Zaid terus berlari sambil membopong Zain adiknya. Wajah bocah enam tahun itu jelas terlihat khawatir. Dengan mata berkaca-kaca sambil menahan nafas yang mulai menyesakkan dada, yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana ia bisa menyelamatkan adiknya. | Cerpen Sedih Akibat Kekejaman Manuasia Manusia Laknat
Sementara di luaran tak kalah riuh nya. Suara tangisan dan jeritan terdengar dimana-mana.
Suasana pagi yang awal nya hening sepi, mendadak berubah menjadi lautan darah dan airmata.
05.00 pagi.
Malam baru saja akan beranjak menepi digantikan dengan wajah pagi yang mulai menghampiri. Tidak ada kokok ayam, atau nyayian burung yang biasanya mengawali hari. Begitupun azan tak terdengar kumandangnya.
Namun bagi Zaid ada atau pun tidak ada nya kumandang azan, ia sudah tahu bahwa waktu sholat shubuh sudah tiba.
Ditengoknya Zain yang masih tertidur pulas di sampingnya. Hanya beralas selimut tebal yang nampak sudah usang. Tanpa kasur, tanpa perlengkapan tidur lainnya.
Sementara ...
Sekarang musim dingin mulai menjelang. Mereka harus melapisi pakaian dalam dengan pakaian luar yang lebih tebal agar tidak mati mengigil karena kedinginan.
"Zaid..!" Terdengar suara Abu Moostofa memanggil nya, "Sudah sholat?" tanya lelaki paruh baya itu dengan lembut.
"Belum."
"Yallah ... berjamaah dengan saya."
Zaid segera beranjak dari tempat ia berlindung hari ini. Yah, hari ini. Entah esok dimana ia bisa menitipkan tubuh kecil nya berdua dengan adik semata wayang.
Beberapa waktu yang lalu. Satu-satunya rumah tempat ia berlindung hancur porak poranda karena sebuah ledakan bom. Menghancurkan semua bersamaan dengan ayah dan ibunya.
Dibasuhnya satu persatu. Mengalir membasahi wajah dan hati yang kerontang. Jiwa yang lelah. Merindu Kasih yang terenggut paksa disaat ia dan adiknya masih memerlukan pelukan dan usapan hangat seorang ibu.
Dalam sujud panjang itu tak lupa ia melangitkan doa agar ayah ibu nya mau menunggu. Karena rindu itu kadang menghampiri dan menyiksa sudut hati yang terdalam.
Rindu ... sangat ..!!
Setelah selesai lalu Zaid menghampiri Zain. Rupa nya anak itu sudah terbangun. Dua netranya mengerjap indah, tapi ia masih malas untuk menepi dari mimpi nya.
"Zain ... kau sudah bangun. Apa mimpi mu?" tanya Zain sambil tersenyum. Bocah 3 tahun itu tertawa kecil, seperti nya Zain bermimpi indah malam ini. Tidak apa Zain, karena mimpilah yang membuat kita tetap tersenyum hingga hari ini.
"Kak ..."
"Iya."
"Aku bermimpi melihat banyak burung di langit. Banyak sekali."
"oh iya, lalu?"
"Lalu ayah menangkap salah satu burung itu dan di berikan kepadaku."
"Kau rindu ayah?"
"Iya, ...Kak."
Raut wajah sedih langsung menggantung di kedua manik indah Zaid.
Entah sampai kapan kekacauan ini akan berakhir. Meninggalkan luka tidak hanya bagi anak-anak seperti dirinya. Bahkan melenyapkan harapan dan cita-cita bagi
sebagian penduduk di kota ini.
"Kak, aku lapar." Zain berkata sambil sesekali tangan mungilnya memegang
perut yang memang sejak semalam tidak terisi makanan. Hanya beberapa roti kering yang mereka dapat hingga akhirnya mereka tidur dalam keadaan lapar.
"Ayo, ikut kakak."
"Kemana?"
"Mencari makan."
10.00 pagi
Zain berdiri di antara lalu lalang manusia di tepi kota. Tujuan nya hanya satu, ia berharap hari ini masih ada orang yang berbaik hati mau memberinya pekerjaan.
Apa saja ... asalkan ia bisa mendapatkan makanan untuk Zain.
"Kak ... lihat!" ujar Zain sambil mendongak ke atas langit.
Seperti laba-laba raksasa dengan jaring putih tampak dengan jelas menguar di angkasa namun perlahan memudar tipis tak terlihat.
Bersamaan dengan itu mulai terdengar kegaduhan. Jeritan dan teriakan disana-sini. Mereka berusaha menyelamatkan diri.
Zaid masih terkesima belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Sesaat kemudian ...
Tubuh-tubuh itu mulai bergelimpangan. Terjatuh lemas dengan suara erangan seperti suara binatang yang hendak disembelih. Kulit memucat. Jari jemari bergetar. Dan mata yang membelalak tak bereaksi.
"Zain ... Zain, ayo kita pergi!" Zaid mencoba meraih adiknya, tapi saat ia menoleh Zain pun sudah tergeletak sama.
"Toloongg.....?" ...
Membaur bersama dengan korban lain yang berhasil diselamatkan. Zaid duduk sambil memeluk tubuh Zain yang masih terpejam.
Selang oksigen ia hadapkan pada wajah adik kesayangannya. Ia tahu Zain masih hidup, hanya menunggu giliran relawan kesehatan untuk memeriksanya.
Aahhh ...
Nafas nya semakin sesak. Rongga dada ini seperti di penuhi dengan bermacam duri.
Pandangannya mulai kabur. Aku tak boleh mati. Bagaimana Zain nanti. Sekuat tenaga Zaid berusaha mempertahankan kesadarannya.
"Zaid ...?"
"Ayah."
"Lihat ...! Berapa burung yang berhasil ayah tangkap?" Lelaki yang dipanggil ayah itu mendekat memeluk Zaid, "Kau senang, Nak?"
"Iya, Ayah." Dengan senyum terukir indah Zaid mendekap burung hijau itu.
Dan akhirnya Zaid harus menyerah pada rasa sakit akibat kekejaman manuasia-manusia laknat yang telah memberanguskan kota kelahirannya. | Cerpen Sedih Akibat Kekejaman Manuasia Manusia Laknat