusahaan.
"Aku ingin kuliah."
Manik legamnya menatapku tajam. Mungkin baginya lucu. Tukang bakso mau kuliah. Siapa pun tahu, biaya kuliah sangat mahal di negri ini.
"Mbak bakso." Teriak seseorang. Aku menoleh. Lima ibu-ibu sudah memutari meja mas Dikin. Ibu yang teriak tadi mengacungkan lima jarinya.
"Kosongan ya mbak," imbuhnya begitu aku berdiri.
Lima mangkok bakso tanpa mie dan potongan tulang sapi kuhidangkan di atas meja. Ibu-ibu itu tertawa cekikikan, memang luar biasa ibu-ibu kalau sedang ngumpul dan membicarakan sesuatu. Apalagi membicarakan satu teman yang tidak mereka suka. Sungguh luar biasa kata-kata sadis yang keluar dari mulutnya. Beberapa kali mas Dikin sampe geleng kepala. Membuatku urung mendekati mejanya untuk sekedar membaca koran bekas.
"Besok mungkin aku nggak datang. Atau kalau sempat sore. Setelah pulang les." Kini gelasnya juga tandas.
Aku ingin tertawa. Mengunjungiku seolah keharusan. Padahal kita baru berkenalan kemaren. Tapi aku memilih mengangguk mengiyakan. Tidak tega melihatnya kecewa. Apalagi dia tidak punya teman. Mungkin aku adalah satu-satunya teman sekarang.
"Aku pulang dulu. Mungkin mami sudah selesai belanjanya." Dia beranjak dan berjalan ke arah dia pergi kemaren. Dari punggungnya yang tegak, aku tahu, dia hanya ingin didengarkan. Dia bukan orang yang butuh untuk ditopang. Hanya saja, dia belum ingin buka mulut sekarang. | Cerpen Motivasi Sebuah Kisah Cerita Di Jalan Veteran Part 2
- Bersambung -