Aku Harus Segera Uang Untuk Anakku

"Mau manah?" "Kerja, Nak." "Oh, eja." Aku mengangguk. | Cerpen Ibu Aku Harus Segera Uang Untuk Anakku

"Brum-brum?"

"Iya, Nak. Pakai Brum-brum," Aku memperagakan tangan seperti orang yang lagi nge-gas motor.

"Oh."

Kemudian aku keluar rumah setelah berpamitan dengan istri yang sedari tadi tersenyum melihat percakapan kami.

Aku memutar motor di sebuah mushollah depan rumah --karena gang begitu sempit-- di saat seperti itu Mas Ayas akan berdiri di depan pintu menunggu aku putar balik.

"Cium," ucapnya setelah aku memutar motor dan berhenti sejenak di hadapannya.

Aku menujulurkan tangan kanan, ia cium punggung tangan kananku. Kemudian gantian aku cium keningnya. Dia tersenyum, melepasku pergi bekerja sambil melambaikan tangan.

"Dadah."

"Dadah, Nak."

Itulah yang terjadi setiap pagi saat aku akan berangkat kerja akhir-akhir ini. Entahlah, ada perasaan yang sulit dilukiskan ketika si sulung menungguku memutar balik motor, dan ia minta dicium.

Sungguh, kebiasaan Mas Ayas ini membuatku makin semangat mencari nafkah. Lalu setelah selesai semua tugas di luar, ada gairah berlebih yang membuatku ingin segera pulang, karena dia akan kembali menyambutku di depan pintu,

"Manah?"

"Dari kerja, Nak."

"Oh, Brum-brum?"

"Iya. Brum-brum. Mas Ayas mau naik Brum-brum?"

"Mau," dia mengangguk cepat, tersenyum.

Pernah suatu hari, Mas Ayas tak menyambutku pulang, membuatku bertanya pada istri, di mana si sulung?

"Nungguin Abang dari tadi. Setiap ada motor tetangga lewat, pasti langsung buka pintu, sambil berseru seru, 'Abi, abi.' tapi waktu sadar bukan sampeyan yang datang, dia balik lagi terus bilang, 'ukan. Ukan abi.' begitu terus beberapa kali, sampai dia keboboan. Tuh, ada di kamar."

Aku berjalan ke kamar. Melihat si sulung sedang bergelung dengan guling.

Ah, anak ini...

Kenangan tiga tahun lalu itu masih saja memantul di ruang ingatan. Ketika dia lahir harus dengan tindakan operasi sesar.

"Ari-ari bayi menutupi jalan lahir, Pak. Harus disesar."

Begitu kata dokter. Lalu saat mengetahui harga operasi, aku bagai sedang mimpi. Sembilan juta lima ratus ribu.

Itu bukan harga yang murah. Karena waktu itu perekonomianku masih payah, ditambah tak punya BPJS. Kalau tak salah ingat, waktu pulang kampung untuk menemani istri lahiran, aku hanya bawa uang satu juta setengah. Itu pun harus aku kantongi lagi beberapa ratus ribu untuk beli tiket pulang naik kereta.

Dengan bimbang aku keluar rumah sakit. Duduk di parkiran mobil. Hampir tumpah air mata ini. Setelah beberapa menit berdiam diri, aku berinisiatif berhutang. Alhamdulillah dapat dari kakak perempuan, 3 juta.

Masih kurang.

"Ustadz Fitrah butuh berapa?" wakil kepala sekolah bertanya lewat telepon setelah aku memberi penjelasan tentang istri yang akan disesar, sedang aku tak cukup uang.

"Dua juta setengah, ada Us?" sengaja aku meminta segitu, karena saat itu aku masih karyawan baru.

"Ada, Ustadz. Tolong rekeningnya, ya."

"Makasih banyak ya, Us."

"Moga lancar lahiran nya, ya Ustadz."

"Aamiin."

Masih kurang. Nah, ketika akan mencari sisa hutangan, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh, ternyata bapak mertua.

"Eh, Bapak," aku tersenyum salah tingkah.

Bapak balas tersenyum, "Dicari istrimu, katanya pingin ditemenin."

Aku mengangguk. Beranjak ke dalam rumah sakit. Ternyata istri sedang berbaring di ruang tunggu tindakan, karena masih ada orang lain yang sedang proses operasi sesar.

"Dari mana, Bang?"

"Di parkiran. Nyari angin." Padahal aslinya aku sedang nyari hutangan.

Aku berbohong karena takut dia malah kepikiran.

"Mahal, ya?"

Aku pura-pura bingung, "Apanya?"

"Biaya operasinya."

Suasana menjadi lengang. Aku tak menjawab.

"Aku masih ada tabungan, Bang. Uang yang Abang kirimin dulu-dulu aku tabungin. Pakai saja."

Kulambaikan tangan. "Santai. Ada kok."

Istri menggenggam tanganku. "Takut, Bang. Ini pertama kali aku operasi."

Aku mengangguk. "Sabar, ya."

"Kalau ada apa-apa sama aku, tolong anak kita titipin ke mamah aja ya, Bang."

"Hus. Udah jangan mikir aneh-aneh. Banyakin dzikir."

Dia menutup muka. "Takut, Bang."

"Iya. InsyaAllah Neng sama si kecil baik-baik saja. Pulang sehat. Oke."

Dia mengangguk lemah.

Tak lama setelah itu, seorang suster datang, dan mendorong ranjang istri ke ruang operasi setelah berucap padaku kalau sudah saatnya dilakukan tindakan sesar pada istri. | Cerpen Ibu Aku Harus Segera Uang Untuk Anakku

Setengah jam kemudian, seorang suster berseru,

"Bapak Fitrah."

Aku berdiri dari duduk, "Iya."

"Sudah lahir bayinya, Pak."

"Alhamdulillah."

Aku dipersilakan masuk ke dalam suatu ruangan. Lalu nampak satu makhluk yang begitu lucu digendong oleh suster lain.

"Ini bayinya, Pak. Laki-laki. Mau di-adzan-i, Pak?"

Aku mengangguk, mengumandangkan adzan lirih di telinga kanan si kecil. Setelah itu ganti mengucap iqomah di telinga kiri.

"Baik, saya bawa ke inkubator dulu, ya, Pak. Sekalian diukur berapa beratnya."

"Iya, Sus. Oh, Istri saya mana, Sus?"

"Sebentar, setelah ini bakal keluar."

Benar saja, tak lama kemudian seorang suster mendorong ranjang rawat. Kulihat istri tak sadarkan diri di atas ranjang. Kemudian ia dipindahkan di ruang lain.

Aku mengikut, keluar. Di luar ruangan, kerabat sedang menunggu. Bapak mendekatiku,

"Selamat, ya, Nak." Ia menepuk bahuku lembut.

Aku mengangguk. "Terimakasih, Pak."

Aku ingat, satu masalah belum clear. Pelunasan biaya operasi harus segera ditunaikan. Entah karena terpepet, hingga aku kehilangan rasa malu saat bilang,

"Pak, maaf, saya boleh pinjam uang buat pelunasan operasi? Aku baru punya uang separuh dari total pelunasan. Nanti aku ganti kalau sudah punya uang," kataku kikuk.

Bapak tertawa. "Sudah jangan pikirkan itu. Mamah banyak uang. Nanti biar dilunasi Mamah."

Aku sudah tak bisa berkata-kata.

(Kelak, sekitar enam bulan kemudian semua hutang itu lunas. Ada rezeki tak terduga-duga, penjualan bukuku meningkat. Benarlah, bahwa seorang anak terlahir dengan membawa rezekinya sendiri)

Suster kembali berseru dari satu ruangan. "Bapak Fitrah. Silakan masuk."

Aku menurut.

"Anaknya laki-laki ya, Pak," suster bertutur. "Berat empat kilogram. Setelah ini saya pakaikan gelang pengenal biar tak terkukar bayinya."

Di dalam inkubator, kulihat si kecil menggeliat. Ya Allah, ini anakku. Aku telah jadi seorang ayah. Tak terasa meleleh air mata membasahi pipi.

Sambil menatap makhluk mungil itu tak henti doa bergema di hati,

"Ilahi, mohon jadikan ia penyejuk mata dan hati kami. Mohon jaga dia Ya Allah, tumbuhkan ia dalam ketaatan dan ketakwaan. Aku menyayangi ia lebih dari apapun."

Ah, sudah jam tiga sore. Setelah sholat Ashar, aku harus segera pulang. Ada seseorang yang pasti sedang menungguku. | Cerpen Ibu Aku Harus Segera Uang Untuk Anakku

Aku sudah janji ke dia kalau sore ini bakal mengajaknya jalan-jalan dan beli es krim.