Untuk pertama kalinya aku terjatuh, jatuh terlalu dalam sedalam karam. Ingin rasanya berteriak dan menyebutkan namamu. | Cerpen Sedih Air Mata Yang Menitik Di Sudut Matamu
Namun nihil, dunia terlalu kejam untuk menjadi jurang pemisah.
Berawal dari perjumpaan singkat, tatapan singkat, dan senyuman singkat. Kisah singkat ini dimulai.
Kamu tersenyum, memamerkan lengkungan indah di sudut bibirmu. Aku membalasnya, kemudian ekor mataku berpaling sejenak dan membelah kerumunan. Saat kulirik tempat pijakmu, hadirmu tak lagi terlihat.
"Baru ya di sini?" Bisikmu tepat di telingaku. Terkejut, cepat-cepat aku menoleh ke arahmu .
"Hm, iya."
"Namaku Raga," ucapmu sambil menjulurkan tangan.
"Seina," jawabku kemudian membalas juluran itu.
Tanganmu mengalirkan desiran hangat, merembes melalui tangan dinginku. Aku tahu namamu sejak lama, aku bahkan mengenali keluargamu dan aroma maskulin milikmu.
"Makan yuk! Aku laper. Tenang, aku yang tlaktir." Kamu menyeret tanganku dengan lembut, sedikit memaksa. Namun, kakiku juga enggan untuk menolak hingga ikut melangkah ke mana kamu menuntunku pergi.
Denting piring yang beradu dengan sendok menggema di ruangan ini. Ramai, namun kurasakan suasana awkward yang hanya milikku. Lalu suasana ini berakhir, kamu mengantarku pulang. Tak sampai rumah, karena kubilang ayahku galak dan tak suka melihatku pulang bersama laki-laki. Aku hanya tak berani berkata jujur bahwasanya rumahku tak dapat untuk kamu kunjungi.
Dalam waktu yang singkat, kita menjadi lebih dekat, sedekat nadi dan sehangat mentari pagi. Perasaan ini semakin besar, lebih dari rasa kagum saat pertama jumpa, lebih dari sekedar penasaran saat kucari tahu hal kecil tentangmu.
Hingga saat yang tak ingin kulalui pun tiba. Hari di mana kamu tak akan melihatku untuk selamanya.
Kamu menggenggam sebuket lavender yang disertai melati, bunga kesukaanku. Aku tahu kamu akan mengatakannya, terlihat dari bagaimana caramu berlatih semalam, menyesuaikan dialog yang tepat untuk menyatakan cinta.
Bahagia, namun sesal cepat hinggap saat kau tak menemukan keberadaanku lagi. Tak tega aku melihat derai air mata di pipi Ibu saat Beliau menceritakan kisah lama tentangku padamu. Kisah yang ia sebut sebagai luka dan kehilangan, kisah yang sudah ia kubur dalam-dalam namun terpaksa ia gali kembali sebab pertanyaanmu dan maksud kedatangmu.
Raut sedih terpampang jelas, air mata nyaris menitik dari sudut matamu.
Buket lavender itu masih tergenggam, erat, sebagai bentuk pelampiasan dada yang sesak. Kamu meneriakkan namaku, padahal aku berada tepat di samping, menatapmu yang sedang bersimpuh di atas rerumputan hijau dan memeluk nisan yang sudah usang. | Cerpen Sedih Air Mata Yang Menitik Di Sudut Matamu