Aku bukan alpha women yang mampu mendeskripsikan bentuk rindu. Bukan malaikat yang sanggup menghitung rindu. | Cerpen Cinta Aku Bukan Malaikat Bisa Menghitung Rindu
Pun bukan robot yang mampu menahan beban rindu.
Aku hanyalah satu dari milyaran manusia yang menikmati rindu. Mengeja rindu-rindu jadi bait sederhana dalam buku. Mengukur satuan jarak yang dibesar-besarkan oleh rindu. Menanti saat-saat aku bertemu di Surga denganmu.
-Dikutip dari story 'Keykha' by Atthofunnissa Nuraini in wattpad-
***
Bandung, 2007
Kamis siang ini Kota Kembang diguyur hujan tanpa permisi. SDN Bandung 1 ini salah satu tempat yang dikunjungi rombongan air langit. Hingga menghambat aktivitas para murid yang ingin segera pulang, setelah berjam-jam menjalani kewajiban mereka sebagai pelajar. Termasuk Kikan Anindao.
Dari kejauhan Kikan melihat seorang pria tersenyum ke arahnya, berlari kecil di bawah guyuran hujan. Pria itu menghampirinya sambil membawa bingkisan.
Semua orang di Sekolah ini memberikan bermacam tatapan pada Kikan saat pria dewasa itu menghampirinya. Tatapan datar, tatapan ingin tahu, tatapan iba sampai tatapan intimidasi mengarah pada keduanya.
"Ayah?" Kening Kikan mengerut, "mau apa kesini?" Tanya Kikan setelah mereka berpapasan.
"Loh, memang Ayah gak boleh ketemu putri Ayah?" Tanya balik Ferdi, seorang pria yang menyebut dirinya Ayah itu.
"Bukan gitu, Yah, maksud Dao," sanggah Kikan tak enak hati.
"Ya, terus apa? Kamu malu ketemu Ayah? Karena Ayah begini?" Ferdi memamerkan penampilannya.
Kikan memperhatian Ferdi seksama. Topi bundar yang lusuh, kaos abu gelap yang terdapat beberapa bolong kecil. Celana bahan hitam yang digulung hingga di atas mata kaki dan sendal jepit yang telah pudar.
Buru-buru Kikan menggelengkan kepalanya liar. Ia tak mengindahkan pertanyaan Ferdi.
"Ayah ... enggak gitu maksudnya, tapi ini kan hujan, liat tuh. Baju Ayah basah." Kikan mengambil sapu tangan dari saku. Lalu melap wajah Ferdi yang basah.
Ferdi tersenyum haru menatap anaknya dengan hangat, saat tangan kecil Kikan mengeringkan kulit tuanya dengan kain halus berwarna putih susu.
"Dagangan Ayah habis semua hari ini," senyum Ferdi mengembang hingga kerutan di sudut matanya begitu ketara.
Kikan ikut tersenyum, senyum yang persis pria di depannya.
"Pas jalan pulang Ayah kehujanan. Kebetulan Ayah berteduh di depan toko parabotan. Ayah liat payung, terus beli satu. Karena Ayah yakin hujannya awet sampe sore, Ayah mampir ke sekolah Dao." Ferdi mengeluarkan payung lipat dari kantong pelastik berwarna hitam.
"Ayah ... makasih ya, Yah. Harusnya Ayah gak usah lakuin ini." Kikan menghambur kepelukan Ferdi.
"Eh ... jangan peluk Ayah. Tuh baju seragam kamu jadi basah,"
Ferdi menjauhkan tubuh mungil Kikan dari tubuh basahnya.
Ferdi menjauhkan tubuh mungil Kikan dari tubuh basahnya.
"Biarin ah, biar sama-sama basah. Rasanya gak adil kalo cuma Ayah yang kebasahan." Kikan kembali memeluk Ferdi dan semakin erat.
***
Kaki-kaki mungil itu berlarian dari beranda rumah menuju ruang kamar sang Ayah.
"Assalamualikum .... " Kikan berteriak mengucapkan salam. Ia membuka pintu kamar lalu mengembangkan senyum polosnya pada Ferdi yang tengah mengancingkan baju kemejanya.
"Wa'alaikumussalam .... " Ferdi tersenyum menyambut Kikan meraih telapak tangan dan menciuminya.
Kikan pun tersenyum lebar ketika sang Ayah kembali mencium tangannya, megusap kepala dan mengecup keningnya. Kebiasaan yang tak pernah Ferdi lupakan.
"Hapalan Dao sudah sampai surat Al-Fajri, Yah." Kikan memeluk Ayahnya dari samping ketika keduanya sudah duduk di ranjang besi yang mulai menguning.
"Alhamdulillah ... anak Ayah hebat!" Ferdi merengkuh Kikan dan mengecup kepalanya yang berbalut kerudung putih tulang.
"Ayah mau dengerin hapalan Dao, gak?" Kikan berucap antusias. Bola matanya berbinar seperti sinar mata Ayahnya.
"Mau dong," Ferdi tersenyum, "habis baca surah kamu tidur, ya?" Ferdi membaringkan Kikan dengan lembut.
Kikan mulai melantunkan hapalannya, sesekali berdecak jika ia lupa. Ferdi membimbingnya, membenarkan makhrijul huruf. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.
Kelopak mata Kikan tertutup, berulang kali ia bacakan hapalannya hingga tertidur manis. Sangat manis seperti Ananda sang Ibu. Wanita hebat yang mati-matian mempertaruhkan nyawa demi Kikan. Dan akhirnya berpulang setelah penerusnya lahir dengan selamat.
Sudut mata Ferdi berair, ia merundukkan tubuh mengecup puncak rambut Kikan. Ferdi bertahan dengan status mendudanya. Selalu siaga menjadi Ayah sekaligus Ibu untuk Kikan.
"Selamat tidur Daw-Dawnya, Ayah."
***
Setelah seharian berjualan kacang rebus, Ferdi mengerjakan pekerjaan rumah layaknya seorang ibu rumah tangga.
"Ayah ...!" Teriak Kikan dari luar.
"Ada apa, nak?" Tangan Ferdi yang sedang melipat pakaian itu terhenti ketika Kikan menghambur ke pelukannya.
"Mereka bilang barbieku jelek, dekil, tidak punya baju ganti," jelas Kikan di sela isak tangisnya, "barbieku tidak terurus, rambutnya rontok, seperti aku tidak terurus, tidak punya ibu, itu kata mereka."
Ferdi tertohok, ia menelan ludah perlahan. Hatinya bergemuruh sakit, bukan tentang jeleknya Barbie Kikan yang memang sudah tidak layak pakai. Tapi karena ucapan teman Kikan yang menyudutkan hati Kikan tentang Ibunya. Menyudutkan kesakitan pula pada ulu hati Ferdi.
Ferdi bungkam, merapatkan pelukannya pada Kikan. Mendengarkan tangisan Kikan yang semakin sesegukkan.
"Apa Ibu benar-benar tidak bisa kembali, Yah?" Kikan menengadahkan wajahnya pada wajah Ferdi, "hanya sebentar ... tidak bisa?" Isaknya.
Mata Ferdi bergerak memperhatikan wajah Kikan. Harta satu-satunya yang Ferdi punya. Setelah kekayaan, istri, keluarga, meninggalkan Ferdi. Hati Ferdi begitu sakit menatap mata penuh air itu, wajah sedih milik Kikan. Ferdi tak suka melihatnya.
"Ayah ... hanya sebentar, Dao hanya ingin menunjukkan pada mereka bahwa Dao juga punya Ibu." Kikan kembali menghambur ke dalam dekapan Ferdi.
Kikan semakin menjadi, tangisnya semakin keras. Ferdi merenggangkan pelukannya, menatap raut menyedihkan Kikan dengan penuh luka.
"Ibu tetap ada bersama kita, Ibu ada bersama Dao, Nak," ucap Ferdi tertahan. Suaranya bergetar menahan kesakitan di hatinya.
"Tapi mana, Ayah? Ibu ada di mana?" Suara Kikan serak, air mata terus berjatuhan di mata beningnya.
Ferdi membawa tangan kecil Kikan pada dadanya. "Di sini," tunjuknya, "ada di sini." Tangan Ferdi dan Kikan yang menyatu menyentuh dada Kikan.
Sudut mata Ferdi berair, wajah bingung Kikan dan kekecewaan nampak di sana.
"Ibu tidak bisa menyentuh kita, tidak bisa makan, tidur, solat bersama kita. Tapi Ibu ada mengisi hati, menyatu di dalam do'a." Ferdi meyakinkan Kikan dengan suara paraunya.
"Dao mau lihat Ibu, Yah. Sebentar, hanya sebentar," Kikan kembali terisak.
Ferdi menggelengkan kepala, dengan cara apa ia harus menjelaskan pada gadis kecil di depannya. Kata apa yang pas agar tidak melukai buah hatinya.
"Jangan tinggalkan solat, hapalkan Qur'an, berdo'a, agar bertemu Ibu di surga nanti. Berikan mahkota dari amalmu untuk Ibu." Air mata lolos dari mata Ferdi.
Jari Kikan menyentuh air mata Ferdi, mengusapnya perlahan. Meski air matanya juga belum berhenti. Ferdi mencium telapak tangan Kikan dengan cairan hangat yang terus mengalir dari matanya.
"Dao mau bertemu ibu, kan?"
Dao mengangguk cepat.
"Lakukan apa yang Ayah katakan tadi, jadi Soleha untuk Ibu, untuk Ayah, Nak." Ferdi membawa Kikan ke dalaman dekapannya. Menangis di balik bahu kecil Kikan.
"Dao janji, Ayah. Dao tidak akan lupa solat, akan menghapal Al-Qur'an, tidak akan berhenti berdo'a." Isaknya di dalam dekapan sang Ayah.
Membuat darah Ferdi berdesir, merasakan bangga dan terluka bersamaan. Ia tau belum jadi Ayah yang baik untuk Kikan. Tapi setidaknya ia tidak akan membiarkan anaknya menjadi buruk sepertinya di mata Tuhan.
***
Seorang pria memanggul dua buah ranjang dengan satu batang sebagai penyangga di bahunya. Sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang menggantung di pundaknya.
"Kacang rebus .... "
"Kacangnya, Mas?"
"Bu, kacang?"
Begitu seterusnya tiap kali berpapasan dengan orang-orang. Yang hanya dijawab gelengan kepala atau tangan yang terangkat sebagai penolakan.
Ferdi menurunkan dagangannya. Duduk di bahu jalan, memperhatikan kacang-kacangnya yang masih utuh. Ia meraih topi kupluk dari kepala yang selalu setia menemaninya bekerja. Lalu menggerakan topi dengan cepat di depan wajahnya. Terik matahari cukup menyulutkan hawa panas menyebar di tubuh Ferdi.
Sesekali menghembus napas beratnya, "Kikan pasti punya Barbie baru sore ini, Nak." Ferdi berucap mantap dalam monolognya.
Ia meraih botol minum dari atas kacang-kacang itu dan meneguknya. Ia mengusap sisa minum di atas bibirnya. Menyimpan kembali botol minuman itu dan siap berjalan lagi.
"Kacang rebus .... " Teriaknya dan mulai berkeliling lagi.
Berjualan berjam-jam, sesekali berhenti jika adzan berkumandang. Tak terasa tiba waktu senja. Tapi dagangannya belum habis semua. Pria berumur tiga puluhan ini menatap ke atas langit sana. Lalu menyunggingkan senyum penegar hatinya.
Bekerja ya bekerja, tapi jika pulang, ia tidak boleh telat. Sebab ada gadis kecil bermata bola pingpong yang menanti kedatangannya.
Perjalanan menuju rumah tak seberapa jauhnya. Pun Ferdi berdagang masih di sekitar perkampungan saja tidak sampai pinggir kota.
Satu meter dari Ferdi, berlari seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas empat SD. Ya, itu Kikan, anaknya, harta bagi Ferdi. Dengan sumringah menghiasi wajah polosnya, Kikan menghampiri Ferdi.
"Ayah .... "
Kikan meraih kaki Ferdi dan memeluknya. "Ayah pasti capek, kita bawanya berdua, ya?" Kikan menengadah pada Ferdi.
Ferdi tersenyum, "boleh."
Ferdi menurunkan dagangannya yang mulai ringan. Lalu membawanya lagi bergotongan dengan Kikan. Anak manis itu tersenyum lebar menampilkan lesung pipi yang dalam.
***
"Ayah, magrib ini gak usah ke Masjid, ya?" Kikan menahan Ferdi yang sudah siap dengan setelan Koko dan sarungnya untuk pergi berjamaah di Masjid.
"Kenapa, Nak?" Kening Ferdi mengerut.
"Dao, mau berjamaah sama Ayah," jawab Kikan dengan cengiran manis khasnya.
Ferdi tersenyum tipis, ada getar hati yang tertahan di matanya. Pinta Kikan yang menyebabkannya. Ia bangga, terlalu bangga. Biasanya Ferdi memang membiarkan Kikan solat sendirian di rumah dan ia berjamaah di Masjid. Kali ini ia mengangguk meng-iyakan mau Kikan.
Setelah muadzin menyerukan panggilan. Kikan menjadi seorang iqomah, kemudian Ferdi mulai menjalankan tugasnya sebagai Imam untuk anaknya.
Seruan amin Kikan dan takbirnya membuat bulu roma Ferdi meremang. Ia menjatuhkan air mata di atas sajadah di sujud terakhir.
"Assalamualaikum warahmatullah .... " Bibirnya mengucap salam akhir.
Usai solat, ia menerima uluran tangan Kikan yang meraih tangannya. Menciuminya, begitupun Ferdi. Tak pernah melupakan kebiasaan yang berkesan manis antara sang Ayah dan Puteri kecilnya.
"Kita ngaji Yasin bersama ya, Yah? Kita do'akan Ibu," ucapnya manis.
Ferdi mengangguk.
Setelah membaca tahlil terlebih dahulu, Ferdi memimpin Yasinan yang diikuti Kikan dengan khidmat.
Sesekali Ferdi meneteskan air mata, selain untuk menghadiahi sang Istri. Ia juga mengirim do'a untuk keluarganya yang telah tiada. Terutama kedua orang tuanya.
Pun di belakang Ferdi, Kikan melantunkan Yasin dengan pelan, air matanya berlinang mengingat pesan Ayah. Bahwa dengan solat, mengaji dan berdoa, ia akan bertemu dengan Ibunya. Wanita cantik seperti dirinya ucap sang Ayah, yang begitu ingin Kikan jadikan pertemuan nyata.
***
Hening, menyelimuti dua penghuni rumah mungil tak bercat ini. Tembok yang mulai keropos, genting yang menghitam dan lantai yang mulai bercampur tanah. Asal bisa berteduh, lalu nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?
Ferdi mengecup kening Kikan, lalu berjalan keluar ketika seorang mengucap salam sambil mengetuk pintu rumah.
"Wa'alaikumussalam .... "
Ferdi membuka pintu, mencium tangan seorang yang bertamu di kediamannya.
"Masuk, Pak." Tubuh Ferdi merunduk hormat pada tamu itu.
"Tidak usah, Fer. Bapak buru-buru, ini, jamu buatmu. Ini juga ada sedikit rezeki untuk Kikan."
Ferdi menerima bingkisan jamu, dan sebuah amplop putih. "Alhamdulillah, terimakasih banyak, Pak." Senyum Ferdi mengembang.
"Sama-sama, Bapak pamit dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah .... "
Ferdi kembali menutup pintu setelah ketua RT yang selalu perduli pada warganya itu menghilang dari pelupuk mata. Dengan mata berbinar Ferdi menatap ramuan jamu yang harganya tidak pernah sanggup ia beli sejak dulu. Dan sebuah amplop ini, biarlah Kikan saja yang membukanya pikir Ferdi.
Ferdi pergi ke dapur, menyeduh sebungkus jamu. Dan sisanya ia simpan di dalam laci. Sambil menunggu jamu itu dingin, Ferdi mengurut kakinya sendiri.
Andai saja, sang Istri masih berada di sampingnya. Ia tidak akan serapuh ini. Andai kedua orang tua masih hadir melengkapi hidupnya. Keberkahan do'a dari mereka masih bisa Ferdi nikmati. Andai kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Kaki Ferdi mungkin masih utuh dan bisa bekerja seperti dulu. Ya, setelah kecelakaan di pekerjaan proyek tempo lalu. Kini kaki kiri Ferdi tidak memiliki telapak yang sempurna. Dan berjalan dengan sebisanya. Hanya dengan modal seadanya ia berusaha berdagang kacang rebus untuk mencukupi kebutuhan. Demi Kikan, hanya demi Dao seorang. Daw-daw kesayangannya. Anak perempuan semata wayangnya yang ia do'akan mati-matian menjadi penolongnya di akhirat. Memberikan kebahagiaan yang kekal di Surga kelak.
***
Kikan tersenyum di depan cermin, membenarkan kerudung yang menutupi mahkotanya. Setelah merasa tampilannya rapi ia melenggang menghampiri sang Ayah yang duduk manis dengan secangkir kopi di tangannya.
"Ayah?" Kikan bergelayut manja pada lengan Ferdi.
"Emm ... anak Ayah yang cantik sudah siap berangkat, hum?" Ferdi membawa Kikan ke atas pangkuannya.
Kikan mengangguk.
"Ayah punya sesuatu untuk Dao," Ferdi mengeluarkan amplop putih dari saku celananya.
"Apa ini, Yah?" Dao meraih amplop tersebut setelah Ferdi menyerahkan padanya.
"Buka aja," Ferdi mengusap kepala Kikan dengan senyum simpul miliknya.
Tangan kecil Kikan perlahan membuka amplop, matanya membulat saat di tangannya terdapat selembar uang berwarna merah. | Cerpen Cinta Aku Bukan Malaikat Bisa Menghitung Rindu
"Wah ... Ayah ... ini buat Dao?" Kikan berdecak kagum.
Ferdi mengangguk tersenyum, "jadi?"
Kikan nampak berpikir, "oh, Alhamdulillah .... " ucapnya dengan cengiran.
"Nanti kalo ketemu Pak RT bilang makasih, ya!"
Kedua alis Kikan menyatu, "loh, memang kenapa, Yah?"
"Karena uang itu dari Pak RT untuk Dao," jelas Ferdi.
Kikan manggut-manggut, "Nanti pulang sekolah Dao mau kerumah pak RT deh, bilang makasih," katanya sambil menatap uang yang menurutnya berjumlah besar.
"Itu lebih baik, Dao mau beli Barbie baru, Nak?" Tanya Ferdi.
"Yey, Iyah, Ayah. Dao mau beli Barbie kaya temen-temen," air wajahnya berseri, "eh .... " detik kemudian wajahnya murung. Ia mengangkat kedua kakinya.
"Ayah ... Dao gak usah beli Barbie, uangnya Dao belikan sepatu aja, ya?"
Ferdi ikut menunduk, memperhatikan sepatu Kikan yang telapaknya menganga. Nyeri ulu hatinya, untuk menggantikan sepatu baru saja Ferdi tak bisa. Ia meraih wajah Kikan, menangkupnya.
"Maafkan Ayah ya, Nak!" Ferdi menatap ke dalam bola mata Kikan.
"Maaf untuk apa, Ayah?" Tanya Kikan dengan polos.
"Ayah belum bisa belikan Dao sepatu baru," suara Ferdi parau.
Kikan menggeleng cepat, "Kalo Ayah beli sepatu baru, nanti kan kita gak bisa beli beras juga lauk. Iya kan Ayah?"
Kedipan mata Ferdi melemah, ia tidak pernah berpikir anaknya tumbuh dengan otak cerdas dan memiliki hati yang ikhlas.
"Terimakasih, Nak. Terimakasih selalu mengerti Ayah." Ferdi mencium kepala Kikan dan memeluknya.
"Ayah, kita berangkat sekarang, ya?" Kikan menengadah.
Ferdi mengangguk, Kikan turun dari pangkuannya dan mengeluarkan buku juga pensil dari tasnya. Ferdi memperhatikan apa yang Kikan lakukan. Entah anaknya menulis apa tapi setelah itu Kikan menyobek kertasnya. Kikan juga meraih isolasi dari atas nakas. Kemudian menempelkan kertas tadi di depan lemari tua berbahan kayu berwarna gelap.
Ferdi berjalan mendekati Kikan, memperhatikan tulisan Kikan yang cukup rapi untuk seumurannya.
'Dao berangkat dulu ya Bu. Dao sayang Ibu' begitu tulisnya. Menohok hati Ferdi.
"Mulai hari ini Dao akan terus nulis pesan untuk Ibu, Yah. Biar Ibu lihat, Dao berangkat sekolah." Senyumnya mengembang.
Ferdi berlutut menyamai tinggi Kikan, menyentuh kedua bahu kecil Kikan. Menyelam ke dalam tatap Kikan, anak ini tidak bisa membohongi Ferdi sebagai Ayahnya. Ferdi tau ada luka di balik senyum Kikan. Luka itu rindu, rindu yang tak pernah terwujud.
"Lakukan, lakukan apa yang Dao suka." Ferdi mengecup kening Kikan cukup lama. Meredakan perasaan sakit sesakit-sakitnya.
"Kita berangkat sekarang, Ayah. Nanti Dao telat, rezeki Ayah juga dipatuk ayam." Guraunya.
Ferdi mengangguk dan mengulum senyum. Menggandeng tangan mungil itu dan keluar dari rumah.
***
Bandung, 2010
"Ayah ...!" Kikan berteriak histeris saat melihat Ferdi terdampar di bawah guyuran hujan, di depan rumahnya. Kikan melempar payung yang ia pakai sejak tadi begitu saja, lalu berjongkok untuk meraih kepala sang Ayah yang tertidur di tanah.
Dadanya sesak, ulu hatinya nyeri melihat sang Ayah seperti ini.
Kikan kesulitan mengangkat tubuh Ferdi. Meski kini badan Ferdi mengurus, tetap baginya terlalu berat untuk membopong sendirian. Kikan menangis.
Susah payah Kikan mengangkat tubuh Ferdi. Dengan satu kekuatan kaki kanan, Ferdi berdiri dan Kikan bopong hingga ke dalam rumah. Air hujan yang menempel di kerudung Kikan berjatuhan bersama air matanya.
Kikan berhasil membawa Ferdi ke kamar. Ia merebahkan tubuh ringkuh Ferdi. Hatinya begitu sakit, terlalu sakit hingga tak dapat diungkapkan.
Mengabaikan rasa dingin yang masuk ke pori-pori dan menusuk tulang Kikan. Persetan dengan baju basah yang menempel di tubuhnya, ia mengambil handuk lalu melap tubuh Ayah yang basah kuyup.
Kikan menutup tubuh Ferdi dengan selimut lalu satu persatu pakaiannya ia ganti dengan pakaian yang baru ia ambil dari lemari. Tak lupa ia pun memakaikan pampers dewasa sebelum memakaikan celana.
Ya, semenjak Ferdi jatuh di kamar mandi pada tahun 2009 lalu dan mengalami struk sebelah, ia tak bisa bisa bicara seperti biasa. Dan kaki kanan Ferdi yang sakit dulu semakin parah tak lagi bisa digerakkan. Ferdi mulai terbiasa buang air kecil dan besar di pampers ini. Ferdi tak lagi mandi, hanya di lap basah sehari dua kali oleh Kikan.
Kikan keluar kamar untuk menaruh pakaian basah Ferdi sekaligus mengambil makanan. Setelah siap ia kembali ke kamar.
Kikan mulai menyuapi Ferdi perlahan. Dengan perasaan campur aduk yang sakitnya keterlaluan.
'Emm ... Ayah nyuapinnya kurang gede,'
'Dao, gak baik makan banyak-banyak, nak,'
'Tapi kalo Ayah nyuapinnya kecil gak kerasa enak di mulut Dao, Ayah.'
'Kamu ini, makan banyak. Tapi badan kurus terus, kapan perut kamu kayak perut Ayah?' Ayah Kikan memukul-mukul perutnya yang buncit dengan telapak tangannya yang tebal. Lalu keduanya tertawa disela makan siang.
Kikan menelan ludah, hatinya sakit. Dadanya terasa nyeri dan sesak, ia rindu Ayahnya yang dulu.
Ayah ingat itu?
Tes.
Air mata keluar dari salah satu matanya, hingga air mata lain ikut berjatuhan.
Ia menatap pria di depannya yang menatap kosong kearahnya. Ia mulai mengangkat sendok berisi sop ke depan mulut Ayahnya. Pria itu membuka mulutnya tanpa berkata, lalu mengunyah dengan lambat.
Kikan terus memandang sang Ayah dengan seksama. Matanya kembali basah dan terus mengalirkan cairan bening. Ia meraih tangan Ayahnya dan mengecup telapak tangan itu. Tangan yang dulu tebal kini tinggal kulit dan tulang. Perut yang buncit kini terlihat bidang bahkan datar.
Kikan menghambur kepelukan Ayahnya. Ia sesegukan menumpahkan hatinya yang berkecambuk. Ulu hatinya terasa terkoyak, pria yang dipeluknya kini tak sehangat dulu. Pria itu hanya diam tanpa niat membalas pelukan Kikan. Kikan semakin tersedu, kepalanya seakan pecah dan ingin memutar waktu.
***
Bandung, 2014
"Kikan besok Ibu pesan bakwannya dua puluh ya, Nak."
"Wah, boleh, bu." Kikan tersenyum lebar.
"Yasudah, Ibu mau balik ke ruangan," ucap wanita cantik berbalut seragam dinas itu.
Kikan mengangguk.
Kikan tidak malu sekolah sambil berjualan. Kata Ayah, kalo terus malu, gak akan bisa jadi orang. Kikan tersenyum mengingat itu, ia mengemasi dagangannya yang laku keras hari ini. Gorengan memang cukup diminati kalangan guru juga teman-temannya.
Kikan berjalan menuju toilet, ia menghitung hasil jualannya seperti biasa.
"Alhamdulillah," ucapnya.
Biasanya gorengan akan tersisa lima sampai sepuluh. Kali ini tempat gorengan itu kosong melompong ringan tanpa beban.
Kikan duduk di atas closet yang tertutup rapat. "Dua hari lagi Ayah ulang tahun."
Matanya terpejam merapalkan do'a. Dalam palung jiwa ia merasa tertampar kerasnya dunia. Detik berikutnya garis bibirnya tercetak saat senyumnya begitu lebar dan nampak manis kelewatan.
***
Seperti biasa, Kikan menuliskan pesan lewat kertas untuk yang tercinta.
Kali ini, ia tidak menempelkannya pada lemari tua di ruang tamu. Ia menyeka air mata, setalah menaruh pesan cinta yang ditindih sebatang mawar di atas tanah merah.
Kali ini, ia tidak menempelkannya pada lemari tua di ruang tamu. Ia menyeka air mata, setalah menaruh pesan cinta yang ditindih sebatang mawar di atas tanah merah.
'Selamat ulang tahun Ayah' isi suratnya.
"Ayah, Dao rindu." Kikan menggigit bibirnya yang bergetar, memeluk Barbie yang telah usang. Beberapa kali tangannya mengusap air mata dengan kasar. Ia tak boleh cengeng di depan Ayahnya. Ya, tidak boleh lemah seperti apa kata Ayah.
Perlahan tangannya menyatu, berdo'a. Kemudian melantunkan surah Yasin tanpa melihat Al-Qur'an, karena sengaja tak Kikan bawa. Ya, dulu Kikan hanya hapal surah-surah pendek saja. Karena ia ingin bertemu dengan kedua orang tua di Surga. Bersikeras ia hapalkan Qur'an demi tercapainya harapan sang Ayah. Ayah yang sudah Almarhum saat Kikan kelas satu SMP. Membiarkan Kikan sebatang kara, membiarkan Kikan berdiri sendiri dengan bekal ilmu yang Ferdi berikan. Hingga Kikan tumbuh menjadi gadis cantik yang bertalenta dan Soleha.
Sekali lagi, Kikan mengusap air matanya, bahunya bergetar. Usai membacakan surah Yasin, Kikan menikmati hatinya yang meraung kesakitan. Sakit yang tak pernah orang lain rasakan.
"Ayah ... Dao sendiri, Dao kangen sama Ayah." Isaknya tertahan. Sesak menjelma membuka luka lama yang entah kapan sembuhnya.
"Ya Allah, Dao kangen Ayah," ia menangis sesegukkan.
Aku lupa, mengucap salam saat memasuki rumah dengan teriakan seperti biasa.
Aku lupa, masuk ke kamar Ayah hanya untuk setor muka juga mencium tangannya.
Aku lupa, untuk bilang biar ayah solat di rumah saja, aku mau berjamaah dengannya.
Aku lupa, untuk pamer hapalan Qur'anku sudah sejauh mana.
Aku lupa, jika Ayah sudah tiada.
Aku lupa, cara menghentikan tangis bagaimana.
Aku lupa, rasa bahagia dari pria dewasa bernama Ayah itu seperti apa.
Aku lupa, bahwa satu keberkahan hilang setelah sayap kananku patah untuk kembali padaNya.
Aku lupa, mengucap salam saat memasuki rumah dengan teriakan seperti biasa.
Aku lupa, masuk ke kamar Ayah hanya untuk setor muka juga mencium tangannya.
Aku lupa, untuk bilang biar ayah solat di rumah saja, aku mau berjamaah dengannya.
Aku lupa, untuk pamer hapalan Qur'anku sudah sejauh mana.
Aku lupa, jika Ayah sudah tiada.
Aku lupa, cara menghentikan tangis bagaimana.
Aku lupa, rasa bahagia dari pria dewasa bernama Ayah itu seperti apa.
Aku lupa, bahwa satu keberkahan hilang setelah sayap kananku patah untuk kembali padaNya.
Aku rindu. Rindu serindu-rindunya, rindu kebahagiaan-kebahagiaan yang selalu Ayah berikan. Hanya Allah yang tau, bagaimana sakitnya menahan rindu yang tidak pernah terwujud.
Dear Rindu
Rindu, jika tidak bisa aku menghindarinya. Aku akan menikmati sakitnya. Sebab sejauh manapun aku bersembunyi. Deritanya selalu menemani.
Rindu, jika tidak bisa aku berlari darinya. Aku tetap akan menghirup aroma pedihnya. Sebab kemanapun aku tenggelam. Lukanya selalu membuat hariku kelam.
Rindu, aku sudah kalah olehmu. Lalu apa lagi yang kau mau dariku? Setelah kau tukar tangisku dengan sendu. Apa kau juga menanti matiku?
Rindu, aku sudah pasrah oleh batin yang menekanku. Lalu apa lagi yang kau tunggu dariku? Setelah bahagiaku kau tukar dengan derita.| Cerpen Cinta Aku Bukan Malaikat Bisa Menghitung Rindu
Apa kau juga mengharap jasadku terbakar asa?
Temui aku sebentar saja, Yah. Aku ingin menyentuh kulit tuamu itu. Memelukmu.
Bumi Sunda, ditulis saat mendengar lagu lirih dari Ari Lasso.
Temui aku sebentar saja, Yah. Aku ingin menyentuh kulit tuamu itu. Memelukmu.
Bumi Sunda, ditulis saat mendengar lagu lirih dari Ari Lasso.
'Anak Bungsu Ayah'