Umi Ijinkan Abi Menikah Lagi

Wanita berumur 30 tahunan tersungkur di atas sajadah panjang membentang di sepertiga malam. Air mata tumpah ruah dari pelupuk mata laksana terjangan air bah. Tak ada lagi tempat menyandarkan hati selain pertemuannya dengan Sang Khalik. Suami yang selama ini ia agungkan dalam singgasana tertinggi telah menghempaskan seluruh asa. Meminta sesuatu yang tak pernah secuil pun terlintas dalam pikiran polosnya.

“Umi, izinkan abi menikah lagi.”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir kemerahan lelaki yang selama sebelas tahun selalu ia puja. Bagai godam besi yang dengan sekuat tenaga dihantamkan ke dasar hatinya yang paling rapuh. Meremukkan ... meluluhlantakkan segala isi di dalamnya.

Mata wanita itu seketika memanas. Tangisnya pecah, menumpahkan segala beban yang menghimpit dada.  | Cerpen Sedih Umi Ijinkan Abi Menikah Lagi

“Umi ....” Lagi, suara pria yang selama ini selalu ia rindu karena nadanya yang menenangkan, kini terdengar bagai duri yang siap menggores hati.

Wanita itu mengembuskan napas berat. Khimar biru tuanya mengusap air yang memenuhi seluruh wajah putih bersih yang kini tampak meredam amarah.

“Kenapa, Abi?” Mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa, suara serak keluar juga dari bibirnya yang bergetar.

Lelaki itu diam. Mata menatap tajam ke arah istrinya. Terdengar napas beraturan, namun mengembus lebih panjang dari biasanya.

“Rasulullah poligami, Umi. Dan Rasulullah juga menyerukan kepada umatnya untuk mengikuti sunahnya.” Lelaki itu tampak berbicara dengan hati-hati.

Klasik. Wanita itu tersenyum sinis.

“Hanya untuk lelaki yang bisa bersikap adil, Abi.” Ia menekankan kalimatnya pada kata ‘adil’.

Sekali lagi, lelaki di hadapannya menarik napas ... berat dan panjang.

“Abi tahu, Umi.”

“Lantas ... abi pikir, abi bisa bersikap adil, begitu?”

“Insyaallah ... abi akan berusaha.”

Ah, ia memalingkan muka. Sungguh mudah bicara adil, sebelum kau tahu risiko apa yang akan datang ketika kau tak mampu melakukannya.

Mata Dinda kembali nanar menatap ubin persegi yang memenuhi rumah kontrakan tipe 36. Di ujung sana, satu bidadari dan dua jagoan mereka tengah terlelap. Azka, si kecil yang baru berumur 6 bulan tampak sesekali menggerakkan tubuh mungilnya, yang dengan terburu-buru, tangan wanita itu segera menepuk-nepuk pantatnya ringan. Memberikan sentuhan agar ia kembali terlelap.

Empat bulan yang lalu, Haris memutuskan pergi ke luar pulau untuk bekerja. Seorang kenalan menawarkan agar ia ikut mengelola yayasan yang baru setahun berdiri. Mengingat pekerjaan Haris sebagai pengajar di sini dan juga hanya tenaga honorer, ia pun menerima tawaran itu. Berharap kehidupan di sana akan lebih baik, sehingga secepatnya bisa memboyong seluruh keluarga untuk tinggal bersama. Namun entah mengapa, niat awalnya tidak sesuai dengan apa yang ia jalani sekarang.

Empat bulan ... hanya empat bulan dan semua berubah ....

“Kalau boleh umi tahu, umi punya salah apa sama abi?”

Kini, dengan tatapan laksana serigala, ia menatap suaminya.

Lelaki di hadapannya hanya menggeleng lemah. “Tak ada, Umi. Bagi abi, umi itu istri solehah, mampu menenangkan dan menyenangkan hati abi. Umi juga ibu solehah, sandaran ternyaman bagi anak-anak kita.”

“Kalau memang umi sesempurna itu di mata abi, kenapa abi ingin menikah lagi?”

“Karena di luar sana masih banyak wanita yang ingin diselamatkan, Umi. Mereka juga butuh suami ... butuh pelindung ... yang senantiasa bisa menghindarkan mereka dari berbagai macam fitnah. Abi yakin umi paham itu.”

“Masih banyak lelaki di luar sana, Abi. Kenapa tak memberi kesempatan kepada mereka yang masih sendiri?”

“Jumlah lelaki tak sebanding dengan wanita, Umi.”

Memang betul, sahut Dinda dalam hati. Dan untuk alasan ini, dia tak bisa menyangkal perkataan Haris.

Tapi mengapa harus abi yang poligami? Mengapa harus ia yang mengalami semua ini? Haruskah ia berbagi suami dengan wanita lain?

“Abi hanya ingin menghindari zina, Umi. Abi tak pernah selingkuh. Tetap berusaha memegang agama dengan teguh.”

“Bahkan Rasulullah pun tak pernah memakai alasan itu untuk menikahi wanita.” Sinis ia menimpali.

Wanita itu tergugu. Menggigit bibir bawahnya yang terasa kelu.

“Siapa wanita itu, Abi?” Ia berusaha meredam kembali amarah yang tengah menggelegak.

“Namanya Nisa ... Wanita solehah yang menjaga auratnya dengan cadar. Umurnya selisih satu tahun lebih tua dari Umi. Belum pernah menikah.”

Meskipun lebih tua, tapi ia cantik kan, Abi? Apalagi masih single. Pasti abi terjerat dengan pesonanya.

Dinda menekan jantungnya yang berdenyut keras. Perih. Sakit mendengar orang yang kau cinta juga mengagumi wanita lain selain dirimu.

“Kasih Umi kesempatan untuk berpikir, Abi. Umi ingin curhat dulu sama Allah,” putus ia akhirnya.

Ia lalu merebahkan badan di sisi Azka, mendekapnya erat. Dengan tubuh yang beberapa saat terus bergetar hebat. Menahan sakit saat sekilas melihat senyum tipis terkembang di bibir suaminya.

Lengkingan tangis Azka di penghujung sepertiga malam menyentakkan angan Dinda. Membuatnya dengan segera berjalan tergopoh menuju buah hatinya. Mukena yang dikenakan saat mengadu kepada sang pemilik jiwa disingkirkannya begitu saja. Ia tak mau raungan Azka membangunkan semua penghuni rumah.

Tangis Azka sedikit mereda saat ia meraba pantat si bayi. Dengan cekatan, segera melepas celana serta baju yang ikut basah terkena ompol. Meraih baju lengan panjang yang berada paling atas di tumpukan keranjang, lalu memakaikannya dengan cepat. Berharap benar-benar bisa menghentikan tangis Azka.

Setelah terdiam, wanita bertubuh kecil itu segera menyodorkan jatah ASI yang menjadi hak Azka ... paling tidak untuk 1,5 tahun lagi ke depan.

Haris mengerjapkan mata. Terbangun karena suara tangis Azka yang memekakkan gendang telinga. Ia lalu terduduk, di atas sofa kecil tempat ia merajut mimpi. Matanya tertuju pada mukena serta sajadah yang masih terhampar di atas lantai di sisinya. Sejenak kemudian, pandangannya beralih pada Dinda.

“Umi udah tahajud?” tanyanya sambil berjalan setengah gontai ke arah Dinda. Nyawa yang sempat terserak, belum sepenuhnya kembali.

“Iya,” sahut Dinda. Bibir Azka masih menempel di dada ibunya, menikmati makanan segar khusus untuknya.

“Kok nggak bangunin abi?”

“Maaf, Abi. Malam ini umi hanya ingin berdua sama Allah,” sahutnya tanpa bergerak.

Haris mengembuskan napas. Ia lalu melangkah ke kamar mandi. Sejenak kemudian, terdengar gemericik air wudhu dari sana.

Haris melewati Dinda tanpa kata. Melipat rapi mukena yang tadi dikenakan istrinya. Kini giliran ia yang menegakkan beberapa rakaat dalam sujud malamnya. Khusyuk.

Haris telah menyelesaikan rangkaian sholat serta doa panjangnya, ketika dilihatnya Dinda terduduk dengan tatapan kosong di bibir ranjang tanpa dipan. Perlahan, ia melipat sajadah, menyampirkan di kursi kayu setengah lapuk, lalu berjalan ke arah wanita yang bertahun-tahun menemaninya dalam suka duka. Ia duduk bersila tepat di hadapan wanita itu. Lengan kokohnya meraih lembut tangan istrinya dan mengusap pelan. Tangan yang selama bertahun- tahun rela mengurus suami dan anaknya dengan baik.

Sekejap, Dinda menatap manik hitam Haris lekat.

“Umi akan berikan jawabannya sekarang, Abi.”

Wanita itu kemudian berjalan ke arah sofa tempat suaminya tertidur. Haris menatap punggung kecil itu berlalu, lalu mengikutinya dari belakang. Meskipun mungil, istrinya tampak tegar menahan beban hati dan pikiran selama berumah tangga dengannya.

Mereka duduk bersisian. Dinda terlihat memilin-milin jemarinya sendiri. Sementara Haris, ia terus berusaha menetralkan detak jantung yang sedari tadi berpacu kencang sekali.

Beberapa saat mereka hanya terpaku dengan pikiran masing-masing.

Sampai akhirnya Haris menggeram ringan, memecah keheningan dengan suara bergetar.

“Umi ....”

Dinda sedikit tersentak. Rupanya, sedari tadi angannya melayang tak tentu arah.

Untuk ke sekian kali, ia menarik napas panjang.

“Abi ... maafkan umi.”

Hanya itu kata yang keluar dari bibirnya.

Sesaat, mulut Haris terkunci rapat. Memilih kata paling tepat untuk diungkapkan.

“Kenapa, Umi? Apakah Umi meragukan ayat Allah?”

“Sama sekali tidak, Abi.”

“Lalu kenapa umi menolak ayat poligami?”

“Umi tidak mau poligami bukan berarti umi menolak ayat poligami, Abi. Itu dua hal yang tidak bisa disandingkan. Umi hanya tidak mampu jika itu terjadi dalam kehidupan Umi,” elaknya, “ibarat seseorang yang suka makan durian. Kalaupun umi tak menyukai durian, bukan berarti umi harus memandang orang yang suka makan durian itu orang yang salah, bukan? Silakan saja makan. Halal! Tapi jika umi tak suka, apa umi juga harus tetap memakannya? Bukankah kalau dipaksakan justru malah akan menimbulkan penyakit?”

Haris bergeming. Tak mampu berkata-kata.

“Umi yakin ayat Allah itu benar, Abi. Tapi maafkan umi yang tidak bisa menjadi wanita sempurna. Maafkan umi tak bisa setegar Shafiyyah saat harus menjalani hidup poligami. Umi tak bisa setabah Aisyah yang memendam cemburu saat harus melihat suami memadu kasih dengan istri yang lain. Umi hanya wanita akhir zaman yang jauh dari kata sempurna. Umi hanya wanita egois yang memilih tetap berusaha menjaga hati agar tak tersakiti.”

“Allah menjanjikan surga untuk istri yang merelakan suaminya berpoligami, Umi.”

“Umi paham, Abi. Sangat paham! Tapi maafkan umi ... karena umi hanya wanita lemah iman yang tetap ingin berusaha meraih surga Allah ... namun memilih melalui jalan lain ... sedekah ... puasa ... yang pasti bukan poligami ....”  | Cerpen Sedih Umi Ijinkan Abi Menikah Lagi

Setetes embun jatuh melalui ujung matanya. Mengiringi sayup suara adzan Subuh dari kejauhan. Mengantarkannya beranjak menyambut hari yang entah akan ia lalui seperti apa.