Kisah Hidup Perempuan Di Kursi Roda

Perempuan di kursi roda itu adalah ibu kekasihku. Kemarin sore, ketika aku datang, beliau termenung di teras rumahnya. | Cerpen Sedih Kisah Hidup Peremuan Di Kursi Roda

Sebelum masuk ke rumahku yang berhadapan dengan rumahnya, kusempatkan sungkem kepada Bu Ripta.

"Dalem mlebet rumiyin nggih, Bu," pamitku melangkah nuju rumah ibuku.

Pagi ini ibuku memasak bubur gurih kesukaanku. Berbahan dari beras, santan, daun salam dan sedikit garam. Aku suka memakannya beralas daun pisang dan memakai suru ; sendok dari sobekan kecil daun pisang pula. Praktis tidak perlu lagi mencuci perabot. Usai makan tinggal buang saja ke tempat sampah.

"Ning, tolong ambilkan dipiring untuk Bu Ripta, itu Beliau duduk di teras, pasti suka."

"Inggih, Buk. Pakai sendok enggak?"

"Enggak usah, yang agak banyak sekalian, biar buat makan siang juga."

Aku memenuhi piring beling coklat dengan bubur gurih. Sambil menunggu agak dingin aku mencicip seler-an daun pisang, kemudian berjalan menuju rumah Bu Ripta.

"Bubur anget, Bu. Mangga dipun dhahar."

"Matur nuwun, Ndhuk Ning. Tolong ambilkan sendok ya."

Perempuan itu membaui bubur hangat di tangannya. Wajahnya nampak sumringah dan senang. Aku masuk sampai dapur mengambil sendok. Pandanganku menyapu mulai ruang depan tadi. Tak ada perubahan mencolok di rumah ini. Mataku tertuju pada photo keluarga yang dipasang ruang tamu. Ada tampang Mas Prayit di sana. Aku memandanginya tak berkedip beberapa detik. Sosoknya makin gagah dan tampan.

Ibuku menyusulku. Kami mengobrol bertiga di teras Bu Ripta.

"Matur nuwun, Par. Enakmen buburmu." Bu Ripta memuji kelezatan bubur buatan ibuku, Bu Parti.

"Itu si Nining suka, Bu," sambung ibuku.

"Panjenengan di rumah sama siapa, Bu?" tanyaku.

"Sama Utik dan anak bojonya, Ning. Semua anak-anak sudah misah masing-masing. Prayit di Jombang."

Makdheg jantungku ketika nama itu disebut. Apakah perempuan itu menyadari betapa gemuruhnya dada ini. Apakah aku sanggup menahannya jika lelaki yang kurindu ada di depan mataku. Hanya berharap dia tahu kalau aku masih sangat mencintainya. Itu saja, tak hendak mengganggu kebahagiaannya. Bu Ripta, tidakkah kauberpikir andai aku yang jadi menantumu, akan merawatmu dengan sepenuh hati. Menemanimu mengobrol seperti ini. Mengapa manusia memperumit keadaan? Cintaku kejedhot primbon. Aku beralih memandang ibuku. Kedua perempuan bertetangga akrab, tidakkah boleh berbesan? Butiran mengambang di ujung mataku. Aku mengusapnya dengan ujung lenganku. Buru-buru aku undur diri.

"Aku pulang ya, Buk," ibuku bertanya ....

"Mau makan bubur lagi to?" Aku menoleh ke arahnya dan mengangguk.

Entahlah apa yang kedua perempuan itu obrolkan, mungkin juga membahasku. Aku yang kini sendiri tersebab ditinggalkan lelakiku. Anak semata wayangku juga sekolah jauh di luar kota. Aku sendiri dan kesepian, longgarnya waktu aku pakai sering-sering mengunjungi ibuku yang kini juga sendirian di rumah cukup besar ini.

Aku menuju kamar, merebahkan diri, andai takdir mempersatukan kami, pasti semuanya berbeda. Kami menjadi pasangan ideal di kampung ini. Menggarap sawah, merawat orang tua, atau bisa saja jadi pamong desa. Kehidupan sederhana yang membahagiakan. Membangun mushola kecil di tanah warisan nenek. Impian indah dan tetap hanya menjadi angan tak terwujud.

"Ning andhok soto, yuk. Kamu naik sepeda duluan ya. Nanti aku nyusul."

Mas Prayit tersenyum menggoda sekali saat mengajakku. Aku mengangguk setuju. Ganti baju yang agak pantas, menggerai rambut panjangku. Pasti dia suka aku tampil begini, Mas Prayit pernah melarang aku memotong rambut.

"Ning rambutmu panjangin ya, aku suka."

"He'emm," jawabku patuh kala itu.

Kami makan soto dalam diam, menikmatinya. Tidak lama terus pulang. Acara kami sedikit kacau, adiknya, Dik Utik menyusul kami.

"Mas dicari Bapak tuh, suruh pulang."

Mas Prayit cabut duluan setelah membayar sotonya. Aku pulang bareng Dik Utik.

Mengapa kami tidak Allah beri kesempatan bertemu? Puluhan tahun. Itu mungkin cara Allah tetap menjadikan aku perempuan baik-baik. Bukan sosok pengganggu rumah tangga orang. Meski cinta tak pernah salah jodoh ada di tangan-NYA. Tidak semua harapan manusia terpenuhi. Pun dengan cinta, tak harus memiliki. Ketika mampu mengelola nafsu, suatu kebahagiaan melihat orang yang kita cintai bahagia. Apa yang akan aku lakukan suatu saat bila bertemu dengan dia? Aku hanya ingin memotretnya. Dia dengan istrinya yang bercadar juga setengah lusin anak-anaknya. Itu saja. | Cerpen Sedih Kisah Hidup Peremuan Di Kursi Roda