“Boy, Arga ngelamar gue loh” Ucapku berteriak sambil ku kejar Boy kemudian memeluknya. Boy Nampak kesal. Mukanya memerah. “Lu kenapa Boy?Lu sakit?” Tanyaku, tapi boy berlalu tanpa senyum.
Aku, Boy dan Arga bersahabat dari masa SMP dulu, Arga adalah kakak kelas kami. Aku dan Boy satu angkatan, tapi karena rumah Arga berdekatan dengan rumah kami, bahkan satu blok maka kami sering berkumpul dan jalan bersama. Tak ku sangka Arga memendam perasaan kepadaku dari jaman SMP, sedangkan aku baru merasakan suka kepada Arga ketika duduk di bangku kuliah, itupun setelah aku merasakan sakit hati karena putus cinta dari Dimas, ya Dimas mengkhianatiku dan berpacaran dengan Asti Sahabatku sendiri. Sejak saat itulah aku tidak pernah mau lagi mengingat tentang Dimas dan Asti. | Cerpen Cinta Kata Hati Yang Tak Pernah Bisa Diungkapkan
Tidak seperti biasanya, Boy sama sekali malas berpapasan denganku, ada apa? Tanyaku dalam hati. Apakah aku berbuat salah padanya?
“Boy, makan yuk laper nih” ajakku sambil menggandeng tangannya. Boy pasrah saja mengikutiku menuju kantin kantor.
“Eh Boy, besok gue ada tugas ke Bogor, nemenin pak Saifudin meeting sama klien, lu ikut ya gue males deh kalo Cuma berdua sama pak saifudin”. Boy diam membisu, hanya sesekali kulihat jemarinya memainkan sedotan, dinaikkan dan diturunkannya itu sedotan sedari tadi tanpa diminum sedikitpun airnya. Aku bingung, penuh Tanya melihat kelakuan Boy yang super aneh.
“Lu kenapa si Boy diem aja dari kemaren? Sebel deh gue kalo liat lu begini terus, jangan kaya cewek napa ambekan” tukasku kesal. Boy tetap tak bergeming. Tak lama Arga datang dan merangkulku, lalu duduk disebelahku. Dan kulihat Boy terus menatap Arga, wajahnya kembali memerah seperti menahan rasa amarah dan cemburu, tapi entahlah.
“Dulu katanya persahabatan kita ga boleh ada yang kawin satu sama lain, terus lu ngapain pacaran? Trus lu ngapain tuh ngelamar si Tasya?”loroh Boy penuh kesal dengan posisi duduk yang sedikit berubah dan agak tegak. Arga tak menjawab, ia hanya tersenyum. “Yaudah makanya lu buruan gandengan lu, lu ajak kawin” tukasku sinis. Boy Nampak kesal dan kemudian pergi meninggalkan kami.
“Aneh banget sih si Boy, kenapa si dia?” tanyaku pada Arga, Arga menggeleng. “Eh kesinggung kali dia barusan kamu bilang gandengannya disuruh ajak kawin, emang Boy punya cewek?” Tanya Arga, aku tersenyum dan sedikit menggeleng akhirnya kami tertawa bersama.
Kulihat Arga sedang ada di pos ronda perumahan kami, ia sedang memainkan gitar kesayangannya. Karena posisi pos ronda tepat depan rumahku, makanya pos ronda inilah yang menjadi basecamp kami bertiga. Eh tapi kemana Boy? Masih marah kah dia? Tapi marah karena apa? Aku masih bingung.
Aku turun melalui anak tangga rumahku, ada Ibu sedang menonton TV. “ Mau ke Pos ronda lagi?” Tanya ibu. Aku mengangguk. “Arga ngelamar kamu beneran gak sih?” Tanya Ibu lagi. “Emang ada bu ngelamar yang bohongan?” Tanyaku balik, malah wajahku lebih serius dari wajah ibu. Ibu tersenyum. “Ya aneh aja, tiap hari bareng bareng, sekolah bareng, kuliah bareng, kerja bareng, rumah dempetan, beneran Arga suka sama kamu?Ga bosen kah dia liat kamu terus?” Tanya ibu dengan mimik sedikit meledek, aku kesal dan mencoba menghampiri ibu sambil memanjangkan bibirku mungkin jika diukur panjangnya bisa lima centi. Ibu tertawa renyah. Akupun pamit menuju pos ronda.
Sampai pos ronda, kulihat Boy sudah duduk di samping Arga.
“Ngopi kaga lu?” Arga mencoba menawarkan kopi pada Boy, Boy mengangguk.
“Bang, bikinin satu lagi kopi item nih buat si Boy”
Lalu tak lama bang Udin membawakan satu gelas kopi hitam untuk Boy, tak lama Boy langsung menyeruput kopi hitamnya, aku tersenyum melihat Boy yang sudah duduk manis di samping Arga.
“Sini Tas, kamu mau ngopi juga?” Tanya Arga padaku, aku menggeleng. Dan duduk di tengah mereka, sedikit memaksa yang akhirnya membuat Boy harus menggeser tempat duduknya hingga mentok ke pojokkan bale bambu pos ronda. Boy menghela nafas. Masih kesal rupanya dia. Ah kesal kenapa? Akupun tak tahu.
“Cie, udah sembuh nih ceritanya” aku mencolek bahu Boy sambil meledek, Arga memukul bahuku juga dengan buku lirik lagu yang dipegangnya, tidak keras namun membuatku menoleh kearahnya dan tertawa. Boy tersenyum kecut.
“Lu abis diputusin kali boy? Makanya kalo ada apa – apa ya cerita lah sama kita, kaya kita siapa aja?” tambahku lagi. Boy masih diam seribu bahasa.
“Nanti kalo lu berdua kawin, kita masih bisa nongkrong lagi?” Tanya Boy sambil mengayun – ayunkan kakinya dari atas bale bambu.
“Yailah Boy, kita kan bertiga udah kaya sodara, meskipun gue kawin sama Tasya, kita bertiga tetap sahabatan” Ucap Arga menenangkan. Arga tak pernah cemburu melihatku berangkulan dengan Boy, memeluk Boy karena baginya itu hal biasa dan tak sedikitpun selama kami pacaran bertengkar karena Arga cemburu pada Boy. Tapi Boy yang sering marah jika aku ketauan berduaan atau jalan berdua ke mall atau ke bioskop dengan Arga tanpa memberitahunya.
“Lu kapan (Nikah) Boy? Cewe lu siapa?” Tanyaku lagi, Boy memalingkan wajahnya dariku. Aku mencoba menarik wajahnya. Ku minum kopi hitam miliknya, lalu dia menoleh.
“Kebiasaan deh si Tasya, kopi gue diminum juga, kalo mau pesen lah ke bang Udin” Tukas Boy kesal.
“Yailah Boy biasanya juga gue mah minta kopi lu atau kopinya Arga” jawabku membela diri sambil nyengir kuda.
Arga tengah memandangi foto kami berdua, dan mencoba menggunting foto kami bertiga dengan Boy. Terlebih aku ada diposisi tengah dan Boy disebelah kiriku, jadi membuatnya lebih mudah untuk memotong foto itu. Kemudian ia senyum – senyum sendiri memandangi foto kami dari waktu – ke waktu. Tembok di kamar Arga penuh dengan foto kami bertiga, separuhnya sudah dipotong, ya, Arga dengan sengaja memotong wajah Boy dari foto kami bertiga, entahlah mungkin ia berharap tidak ada siapapun sebagai orang ketiga dalam hubungan kami, meskipun itu hanya seorang Boy.
Sementara aku mencoba merapihkan kamarku, mencocokan warna tembok dengan motif sprei yang akan ku pakai. Ku jajarkan kembali boneka – bonekaku, dari yang paling kecil hingga yang paling besar. Ah boneka – boneka itu pemberian Arga, Boy dan Dimas. Dimas yang telah mengkhianati cintaku dulu, karena boneka yang ia berikan adalah karakter doraemon kesukaanku, maka itulah satu – satunya pemberian Dimas yang tidak aku buang. Ah dasar wanita. Ku lihat lagi fotoku, Arga dan Boy, aku berpikir bagaimana mungkin Arga mencintaiku? Apakah Boy merasakan yang sama? Mereka berdua adalah sahabatku, mereka berdua selalu menemaniku suka dan duka.
Terlebih Boy, aku seumuran dengannya, satu kelas dan bahkan satu bagian di kantor dengan Boy pula. Tak jugakah Boy merasakan hal yang sama? Ah sudahlah, tapi aku tak memiliki perasaan apapun pada Boy, sekarang aku hanya mencintai Arga, Arga yang akan menjadi calon suamiku nanti. Semoga kelak Boy mendapatkan istri yang pengertian seperti aku, gumamku dalam hati.
Dua hari menuju pernikahan.
Aku dan Arga akan melaksanakan akad nikah, acaranya akan digelar secara sederhana. Boy datang sesekali melihat keadaanku yang tengah dipingit. Dan juga sesekali datang ke rumah Arga, Boy tidak seperti biasanya yang ceria dan penuh canda tawa. Boy semakin murung kulihat. Aku merasa cemas padanya. Kuberitahu keadaan Boy kepada Arga, tapi Arga tak merespon, dia hanya bilang bahwa Boy merasa cemas takut kehilangan kita berdua. Takut kehilangan dua sahabatnya, padahal sedari awal sudah kami jelaskan, bahwa status pernikahanku dengan Arga tak akan mengubah rasa sayang kami padanya.
Dihari pernikahan.
Janur kuning sudah melengkung di depan gerbang rumahku, dan satu lagi melengkung di depan pos ronda. Karena rumahku dan rumah Arga terpaut tiga rumah saja. Sedangkan rumah Boy terpaut dua rumah dari rumah Arga. Rombongan besan sudah tiba, tanpa tunggu lama, aku tak melihat batang hidung Boy dari semalam, apakah Boy sibuk membantu di rumah Arga, ah mungkin. Seketika akad nikah digelar, penghulu sudah tiba, tepat jam 09.00 ijab Kabulpun dimulai, dan tak lama akupun sah menjadi nyonya Arga Riyadi Kusuma. Semua tersenyum lega, semua kulihat bahagia, tapi tidak ku lihat satu wajah, aku masih mencari dimana Boy berada.
Ketika kami naik pelaminan, Arga menggenggam erat tanganku. Kami berpose sesuai arahan fotografer. Tak lama kulihat Boy muncul, perasaanku sedikit lega, Boy mengenakan kemeja putih dengan jas berwarna hitam, ditambah dasi garis merah hitam membuatnya terlihat begitu tampan. Aku melihat sedikit guratan bekas air mata dipipinya, tapi ku colek Arga, Arga Nampak tak peduli. Boy memelukku, lalu memeluk Arga begitu lama. Lalu kami foto bertiga dengan posisi aku di tengah, ku gandeng tangan Arga disebelah kananku, dan tangan Boy disebelah kiriku, aku berpose sambil menoleh ke arah Boy, Boy tak bergeming, ia tetap diam seribu bahasa. Lalu ia turun dari pelaminan, dan berlalu. | Cerpen Cinta Kata Hati Yang Tak Pernah Bisa Diungkapkan
Malam pertama
Hatiku kacau, bukan karena ini adalah malam pertamaku dengan Arga, tapi karena aku selalu teringat akan Boy. Arga mencoba menjelaskan bahwa Boy akan baik – baik saja. Aku pun mencoba menuruti perkataan Arga dan biarkan berlalu masalah ini. Semoga Boy benar – benar dalam keadaan baik – baik saja.
Sementara di kamar Boy, Boy menangis sejadinya, ia merobek semua fotonya bertiga dengan Arga dan Tasya. Amarahnya memuncak, ia menangis dan berteriak. Wajahnya kusut, pakaiannya tak serapih ketika ia datang ke pernikahan Arga dan Tasya tadi, sprei dan bantal berserakan. “Kenapa lu tega? Lu tega ninggalin gue. Harusnya lu sama gue !!” Teriak Boy sambil memandangi wajah salah satu sahabatnya di bingkai foto yang masih menempel di dinding kamarnya. Kemudian tak lama ia banting bingkai foto itu, diinjaknya dengan penuh emosi, dan mengambil satu – satunya foto yang tersisa itu dan merobeknya. Tidak ia merobek foto Tasya, dan menempelkan foto wajahnya dengan foto Arga. Boy mencintai Arga. ya ia sangat mencintai Arga dan tak rela melihat Arga menikah dengan Tasya.