Adzan Dhuhur baru saja melintas. Aku menutup kios pakan ternak dan obat-obatan unggas milikku. Satu-satunya usaha terakhir yang tampaknya juga tak akan mampu tegak bertahan lama. Kios tak seberapa besar dengan bangunan setengah permanan di bantaran kali samping jalan raya, menjadi satu-satunya ladang mendulang nafkah untuk mengais rezeki, menghidupi istri dan seorang anakku yang baru saja naik kelas satu SD.
Kembang kempis, barang-barang dagangan yang laku terjual sangat jarang, modal bergerak masuk kembali untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang harus berputar setiap harinya. Sementara untuk kulakan barang lagi, semakin berat saja dan sudah hampir sebulan ini aku tak melakukannya. Lebih memilih untuk membawa pulang beberapa lembar tunai hasil penjualan yang tak seberapa itu ke rumah.
Aku sepertinya sudah hampir menyerah. Apalagi jika mengingat dulu, satu 'bedak' di jajaran kios yang kudapat dari warisan orang tuaku, ludes terlahap api pada sebuah kebakaran besar di malam hari, dan gagal tak terpadamkan oleh sigapnya barisan para petugas. Menghanguskan seluruh isi pasar besar. Ludes tanpa sisa. Kecuali meninggalkan onggokan arang dari berbagai material yang sudah hangus. Ada yang tersisa sebenarnya, beberapa gerabah yang terbuat dari tembikar. Masih utuh, terlihat lebih cantik dari semula karena telah 'dibakar ulang dengan sangat sempurna.' Tampak lebih kuning mengkilap. | Cerpen Kehidupan Sumpahku Empat Zaman
Kejadian ini tentu saja banyak membuat pedagang yang gulung tikar. Tidak bisa bayar hutang, terhenti untuk sirkulasi kulakan barang. Mandeg total. Sementara menunggu keputusan pemerintah yang kupikir terlalu lama untuk ukuran sebuah kedaruratan. Pun sarat dengan muatan politik. Menjadi berbelit dan tiada kunjung usai.
Ujung-ujungnya adalah; kami harus membeli ulang kios dengan harga baru, jika ingin melanjutkan sebagai pedagang di lingkungan pasar besar milik pemerintah ini. Sial! Bahkan hak milik kami diabaikan begitu saja. Bukankah dulu Bapak sudah membelinya dari pemerintah, kepada pejabat yang berkuasa saat itu? Dengan secarik kertas traksaksi bermaterai. Meski sekarang pejabat itu sudah mati setelah mengalami stroke berat selama tiga tahun. Dan lebih dari sah untuk pengakuan sebagai hak milik.
Namun pejabat itu demi kewenangannya, tutup mata dan sumpal telinga.
Ganti pejabat, ganti peraturan! Dan itu artinya pejabat yang sekarang jelas tidak akan mau tahu terhadap persoalan2 yang ditimbulkan oleh pejabat sebelumnya yang telah lengser. Apapun itu. Terutama yang menyangkut masalah uang atau asset bernilai lainnya.
Aku tidak segera pulang ke rumah. Berasa sangat malas dan tak bergairah. Kurasa mengetuk pintu, lalu bertemu dengan istri dan saling berpandangan mata, hanya akan menjadi picu tajam atas persoalan belitan hidup yang sudah hampir tiga bulan mulai buram kurasai. Bangkrut lagi! Rugi lagi! Tutup lagi.
Untunglah ia tipe perempuan yang 'nrimo' dengan keadaanku yang sudah ia yakini dengan benar bahwa aku, telah berjuang dan berpayah-payah dalam berihktiar. Membuat beberapa usaha agar bisa hidup dan bertahan di tengah kerasnya persaingan. Ia sangat yakin bahwa usahaku suatu waktu kelak akan menuai hasil. Entah di waktu yang mana. Ia juga sangat yakin, bahwa semua tak bakal menjadi sia-sia. Kembali pada urusan waktu, dan aku tahu, sabar menjadi obat satu-satunya.
Menyalakan sepeda motor yang sudah berusia sepuluh tahun sejak aku membeli tunai, sebelum kami menikah. Aku melaju ke tempat sahabatku. Ia bernama Mas Darmaji, pemilik warung soto bernama 'Nikmat Lidah' yang mempunyai omset penjualan luar biasa!. Karena memang masakan soto ayam dan daging masakannya berasa sangat istimewa. Banyak pelanggan yang rela mengantre hanya sekedar untuk bisa menikmati seporsi soto ayam, sunduk jeroan dan teh manis hangat. Tidak saja terkenal di sepanjang jalan itu, namun mampu membuat penjaja kuliner sejenis menjadi ketir-ketir. Semakin kalah bersaing. Dan akhirnya tutup juga atau beralih berjualan ragam barang yang lainnya
Sudah bisa dipastikan, tidak sampai menunggu adzan Isya, Mas Darmaji sudah menutup warung sotonya. Mengiring keenam anak buahnya yang ia pekerjakan dengan senyum puas, pulang ke rumah masing-masing. Seiring waktu, soto 'Nikmat Lidah' kian beranjak menjadi legenda di kalangan masyarakat dan penyuka kuliner istimewa.
Mas Darmadi meraup untung yang sangat tebal. Sudang barang tentu akan mengantarnya tidur lelap dan bangun lebih bersemangat di keesokan hari.
Aku mengenal Mas Darmadi tiga tahun lalu, saat masih berjualan di kios dalam pasar besar yang belum terbakar. Ia orang yang ramah, baik dan pandai bergaul. Cocok berprofesi sebagai pedagang. Hingga suatu waktu ia memintaku untuk mencarikan tempat kost, sebab anak dan istrinya akan ia boyong ke kota ini. Seiring usahanya yang bertambah laris.
Dari situlah kami akhirnya akrab, sebagai tetangga. Saat ia kemudian sepakat dan bersedia menyewa kamar sebelah rumah milikku yang kutawarkan. Ruang kamar berukuran 4x5 meter persegi. Sangat leluasa untuk ukuran ruang sebuah kamar di kota metropolitan. Dan tak kupatok dengan harga tinggi. Kupikir daripada 'suwung' tak berpenghuni. Lebih baik kusewakan, sekalian biar ada yang merawat, sekaligus sedekah dari sosok yang ingin mencari tempat sekedar untuk berteduh.
Maka mulai saat itulah kami bertaut tak ubahnya sebagai saudara ....
"Satu porsi ya, soto daging. Dan teh manis hangat. Ehm ... sekalian kopi hitam gak apa-apa."
Aku berkata kepada pramusaji, sembari berdiri mengantre. Melihat aku yang datang, Mas Darmaji beranjak dari meja kasir sambil tersenyum menujuku.
"Di dalam saja, Mas. Jangan membaur sama pelanggan. Njenengan kan bukan pelanggan, tapi sudah kuanggap sebagai batih sendiri."
Ujarnya sangat tulus dengan setengah berbisik. Lantas aku melangkah masuk ke bilik triplek yang bersekat dengan ruang dapur. Tempat utama soto itu dimasak dan kemudian dihidangkan ke depan.
Selalu seperti ini, setiap hari aku makan di warung soto Mas Darmaji, entahlah seperti tak bosan, malah ketagihan. Sambil menunggu hidangan siap, tiba-tiba pikiranku melayang jauh ke dalam lamunan paling lubuk. Seolah menerobos hiruk pikuk para penikmat yang duduk berjejal, mereka rela melawan panas dari bias terik sinar matahari oleh atap seng yang meneduhinya. Sementara tiga kipas angin besar yang menempat di tiga tiang kayu itu seolah tak mampu mengusir gerah, mengeringkan keringat yang meleleh dari paras pun tubuh mereka.
"Betapa suksesnya Mas Darmaji sebagai penjual soto, ia sangat beruntung dalam perantauannya di kotaku ..."
Gumamku kagum. Kagum yang sebenarnya terselip bersama kekhawatiran akan usahaku sendiri yang kian hari semakin mengurus dan menuju sekarat ....!
"Mas Blue ...!"
Tepukan Mas Darmaji membuatku sadar. Aku menoleh, menatapnya dan berusaha menyembunyikan apa yang tengah kupikirkan.
"Ini buat Dek Andre ya, sangu buat beli jajan di sekolah."
Dia langsung menyelipkan amplop coklat ke saku depan kaosku, tanpa sempat aku menolak. Pertanda basa-basi, karena sejujurnya memang aku butuh.
"Enggak usah, Mas. Jangan repot beginilah," kataku sambil bangkit dan memburu Mas Darmaji yang sudah bergegas kembali ke meja kasir. Tak sempat aku mengucapkan rasa terima kasih malah, ia sudah kembali duduk di balik meja itu. Dan bersikap seolah tak baru saja memberikan sesuatu kepadaku.
Aku hanya bengong. Bagaimana harus bersikap. Lalu kubalikkan badan hendak kembali ke dalam bilik, menunggu pesanan menu datang.
Namun sesuatu kemudian terjadi ...
Diluar dugaan dan sangat mengerikan.
"Hahh ... apa itu ...?
Suara seorang perempuan yang berdiri di sisi luar meja saji dapur.
Entah bagaimana ia tiba-tiba bisa berada di tempat itu. Dengan mulut menganga, dan sepasang matanya yang tak percaya menatap. Wajahnya tampak pucat, melihat sesuatu yang ikut terangkat oleh 'irus' aluminium bergagang kayu dari tangan salah seorang penyiap soto ketika mengambil kuah dari dasar perigi.
Sebuah buntalan kain berwarna putih! Meneteskan deras kuah soto ke dalam perigi.
Mas Darmaji terkesiap, wajahnya mendadak pasi. Ia turun dan langsung berlari menuju tempat belanga yang kini masih terbuka. Mengepulkan uap sedap dari kuah mendidih menyembulkan buih-buih halus berwarna kekuningan. Tapi terlambat.
Beberapa orang pembeli terlanjur berdiri dan sempat menyaksikan 'sesuatu' yang ikut terangkat nongol dan nyangkut di cekung 'irus' aluminium. Karena gupuh, sang pekerja dapur penuang kuah tadi justru mengeluarkannya ...!
"Kurang ajar, sangat menjijikkan. Kamu bangsat ...!"
"Bajingan, penjual soto ini merendam celana dalamnya ke dalam kuah soto..."
"Najis, penipu ...!"
"Lihat, lihat itu ..."
Suara para perempuan sangat gaduh, cemas sambil mununjuk ke arah buntalan kain tersebut, dan sepersekian detik kemudian ...
"Hajaarrr saja bangsat itu ...!"
Entah siapa yang memberi komando. Tiba-tiba pria bertubuh gendut memukul pelipis Mas Darmaji, sesaat ia belum sampai untuk melintas menuju ruang dapur. Mas Darmaji terjungkal seketika. Disusul pria lain yang sangat marah dan menginjak-injak tubuh Mas Darmaji, pri lain datang kemudian, dengan umpatan kasar sembari meluapkan rasa kesalnya. Menendang tubuh Mas Darmaji berkali-kali. Mas Darmaji tersungkur, tak sempat mengaduh!
Ribut. Para pekerja Mas Darmaji tak luput kena hajar. Dari orang-orang yang kemudian cepat sekali berdatangan. Beberapa lainnya kabur menuju parkiran di seberang jalan. Meloloskan diri dari amuk pembeli, yang tampaknya sudah menjadi amuk masa. | Cerpen Kehidupan Sumpahku Empat Zaman
Dalam keadaan genting, aku menyeruak ke tengah tiga orang yang tengah memukuli Mas Darmaji. Sekuat tenaga mereka aku dorong, yang lain aku tarik. Sebisaku agar Mas Darmaji terselamatkan dari naas yang menimpanya hari ini.
"Cukuupp, hentikan! Aku petugas kepolisian. Jangan main hakim sendiri. Ia punya nyawa, jika kalian marah dan kesal jangan lampiaskan kepada si pelaku. Sebab ia yang akan dihukum! Negara ini ada hukum dan undang-undangnya ...!
Entahlah, darimana datangnya keberanianku ini. Tanpa menunggu reaksi selanjutnya dari orang-orang yang sudah kalap, aku sambar tubuh Mas Darmaji secepatnya, membuatnya berdiri lalu memapahnya keluar dari warung itu.
"Jangan macam-macam, hentikan pukulan kalian. Orang ini akan aku bawa ke pos ...!" ujarku sangat garang dan lantang. Mereka memberiku sedikit jalan. Kelihatan sangat tak rela, diiringi dengan caci maki yang tiada henti. Beberapa mulut meludahi Mas Darmaji, yang sebagian dari ludah mereka muncrat mengenai wajahku juga ...
Mereka benar-benar menumpahkan amarah dan kekesalannya.
Selanjutnya yang kuingat, orang berdatangan dengan jumlah berlipat. Para pekerja bangunan datang. Membawa linggis dan palu. Mereka lantas menjadi kalap tak terkendali setelah mendengarkan peristiwa yang baru saja terjadi. Serentak mengobrak-abrik semua perabotan dalam warung, menumpahkan kuah, memecah piring, mangkok, dan gelas, membanting kursi-kursi, menginjak-injak meja yang tertata berjajar itu. Menghancurkan kulkas dan televisi, tak luput kipas angin juga. Lalu mendongkel keempat tiang kayu penyangga. Merobohkan struktur bangunan sederhana warung yang memang tersusun dari mayoritas material kayu. Bangunan ambruk, disusul suara sumpah serapah yang keras dan bertubi-tubi.
Entah siapa yang memulai, dalam sekejap api pun borkobar! Asap membubung. Sementara semua orang beringas menatap kami berdua yang sudah duduk di atas jok sepeda motor. Aku tancap gas meninggalkan warung soto Mas Darmaji yang dilahap si jago merah, membelah arus lalu lintas jalan raya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan tempat kejadian perkara yang sudah sangat kacau.
Wajah Mas Darmaji babak belur, mengucurkan darah segar dari mulut dan juga hidung, matanya memar, dahinya benjol, baju yang ia kenakan koyak di lengan dan punggung. Melaju di atas sepeda motor yang membonceng sosok Mas Darmaji yang sudah 'klenger,' dalam perjalanan menghindar dari lampu merah agar tak menarik perhatian, aku mengambil jalan pintas lewat gang-gang dan jalan tembusan. Sampai di pinggir sawah di samping jembatan layang, kutelepon istri Mas Darmaji.
"Hallo Bu, ini saya Blue. Mas Darmaji terluka karena kecelakaan. Segera pesan taksi untuk ke rumah. Siapkan seluruh uang ibu yang ada di rumah, termasuk buku tabungan dan pakaian, semuanya masukkan dalam tas ...!"
Aku memerintah dengan keras lewat ponselku.
"Ada apa ini? Kenapa suamiku?"
Suara cemas dari seberang kudengar.
"Cepat, Bu segera pesan taksinya. Percayai saya. Saya akan sampai dua puluh menit lagi bersama Mas Darmaji!" kataku cepat menukas.
Ponsel kumatikan. Kugeber gas dari mesin motor yang memang sengaja tak kumatikan. Bergegas menuju rumah.
Sampai di halaman, istri Mas Darmaji histeris dan menangis, melihat wajah sang suami yang berlumur darah. Taksi sudah siap. Aku memasukkan tubuh Mas Jamari yang sudah terkulai lemas ke jok belakang. Tak sekalipun aku menjawab tubian tanya dari sang istri yang teramat gugup dan tak bisa mengendalikan diri di tengah isaknya. Aku bergerak cepat, dibantu oleh sopir taksi memasukkan tas-tas yang telah dipersiapkan, ke dalam bagasi. Istri Mas Jamari sudah masuk dan duduk di jok depan samping sopir sambil memangku anak perempuannya yang berusia sekitar tiga tahunan.
"Bu, bawa Bapak ke rumah sakit di kota asal ibu. Jangan bawa ke rumah sakit di kawasan kota ini. Bahaya. Apapun, Ibu harus membawa pulang kembali Bapak ke alamat asal."
Istri Mas Darmaji mengangguk pilu, sementara aku bicara kepada sopir taksi untuk membawa korban ke rumah sakit umum di kota sebelah, yang berjarak kira-kira 80 km dari kotaku, secepatnya.
Taksi berangkat, membawa tiga orang dengan satu korban penganiayaan. Penganiayaan oleh para pelanggannya sendiri. Sore pun menjelang, satu dua tetangga sempat melihat kejadian taksi yang membawa Mas Darmaji yang terluka, namun tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Nanti aku akan menerangkan kepada mereka meski dengan hati yang sangat berat.
Aku ... seperti tak percaya dengan apa yang telah kusaksikan. Sekeji itukah cara Mas Darmaji dalam berdagang? Sangat menjijikkan. Apakah ia secara diam-diam memang penganut tahayul yang kuat, padahal dalam kesehariannya Mas Darmaji seorang yang taat beribadah. Seperti sangat mustahil jika ia memang setega itu mencurangi para pelanggannya demi meraup keuntungan. Bagiku, sangat sulit untuk mempercayainya. Ya, intuisiku mengatakan sepertinya ada sesuatu yang terselubung dan gelap. Entahlah, mengapa tiba-tiba saja justru kejadian ini laksana medan magnet besar bagiku untuk menelisiknya.
Jika itu memang perihal berdagang sebuah masakan dan harus bertahan di tengah kerasnya persaingan, apakah ia memang harus melakukan semacam ritual penglaris? Atau pesugihan barangkali? Hingga membuat masakan soto 'Nikmat Lidah' milik Mas Darmaji berasa sangat istimewa dan luar biasa.
Apakah karena tuah dari benda yang terbungkus kain putih dan sempat tersangkut 'irus' aluminium bergagang kayu, hingga nongol ke permukaan kuah itukah yang membuat masakan soto Mas Darmaji sangat disukai karena mempunyai cita rasa yang begitu khas, sangat berbeda dan nikmat?
Benda apakah itu kira-kira? Mungkinlah itu sebuah jimat yang sangat dikeramat oleh pemiliknya?
Seminggu berlalu sudah sejak kejadian tragis yang menimpa Mas Darmaji. Semenjak malam pertama setelah kejadian itu hingga kini, aku dan istriku benar-benar tak percaya. Selain karena sosok yang baik dari seorang Mas Darmaji, juga tiba-tiba kami merasa seperti kehilangan saudara. Apalagi, seminggu berjalan tanpa ada kabar dari Bu Siti, istri Mas Darmaji yang juga telah menjadi karib bagi istriku. Sementara dua nomor ponselnya mendadak tidak aktif!
Di larut malam, saat aku gundah memikirkan tentang redupnya usahaku di hari esok, terdengar nada dering pesan masuk dan tercetak sebuah nama di layarnya. Mas Darmaji Soto. Dengan antusias segera kubuka dan kubaca ....
"Assalamu'alaikum Mas Blue. Maaf saya mengganggu di malam seperti ini. Alhamdulillah, kami sudah membawa pulang Mas Darmaji kemarin dari rumah sakit. Saya bersyukur nyawa suami bisa tertolong, berkat Mas Blue yang kebetulan ada di tempat kejadian. Mas Darmaji sudah bercerita banyak. Dan saya diminta untuk mengirimkan pesan ini ke keluarga Mas Blue, karena jari-jari tangan suami belum bisa digerakkan untuk mengetik dan mengirimkan pesan. ....
Kemudian masuk lagi pesan kedua,
"Mas Darmaji bilang, agar Mas Blue bersedia datang ke rumah kami. Ia meminta dengan sangat. Katanya ada hal sangat penting yang ingin ia sampaikan kepada Mas Blue secara langsung, selain kami sekeluarga menghaturkan rasa terima kasih yang tak terkira nantinya. Ini alamat rumah kami ..."
Aku segera mencatat alamat Mas Jamari. Tak gegabah jika harus mengandalkan ponsel sebagai alat penyimpan pesan. Secarik kertas yang selesai kutulisi, kulipat dan kumasukkan ke dalam dompet kulit imitasi warna hitam kesayanganku.
"Wa alaikumsallam. Alhamdulillah, Bu. Terima kasih sudah mengabari, dan kami sekeluarga sangat khawatir. Inshaalloh, besok pagi saya akan menjenguk Mas Darmaji sekaligus bersilaturahmi, semoga keadaan Mas Darmaji segera pulih. Amin, Assalamu'alaikum ..."
Kubalas pesan dan segera kukirimkan.
"Wa alaikumsallam."
Sepotong pesan masuk dengan cepat.
Malam ini, kekhawatiranku akan keselamatan Mas Darmaji terjawab sudah. Sementara malam ini istriku sudah pulas, sambil mendekap seorang bocah lelaki buah hati kami satu-satunya. Aku kecup pipi istriku sebagai pengganti ucapan selamat malam, dan esok aku tak perduli apakah ia semalam merasakannya atau tidak. Ada semacam perasaan sangat bersalah saat ... yah, mengajaknya menikah, lalu bersama mengarungi kerasnya belantara kehidupan yang seolah tak ada cerah atau berujung terang. Aku merasa sudah terlampau mengecewakan dia ....! Sangat sedih rasanya.
Kupikir tak seperti ini caranya memberikan kebahagiaan kepada seorang yang dicintai. Kupikir aku berkeluarga namun rasanya seperti sedang tersesat dalam rimba petualangan. Petualangan dalam mencari nafkah, setelah tiga kali usahaku roboh, jatuh bangkrut dengan sebab yang silih berganti dan selalu ada saja. Mungkin, kios pakan ternak dan obat-obatan unggas yang sekarang tengah kuperjuangkan, akan menjadi catatan untuk keempat kalinya. Pesimis. Semoga saja tidak, tapi entahlah. Siapa yang tahu? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Pagi hari aku berangkat ke tempat kota asal Mas Darmaji yang berjarak sekitar 80 km dari kotaku, setelah memberitahukan pesan semalam kepada istriku, dan ia ternyata memberikan izin dengan suka cita. Aku pun berangkat dengan mengendarai sepeda motor yang sudah berumur dan sangu yang pas-pasan. Maklum, kami sedang prihatin dan tengah berjuang untuk bangkit dari keterpurukan. Maka dalam hal ini ongkos tentu akan sangat kami perhitungkan, apalagi sepertinya tempat Mas Darmaji agak masuk ke daerah pelosok. Itu kuketahui setelah mengunduh peta dan lokasi dari sebuah aplikasi, pagi sebelum kami berangkat.
Hampir dua jam perjalanan, setelah dua kali istirahat untuk melemaskan urat. Sambil minum kopi dan sepotong roti, sampailah aku di kediaman Mas Darmaji. Benar, dari pusat kota rumahnya masih masuk lagi ke daerah pinggiran sekitar 15 km, dengan jalan aspal yang sudah banyak berlubang, melewati beberapa kebun pohon jati dan hampar persawahan. Tidak terlalu sulit untuk menemukan setelah dua kali bertanya kepada penduduk kampung dimana Mas Darmaji tinggal.
"Rumah Joglo"
Batinku begitu masuk ke halaman rumah yang ditunjukkan oleh orang terakhir perihal tempat tinggal Mas Darmaji. Berarti, keluarga Mas Darmaji bukan orang sembarangan dulunya. Setidaknya ada salah satu nasab yang punya strata sosial terpandang dalam kultur masyarakat Jawa. Hingga tidak saja dihormati namun juga disegani.
Kulihat Mas Darmaji menyambutku, turun dari undakan teras rumah dan berjalan tertatih dengan tangan yang masih dibalut gips. Senyumnya mengembang cerah, seperti menemukan kembali sahabat lamanya, padahal kami juga baru seminggu berpisah.
"Sudah saatnya ...!" Ia berkata lirih dengan suara gemetar parau sambil mendekapku.
Aku terkesima ....
(Bersambung)
Anak kandung rasa anak pungut
By : aiiu
Entah harus bagaimana untuk merubahnya. Segalanya telah kucoba . Menghormati mereka yang mungkin bahkan tak pernah menyebut namaku dalam setiap do'anya. Huuhh , entahlah mengapa sakit rasanya bila harus menerima keadaan yang seperti ini .
Aku anak ke dua dari dua bersaudara. Usiaku 21 tahun, aku hanya selisih 2tahun dari kakakku. Hanya aku dan kakakku. Aku lahir di keluarga yang tak terlalu agamis, namun bukan berarti kami tak berTuhan. Ya, kami mengerjakan sholat, mengaji jg tapi ya meskipun itu hanya terkadang. Ibu ku hanya seorang ibu rumah tangga. Ayahku hanya seorang pensiunan sebuah pabrik. Kehidupan kami sederhana.
Entah sejak kapan aku merasakan ini, atau lebih tepatnya sadar akan perlakuan yang berbeda. Aku merasa perlakuan ibu sangat berbeda kepadaku. Kakakku laki laki namun ia sangat diperlakukan bak raja di kerajaan. Apapun keinginannya, bahkan sebelum ia meminta, semua sudah tersedia. Enak kan jadi dia ??
"Ma, Feri mau masak mie y, pake telur 1"
"Nak, di dapur ada bakso, tadi mama belikan untuk kamu. Mama taro di dalam megicom biar hangat" ucap mama di depanku. Kami sedang menonton salah satu acara favorit kami setiap sore.
Mataku membelalak, bagaimana bisa begitu. Aku yang sedari tadi di rumah, mengobrol dengannya, tapi tak sepatah katapun keluar hanya untuk sekedar menawarkan bakso itu. Bukan berharap untuk ditawarkan, tapi apa maksudnya begitu ?? Aku anaknya bukan si ???
Huh, ku helakan nafas panjangku. Tak mau ambil pusing tentang kejadian itu.
"Astaghfirullah" ku pegang dadaku, seraya mencoba untuk berfikir positif.
Mungkin sepele, tapi entah mengapa hatiku seperti tertusuk duri kecil, sakit .
Teringat lagi masa masa dimana aku harus pergi dari rumah hanya untuk melanjutkan sekolahku. Ayah dan ibuku tak sanggup untuk membiayai sekolahku, karena saat aku kelas 2 smea, ayah terkena PHK tanpa adanya pesangon yang adil dari tempatnya bekerja. Hanya uang ucapan terimakasih saja, tidak seberapa dibanding masa kerjanya yang sudah hampir 20 tahun bekerja disana. Sedang kakakku, dia sudah tiga kali pindah sekolah karena prilakunya yang membuat orangtuaku geleng geleng (Drop Out). Tapi juga mengiyakan bahkan mengusahakan semaksimal mungkin.
Teringat lagi masa dimana beberapa hari aku harus menahan rasa sakit karena menggigil kedinginan sedang suhu tubuhku tinggi. Setiap kali berobat ke puskesmas ataupun ke dokter klinik, semua kompak bilang bahwa virus demam berdarah tengah mengidap di tubuhku. | Cerpen Kehidupan Sumpahku Empat Zaman
" Untung bapak dan ibu tepat membawa langsung ke Rumah sakit, karena mungkin dalam waktu 1 jam lagi pembuluh darah anak anda akan pecah, dan itu sangat berbahaya, bahkan mungkin kesempatan untuk bertahannya sangat sedikit. "
Ucap dokter pasca memberi tindakan kepadaku.
Harus sampai pembuluh darahku hampir pecah dalam waktu 1 jam lagi baru orangtuaku membawaku ke rumah sakit. Semua karena menunggu kakakku yang sedang ujian. OMG.
"Kamu bukam DBD kok, mungkin hanya tifus. Banyak minum air putih saja dan minum susu berua*g aj"
"Kasian kakakmu sedang ujian." ujar ibu saat masih dirumah.
What?? Bagaimana rasanya jadi aku ??
- Bersambung -