Nara, gadis berusia 17 tahun itu aku kenal ketika pertama kali dia datang sebagai siswi magang di kantor. Anaknya cantik, cerdas dan cekatan.
Untuk pertama kalinya, sejak bertahun-tahun lalu, kami akhirnya memutuskan untuk menerima siswa magang seperti halnya bagian lain. Biasanya, demi alasan keamanan kami tak menerima siswa magang. | Cerpen Cinta Kisah Perjalanan Elang Dan Nara
"Apa yang harus Nara bantu, Bu?" Nara mendekatiku, bertanya apa tugasnya hari ini.
Aku menyerahkan setumpuk dokumen pada Nara."Kamu salin setiap data ini ke Ms. excel dan coba lakukan perhitungan, lihat dan bandingkan dengan data yang ini dan temukan di mana selisihnya."
Nara mengangguk dan mulai bekerja. Jemarinya lincah menari di atas keyboard. Dua jam kemudian dia mulai kebingungan.
"Belum ketemu selisihnya, Bu ...jumlah selisih hanya Rp. 618...."
"Hanya??" Elang, rekan kerjaku bertanya retoris,"selisih satu rupiah sekalipun tetap harus dicari karena itu artinya tidak balance."
Aku mengangguk," Gak papa, istirahat dulu. Itu PR minggu ini. Jum'at nanti kami ingin tahu letak selisihnya di mana, oke?"
"Nara di sini untuk belajar, bukan? Mulai pelajarannya dari data itu," tegas Elang.
"Nara ...ngopi dulu, yuk!" Dody, salah seorang rekan mengangsurkan cangkir kopi kepada Nara.
"Hush! Anak SMA bukan minum kopi tapi minum susu..." Ares, rekan pria yang lain menimpali. Nara hanya menanggapi dengan tersenyum malu.
"Ibu ..." Nara mendekati aku dan Vivi, rekanku yang tengah merapikan tas bersiap untuk pulang.
"Ada apa, Nara?" tanya Vivi.
"Ehmm ...besok Nara boleh bawa barang dagangan, gak?"
Aku dan Vivi saling pandang. Nara kemudian bercerita bahwa selain sekolah Nara juga berdagang makanan ringan ke sekolah, aneka keripik yang diolah oleh ibunya. Dia bermaksud menjualnya di kantor pada jam istirahat. Nara berjanji hal itu tak akan mengganggu pekerjaannya.
Ayah Nara tidak bekerja karena menderita gangguan jiwa sejak Nara masih anak-anak. Ibunya yang mencari nafkah dengan menjual aneka jajanan di depan rumah. Dan Nara membantu menjual sebagian dagangan.
"Boleh saja, tapi janji jangan sampai itu mengganggu tugasmu yang akan berpengaruh ada nilai PKL mu, ya," ujarku. Vivi mengangguk tanda setuju.
"Terima kasih, Ibu...." Nara sumringah.
Keesokan harinya, Nara membawa sekantong plastik barang dagangannya. Kami membeli dan mencicipinya. Rasanya memang enak. Dan Nara menepati janjinya dengan mengerjakan tugas yang kami berikan dengan baik.
"Bagaimana, Nara? Sudah ketemu di mana selisihnya?" Dody memantau pekerjaan Nara. Nara memberitahukan kesulitannya. Menemukan selisih ratusan rupiah dari total nilai angka 9 digit. Dody kemudian membimbing bagaimana cara kerjanya.
"Kuncinya ketelitian dan ketekunan. Cocokkan setiap kode akun belanjanya. Setiap selisih satu rupiahpun harus ditemukan sumbernya,"
Ketika akhirnya Nara berhasil, kami memberinya standing aplause dan Ares memborong seluruh dagangan Nara hari itu.
"Nara, kamu anaknya tekun dan cerdas, nanti lulus SMK pengen kuliah di mana?" tanya Elang.
Nara memainkan pensilnya. Wajahnya mendung.
"Nara gak akan kuliah, saya mau jualan saja, bantu Umak," ujarnya sendu.
Tanpa perlu bertanya, kami tahu apa masalahnya. Dengan ayah menderita gangguan jiwa dan harus berobat teratur di BKJM, ibu Nara harus menghidupi Nara dan ayahnya dari keuntungan dagangan yang tidak seberapa.
Nara bersekolah di SMK saat ini atas kebaikan hati seorang pemilik yayasan tempat sekolahnya bernaung, yang menggratiskan seluruh biaya sekolah untuk Nara.
"Kalau misalnya ada yang mau membiayai kamu kuliah, kamu mau?" tanya Elang.
"Mau saja, Bapak ...tapi biaya kuliah mahal...." Nara menyahut lirih.
Kami terdiam. Ada banyak Nara lain di luar sana yang cerdas dan berpotensi namun tak mampu mengenyam pendidikan yang layak karena keterbatasan ekonomi. Dana beasiswa pendidikan dari pemerintah terbatas dan tak mampu mengcover semua.
"Apa?! Elu mau jadi ayah angkat Nara?" Aku meyakinkan diri bahwa aku tak salah dengar perkataan Elang barusan.
"Elu yakin? Nikah aja belum udah mau jadi ayah?" Vivi turut bertanya.
"Iya, adikku sebentar lagi wisuda, aku akan punya dana yang cukup untuk membiayai Nara," tegas Elang.
Elang, pria berusia 31 tahun yang sudah beberapa tahun belakangan ini menjadi rekan kerjaku adalah ayah sekaligus abang bagi adik perempuannya, Erin.
Ayah Elang entah ada di mana. Elang tak mau bercerita tentang ayahnya itu dan selalu menghindari topik pembicaraan tentang sang ayah. Ibu Elang bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit. Berjuang membesarkan dan menyekolahkan Elang dan adiknya.
Ketika Elang telah bekerja, ia mengambil alih tanggungjawab ibunya. Dan kini, Erin telah menyelesaikan kuliahnya.
Elang mewujudkan niatnya. Satu tahun kemudian dengan izin ibu Nara, Elang mendaftarkan Nara untuk mengikuti seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri. Dan Nara yang cerdas lolos seleksi.
Hari ini, aku, Vivi dan Elang menunggu pesawat yang akan membawa kami ke Jakarta. Kami membawa Nara serta. Aku dan Vivi harus ke Jogja untuk diklat, Elang mendapat tugas menyelesaikan urusan di kementrian.
Dari Jakarta, Nara akan dijemput Erin untuk meneruskan perjalanan ke Bandung. Elang tidak bisa mengantar Nara ke Bandung karena dia harus segera kembali bertugas.
Akhirnya proses boarding selesai, kami masuk ke pesawat dan duduk di seat yang berurutan. Aku dan Vivi, Elang dan Nara di seberang lorong.
"Wah ...awan...." Nara bergumam ketika pesawat telah mencapai ketinggian."Ayah enak ya, bisa sering-sering naik pesawat," celetuk Nara yang sejak mengetahui dirinya akan dikuliahkan, memanggil Elang dengan sebutan 'Ayah'.
Dan anehnya, Elang tidak keberatan. Usia mereka terpaut 14 tahun.
"Enak apanya, Nara. Ayah kerja," sahut Elang pendek sembari melihat-lihat majalah.
Aku dan Vivi saling pandang. Dan tersenyum. Tanpa bicara kami bisa menebak isi pikiran masing-masing. | Cerpen Cinta Kisah Perjalanan Elang Dan Nara
Elang di usia 32 tahun, masih terlihat seperti pemuda pada umumnya saat ia tidak mengenakan stelan kerja. Sepatu kets, kaos oblong bergambar band rock luar negeri dipadu jaket bikers. Tak ada kesan bapak-bapak.
Dan Nara, seperti remaja putri pada umumnya, ceria dan lincah.
"Nanti Nara sama Kak Erin, ya. Ayah tidak bisa mengantar sampai Bandung. Pesan Ayah, kuliah yang benar, jangan pikirkan biaya. Jangan kebanyakan main dan shopping. Ingat tujuan kamu kuliah untuk membantu ibumu," pesan Elang ketika pesawat telah landing.
Kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu di sebuah foodcourt di lingkungan Soetta sebelum aku dan Vivi melanjutkan penerbangan ke Jogja dan Erin membawa Nara ke Bandung.
Saat itu Erin telah tiba untuk menjemput Nara. Dan dengan cepat keduanya akrab.
"Iya, Ayah. Nara Janji akan kuliah yang rajin," sahut Nara.
Perjalanan kami masih jauh, begitu pula dengan perjalanan hidup Nara. Dari lubuk hati kami, aku dan Vivi, terselip harapan yang lebih baik untuk Elang dan Nara. Suatu hari nanti.