Sumpahku Empat Zaman Part 2

"Bukan hujan yang memilih kemana ia turun ke bumi melainkan anginlah, dan angin adalah rangkaian peristiwa-peristiwa." (Anonim)

Kami saling meregangkan pelukan, sekilas aku sempat menatap sorot mata Mas Darmaji yang menukik, tertinggal lantas mengendap dengan cepat di balik korneaku. Menggenapi rasa penasaran atas bisikannya yang melesak masuk ke telinga kiriku. | Cerpen Kehidupan Sumpahku Empat Zaman

Memasuki ruang tamu rumah Mas Darmaji yang luas, dengan bangunan berarsitak khas Jawa kuno. Terasa adem. Ada aura tersendiri bagiku yang terbiasa bermukim di tengah hiruk pikuk keramaian dan kesibukan persaingan kota metropolitan, selain rasa adem. Tempat tinggal yang mistis.

Empat pilar besar berbentuk empat persegi dari kayu jati, tegak menjulang perkasa menyangga struktur bangunan. Menyempurnakan kekokohan model Joglonya.

Kami duduk, dan berbasa-basi sebentar. Kemudian ia menelepon istrinya. Tak lama berselang Bu Siti, istri Mas Darmaji datang. Ia sangat sumringah melihat kedatanganku, seperti halnya sang suami. Menerima kedatanganku penuh hangat dan suka cita. Kemudian Bu Siti permisi untuk pergi ke belakang sekadar untuk membuatkan minuman.

Kali ini bagiku, Mas Darmaji kurasa tidak seperti Mas Darmaji yang sekian waktu telah kukenal. Aku merasakan ada semacam aura wibawa yang terpancar dari setiap ucapan, gerak dan tatapannya kepadaku. Semenjak diriku menginjakkan kaki di halaman rumahnya.

"Aku mengundang Mas Blue untuk datang ke rumah, bukan karena tanpa alasan. Justru ada semacam kewajiban yang secepatnya harus kukatakan, agar 'mandat' ini tersampaikan dengan sempurna."

Mas Darmaji berbicara sambil keras matanya menghunjamku, mengorek sejauh mana keteguhan dan kepercayaanku memaknai semua ucapannya. Dengan sebelah tangannya yang menyilang di atas dadanya, ia melanjutkan, "Aku mengerti bagaimana penilaian para pelangganku atas kejadian seminggu lalu, juga penilaian Mas Blue. Dan andai itu dicatat sebagai suatu fitnah oleh Tuhan kepadaku, maka sungguh sekarang juga aku akan memaafkannya. Pun itu terjadi karena semata-mata mereka memang tidak tahu, dan memang tidak boleh tahu. Sebab semua adalah perihal sebuah 'wadi keramat,' rahasia yang benar-benar harus terjaga."

"Aku sungguh tidak mengerti, Mas. Dan sejujurnya memang sempat aku berpikiran sangat buruk terhadap Mas, perihal masakan soto 'Nikmat Lidah' milik Mas Darmaji, maafkan saya ...," kataku pelan.

"Tidak apa-apa, Mas Blue. Wajar. Dan memang harus demikian kejadiannya," balas Mas Darmaji. Matanya sama sekali tak berkedip, sedikit memberi ruang terhadap mataku untuk lolos dan memandang ke tempat lain.

Mendengar keterangannya, aku semakin tak mengerti. Dari balik pintu ruang tengah kukira, istri Mas Darmaji datang dengan nampan berisi dua gelas kopi hitam dan dua piring penuh jajanan. Pisang goreng dan Onde Onde. Kemudian ia permisi kepadaku, katanya mau balik ke tempat saudaranya yang sedang mempersiapkan resepsi tiga hari lagi.

"Silakan, Mas Blue. Hanya ini yang bisa kami suguhkan."

"Terima kasih banyak, Bu. Sudah sangat berlebih. Maaf sudah merepotkan."

"Ah, tidak. Justru kami lah yang merasa banyak berhutang budi ... saya permisi dulu. Assalamu'alaikum ..."

"Wa alaikumsallam, Bu ..."

Selepas kepergian sang istrinya, Mas Darmaji menghela napas sangat dalam. Diam sesaat, kemudian kembali menatapku, seraya dengan suara yang berat ia berkata, "Tentang masakanku mengapa sangat enak dan digandrungi oleh pelangganku, Mas. Mari ikut aku ke belakang, akan aku tunjukkan ..."

Aku bangkit dari kursi, mengikuti langkah Mas Darmaji yang berjalan menyeberangi ruang tengah, menuju satu ruang besar. Tepat di sisi pojok. Sebuah kamar dengan sepasang pintu, dengan ukiran sepasang belanga dan dibawahnya ada sederet huruf Jawa yang jelas aku tidak bisa membacanya, walau dulu di sekolah tingkat dasar dan menengah ada mata pelajaran khusus untuk itu.

Kami pun masuk, kamar yang kuperkirakan sebesar 4x4 meter persegi ini, di dalamnya terdapat sebuah dipan dari kayu jati polos tanpa polesan politur dengan kasur kapuk dan sprei warna putih. Sangat terawat hingga tampak tekstur dari serat-serat di permukaannya. Di dinding ada cermin yang berbentuk oval berbingkai kayu dengan ukiran ornamen sepasang burung. Pada pojok, ada semacam bejana dari tembaga atau kuningan, aku tidak tahu pasti.

"Semenjak tiga tahun aku merantau untuk berjualan soto di kotamu Mas, rumah ini aku pasrahkan kepada seseorang untuk merawatnya," kata Mas Darmaji sambil menatap ke sekeliling ruangan.

"Ini adalah kediaman keluarga Wongso. Wongso Prawiro, beliau adalah buyutku. Menurut keterangan kakek, beliau bekerja sebagai 'abdi dalem' keraton Yogjakarta dan mengabdikan seluruh hidupnya kepada keluarga Sri Sultan sebagai ... juru masak, empat puluh tahun lebih!"

Aku semakin penasaran dengan keterangan Mas Darmaji, dan kubiarkan ia menumpahkan uneg-uneg hatinya. Mungkin ia merasa bisa lebih lega menceritakan ikhwal silsilah keluarganya, meski aku masih sangat samar kemana sebenarnya arah dan tujuan dari ucapan Mas Darmaji ini.

"Sebuah pekerjaan yang terhormat dan membanggakan karena itu hanya untuk orang 'kewahyon' saja yang bisa, dan beliau baru berhenti setahun sebelum meninggal. Dalam kurun waktu setahun itulah, buyutku rupanya bersikeras mengajari kakek untuk berdagang di pasar. Berjualan soto daging dan soto ayam kampung. Kepada puteranya yang masih bujang itulah, ia menaruh harapan besar. Dan kupikir ia telah menurunkan resep masakan keluarga keraton, yang tak seorang pun boleh tahu. Konon, saat perpisahan, Sri Sultan tidak memberikan hadiah yang luar biasa, ia hanya menghadiahi secarik resep kuno tentang masakan khusus keluarga keraton dan beberapa lembar baju untuk dibawa pulang, beserta uang dalam sekantong kain dengan cap keraton Yogjakarta. Betapa senangnya buyutku, bangga bercampur haru, meski ia sangat berat dan enggan berpisah dengan keluarga keraton tapi apa daya renta raga karena usia sudah tidak menyetujui, meski hati dan rasa berasa tak lelah untuk mengabdi. Sebuah pengabdian yang begitu luhur dan tulus."

Tenggorokanku merasa tersekat mendengar uraian dari Mas Darmaji yang begitu menjiwai kisah itu. Seolah ia terseret masuk ke dalam ruang dan waktu dimana masa buyutnya hidup, berjuang dan mengabdi.

"Terus bagaimana, Mas?" ucapku seperti sudah tak sabar.

Wongso Darmo, anak tunggal yang masih bujang itu pun mulai berjualan di pasar, dengan didampingi sang ayah, Wongso Prawiro. Keduanya adalah orang yang tekun, ulet dan jujur. Dalam waktu singkat, soto Darmo Pingkuk-begitulah orang-orang menjulukinya menjadi sangat terkenal hingga seantero pelosok dan kota, karena kenikmatan dan kelezatan rasanya yang luar biasa menurut mereka. Sehingga tak ada orang yang berbelanja ke pasar besar tanpa mampir untuk menikmati makan siang menu soto Darmo Pingkuk, milik kakekku. Dan kakekku meninggal sebulan setelah Ayahku menikah. | Cerpen Kehidupan Sumpahku Empat Zaman

Mas Darmaji membuka pintu almari kayu yang tak dikunci. Dari dalam ia mengeluarkan tiga foto hitam putih berbingkai kayu seraya berkata, "Ini buyutku, Wongso Prawiro ... dan ini puteranya Wongso Darmo!"

Kembali Mas Darmaji seperti larut dalam kesedihan.

"Yang satu ini, foto Ayahku ... Wongso Joyo. Beliau ditinggal wafat oleh ibuku saat usiaku 14 tahun, dan aku adalah anak satu-satunya. Entahlah, mengapa bapak tidak berminat menikah lagi. Ia lebih memilih untuk membesarkan aku seorang diri. Dan dari mulutnyalah aku kemudian juga diajari menerapkan resep dua macam soto itu dari kitab resep peninggalan leluhurku. Dua tahun aku berjualan soto bersama Bapak di pasar, hasilnya lebih dari lumayan. Sangat laris. Namun nasib berkata lain, dua tahun lebih tiga bulan Bapak sakit batuk. Berbaring di tempat tidur dan meninggal tiga hari setelahnya. Bapak telah menyusul ibuku dengan kesetiaanya. Mewariskan harta yang lebih dari cukup untuk hidupku, jerih payah dari hasil berjualan soto."

Aku seperti terkunci mendengar sejarah perjalanan keluarga Mas Darmaji. Meski hanya ringkas ia sampaikan, namun seperti sudah menyihirku. Melahap semua alam sadarku dan ikut terseret ke dalam semua rangkai peristiwa yang pernah terjadi.

"Dan aku, adalah keturunan terakhir yang memakai trah 'Wongso' ... Wongso Darmaji!. Aku menjadi keturunan terakhir yang memakai nama itu karena anak perempuanku satu-satunya, tidak diperbolehkan oleh istriku untuk menyematkan nama 'Wongso' di depan namanya, sebagaimana leluhurnya dahulu. Meski secara biologis ia tak terpungkiri lagi, sebagai keturunan Wongso juga.

Kami pun lantas duduk di pinggiran dipan kayu jati yang beralaskan empuk kasur kapuk alam.

"Dan ini Mas, buku resep masakan asli dari keluarga keraton Yogyakarta yang dihadiahkan oleh Sri Sultan kepada mendiang buyutku, Wongso Prawiro ..."

Sebuah buku tipis, bersampul kulit berwarna coklat tua yang sekilas seperti memampangkan guratan-guratan retak. Ada cap, simbol keraton Yogyakarta. Kitab asli milik keluarga keraton, dan aku tak pernah ragu terhadap keotentikkannya. Buku semacam ini, jelas akan menjadi salah satu obyek perburuan bagi para kolektor.

Aku tercenung, mencoba keras berpikir, "Lantas apa hubungannya denganku, seorang Blue yang datang hanya sebagai tamu undangan."

Membatin dalam pergumulan pekat pikiranku sendiri. Rupanya Mas Darmaji tanggap, akan satu kisah terakhir yang belum ia ungkapkan di hadapanku. Berdua, dalam situasi yang sakral ....

"Buyut Wongso Prawiro, pemilik awal kitab resep kuno itu mewasiatkan kepada kakekku, "Buku ini milik 'trah' Wongso. Dan ia harus diturunkan sampai ke anak cucu dan seterusnya. Yaitu, keturunan Wongso yang mempunyai anak pertama laki-laki. Jika tidak, maka kepada pemegang terakhir kitab ini harus mewariskannya kepada orang yang telah berhutang nyawa kepadanya. Berputarnya waktu, kitab ini akan mencari jodohnya sendiri, kepada siapa ia akan 'mengabdi' dan menjadikannya sebagai tuan. Pemilik terakhir tidak perlu risau, sebab alam akan membuat seleksinya sendiri ..."

Kulihat wajah Mas Darmaji menunduk. Ada sesuatu yang bergulir dari kedua sudut matanya. Lantas ia mendongak, menatapku seraya berkata, "Kitab keramat resep masakan keluarga keraton itu kini telah memilih tuannya, Mas. Dan orang itu sekarang berada di sini, sampingku ...!"

"Mas Blue, selain orang yang baik, bukankah tempo hari telah menyelamatkan nyawaku? Sementara anak pertamaku ... terlahir ke dunia sebagai seorang perempuan! Artinya, dalam empat zaman maka kali pertama, kitab ini akan diturunkan secara sah, kepada seseorang di luar 'trah' Wongso, dan ini sudah sesuai dengan wasiat mendiang buyutku, Wongso Prawiro."

Dadaku berdegup kencang seketika. Jelas sudah kini. Tapi, ini sebuah kutukan yang harus berlanjut atau memang jalan sebuah peruntungan? Aku tidak bisa memutuskan dengan cepat.

Di tengah hening dalam ruang itu, Mas Darmaji berkata lagi, "Ini weton 'Legi' dalam hari pasaran perhitungan kosmis budaya Jawa. Hari yang tepat untuk menurunkan ilmu. Ilmu apa saja. Mas Blue harus menginap, tidak bisa tidak! Nanti malam aku akan mengajari tentang bagaimana meracik dan membuat masakan dari resep dua soto ini. Sekarang belum terlalu siang, mari kita pergi ke pasar untuk membeli bumbu-bumbu dan rempah rahasia."

Mas Darmaji memasukkan tiga bingkai foto itu ke dalam almari. Selanjutnya ia mengeluarkan baju berwarna hitam, bermotif garis lurus membujur ke bawah. Sejenak, menguar wangi melati memenuhi ruangan.

"Kenakan ya Mas, ini kemeja milik buyutku hadiah dari Sri Sultan. Semacam seragam untuk para pemasak di dapur keraton ... nanti bisa dilepas seusai kita pulang dari belanja, ini memang termasuk salah satu ritualnya."

Aku bisu, hanya bisa tersenyum lantas mengangguk. Mengiyakan semua perintah Mas Darmaji, melepas bajuku lalu berganti mengenakan pakaian 'aneh' itu. Pakaian yang lebih mirip kostum adat pada pawai perayaan hari kemerdekaan.

Seterusnya Mas Darmaji seperti bersemedi. Merapal doa, mungkin lebih tepat mantra. Lantas membuka buku resep itu yang ia pangku dengan sangat khidmat, menatap lembar demi lembar kertas yang sudah lembab menguning, berterakan berbaris-baris huruf Jawa kuno. Setelah selesai ia menatapku dengan perasaan lega ....

"Kedua masakan soto itu terbuat dari sembilan jenis rempah, Mas. Jenis rempah yang harus ada, komplit! Tak boleh ada yang tertinggal atau digantikan oleh jenis rempah lainnya. Untuk jenis rempah yang sulit di dapat, belilah dengan jumlah lebih. Atau pesanlah kepada seseorang untuk mencarikannya, jenis rempah itu harus didapatkan meski dengan harga tinggi" kata Mas Darmaji menerangkan.

"Selain sembilan jenis rempah, masih ada dua jenis bahan lain yang akan kita beli, Mas. Lebih tepatnya kita pesan. Soto ini hanya menggunakan bahan terpilih yang terbaik. Dan tak bisa satu jenis bahan diganti atau dimanipulasi oleh jenis bahan yang lainnya, meski dalam keadaan darurat. Dua bahan yang kumaksud itu bukan jenis rempah ... nanti Mas Blue akan tahu. Pada penerapan dua jenis bahan terakhir inilah, aku tempo hari teledor! Membuat semuanya jadi kacau dan berantakan. Tapi sungguh, dibalik semua peristiwa itu aku memang mempercayai bahwa buku resep itu sepertinya sudah menunjuk kepada siapa ia akan 'bertuan' dan mengabdi, memberikan peruntungan dalam berdagang masakan. Seleksi alam! Maaf Mas, tidak bermaksud menyinggung usaha pakan ternak dan obat-obatan yang Mas tekuni. Kata istriku dari istri Mas Blue, tampaknya usaha tersebut sudah tidak mungkin diteruskan ..."

Ucapan terakhir dari Mas Darmaji sangat menusuk, walau aku sangat membenarkannya walau pahit. Satu kenyataan yang membuatku terseok, tidak hanya aku, tapi juga istri dan anak lelaki semata wayangku. Aku mengerti, Mas Darmaji telah menyindirku dengan kemasan bahasa yang halus.

"Baiklah, saya mengerti sekarang, Mas. Mari kita berangkat ke pasar" ujarku tak sabar. Kebuntuanku akan masa depan bisnisku sendiri, ternyata telah menuntunku untuk bertindak lebih rasional. Banting stir!

"Yups, dengan mengenakan pakaian ini Mas, nanti rasakan seperti ada yang menuntun dalam memilih bahan yang terbaik. Semacam intuisi. Tak usah khawatir misal ada pembeli yang ingin mengelabuhi Mas, seterusnya Mas akan sangat mudah mengingat kesembilan nama rempah-rempah itu, juga bagaimana cara meracik dan memasaknya..."

Kami beranjak keluar dari kamar 'khusus' itu, berjalan ke ruang tamu menuju halaman depan. Menutup pintu terluar rumah dan menguncinya. Tak banyak yang kami bicarakan kemudian. Kecuali aku bersiap membonceng Mas Darmaji, pergi ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan. | Cerpen Kehidupan Sumpahku Empat Zaman

Meninggalkan sebentar rumah 'Joglo' keluarga Wongso, yang sepertinya sudah sejak jauh hari mengucapkan selamat datang kepadaku.

Tuan yang baru dalam garis nasib 'trah' Wongso, terpilih oleh seleksi alam yang aku sendiri sebenarnya buta untuk memaknainya. Yah, terkadang banyak hal yang tak perlu dimaknai, sebab hal itu mungkin hanya butuh untuk diyakini.