“Udahlah, Sa. Abaikan aja napa?”
Suara cempreng Mona biasanya terdengar menyenangkan saat kami berduet menyanyikan lagu T2 di Inviz. Tapi kali ini desakan pada suara itu membuatku muak.
“Lu terlalu lemah, Mon,” jawabku ketus, “Lu bukan gue, sih. Coba kalo ada orang yang ngambil gambar lu gitu aja, tanpa ijin, apa lu bakal diem aja?”
“Yaelah, biasa aja keles,” Mona mulai terjangkit kemarahanku. Wajar, ia mungkin sudah lelah dengan arogansiku. Kendati demikian ia tetap satu-satunya yang bertahan saat ketiga teman kami memilih untuk bergabung dengan geng lain. | Cerpen Cinta Seorang Pria yang Pertama Menolak Cintaku
“Lagian napa sih lu segitu sewotnya ama tuh cowok?” selidik Mona di balik kacamata minusnya.
“Udah deh ah, ga usah kepoin gue mulu.”
“Habisnya lu aneh banget sih, Sa. Kemaren-kemaren kayaknya Rio bikin lu klepek-klepek. Trus sekarang lu ngamuk cuman gegara doi njepret lu yang lagi nelen bakso.”
“Rese lu, Mon.” sahutku sambil melipat tangan pada dada. Dari sorot mata cewek cupu ini aku tahu kalau dia sebenarnya mengetahui apa yang kusembunyikan dari siapapun.
Ya, kemarahanku yang dramatis memang dilatarbelakangi oleh kekecewaanku pada pemuda bernama Rio Anggara. Ia memang tidak setampan Juna, juga tidak setajir Arya. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin mengenal sosoknya lebih dekat. Namun semakin aku mencoba menyelidiki kehidupan pribadinya, semakin tampak keteguhannya untuk menutup semua dariku. Tidak hanya dariku, tetapi dari semua gadis yang tertarik padanya. Ia tidak terlihat seperti seseorang yang membutuhkan pacar, pikirku. Keakrabannya dengan Akbar mulai menimbulkan bisikan-bisikan spekulatif.
Rio sangat menyukai fotografi, bahkan cenderung menggilainya. Ia tidak pernah terlihat tanpa Nikon menggantung di lehernya. Ia hanya menanggalkannya saat pelajaran sedang berlangsung. Sebenarnya aku sebagai pengamat rahasia hasil jepretannya mengagumi setiap angle yang berhasil diambilnya secara tepat. Sebuah objek yang tampaknya biasa-biasa saja bisa disulap menjadi luar biasa di tangan Rio. Kekagumanku padanya bertambah semakin hari sehingga aku mulai merasa tidak cukup hanya dengan mengaguminya dari jauh. Dengan penuh percaya diri aku menyatakan perasaanku padanya.
Aku adalah Salsabilla Wijatmoko, puteri tunggal pengusaha intan yang hanya perlu menunjuk untuk mendapatkan apapun yang kuinginkan. Tidak terhitung berapa banyak pria yang bertekuk lutut di hadapanku. Aku hanya perlu tersenyum manis pada mereka, atau jika sedang ingin sedikit nakal, kukedipkan sebelah mataku dengan kesan menggoda. Ya, aku memang dianugerahi wajah yang mempesona, walaupun aku berharap dapat menukarnya sedikit saja dengan kecerdasan. Aku cukup payah secara akademis, namun uang selalu dapat menyelamatkanku dari rasa malu.
Rio adalah pria pertama yang menolakku. Ini luar biasa menyakitkan bagiku. Ia sudah berani menghancurkan harga diriku hanya dengan sepatah kata, “Maaf, gue ga bisa.”
Sejak saat itu penilaianku padanya berubah menjadi subyektif, sikapku berubah drastis dari seseorang yang penuh rasa percaya diri menjadi penuh kemarahan. Aku seperti bola api yang bergulir dan menghancurkan siapapun yang berada cukup dekat denganku. Rika, Agnes dan Hana mulai menjauhiku setelah aku mempermalukan mereka hanya karena masalah sepele. Mona mulai mempertanyakan kewarasanku karena aku memutuskan Yudha, cowok paling keren di sekolah yang telah kukencani selama delapan bulan terakhir. Aku juga kehilangan minat pada cowok-cowok lain yang mengejarku. Mendadak semua hidupku menjadi all about Rio. Aku selalu berusaha mencari kelemahannya dengan niat akan menghancurkan dirinya persis seperti apa yang telah ia lakukan terhadapku.
“Heh, ngelamun aja. Ngemall, yuk,” Mona mencoba membuatku melupakan kemarahanku. Sebagai sahabatku, ia tahu persis bagaimana shopping selalu dapat menjadi terapi psikis yang bagus untukku. Tapi bahkan godaan itu pun tidak berhasil mempengaruhiku saat ini.
“Eh, lu pulang duluan aja, gih. Gue masih ada yang harus diurus,” kataku padanya.
Mona menatapku curiga, “Lu ga akan ngelakuin sesuatu yang gila, kan?”
“Udah, lu tenang aja,” jawabku santai. Aku lalu berbicara pada Kang Dadang, “Ntar jemput gue agak sorean aja, sekitar jam 3.”
“Tapi, Non…” pria itu terlihat khawatir. Pastinya ia perlu mendengar alasanku untuk menjawab pertanyaan Mama saat mobil kembali tanpa aku di dalamnya.
“Bilang aja ada try out,” aku beralih pada Mona yang sudah duduk manis di belakang mobil, “Lu liat ‘kan cardigant cokelat di etalase waktu itu? Beliin gue dulu, yah, ntar gue ganti.”
Mulut Mona sudah terbuka akan mengatakan sesuatu, namun aku sudah melambaikan tangan padanya. Kupandangi kepergiannya. Mengapa aku harus melakukan hal itu? Aku selalu memerlukan tumbal untuk kemarahanku. Sekali-sekali mungkin parasit seperti dirinya harus diberi pelajaran, bisik hatiku yang tampaknya telah kehilangan kemampuannya untuk mencintai. Aku tahu alasan Mona bertahan bukan karena ia menganggapku sebagai teman terbaiknya, melainkan sebagai kartu kredit baginya. Setiap kali kami pergi berbelanja, atau sekedar makan di café, Mona tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun. Ia juga biasa diantar pulang oleh Kang Dadang. Ia rela menelan segala makianku yang kadang tak terkendali padanya demi tumpangan gratis, sepasang branded stiletto, atau tas yang tak mungkin dapat dibeli ibunya yang notabene hanya seorang penjahit.
Aku berbalik pergi untuk mencari sosok Rio dan menumpahkan segala kemarahanku padanya. Aku tahu di mana harus menemui cowok itu. Langkahku mendadak dihentikan oleh Yudha. Hedeh, ini lagi! Bisa kutebak apa yang akan ia bicarakan denganku.
“Sa, kita perlu bicara,” tuntutnya.
“Apalagi sih yang harus dibicarakan? Semuanya udah jelas. It’s over.”
“Lu mutusin gue gitu aja. Salah gue apa? Selama ini gue selalu nurutin apa yang lu mau. Lu minta gue out dari amor, gue lakuin. Lu minta gue make leontin dengan nama lu kemana-mana, ga peduli orang pada ngetawain, gue terima selama itu bisa bikin lu seneng. Gue dijauhin ama temen-temen karena lu ga suka gue hang out ama mereka, gue ga complain. Do you know why? 'Cause you’ve made my life complete, Sa. Selama ada lu, gue ga butuh apapun.”
Seandainya aku adalah Salsabilla yang ia kenal dulu, mungkin hatiku akan terenyuh mengetahui ketulusannya. Namun sayangnya, hatiku telah mati. Rio telah menyiramkan racun pada taman bunga cinta di hatiku, tanpa menyisakan sekuntum pun.
“So what? Gue ga pernah maksa lu lakuin semua itu, kan?”
Yudha tergugu. Cowok manis itu menyadari kebenaran dalam ucapanku dan aku tahu aku baru saja menghancurkan hatinya menjadi kepingan-kepingan kecil penuh luka. Tapi aku tidak peduli. Tidak ada yang lebih penting bagiku saat ini selain membuat Rio merasakan seperti yang aku rasakan. Aku tak akan pernah membiarkan orang menyakitiku. Jika mereka menggores lenganku, maka aku akan membalasnya dengan memotong tangan mereka.
“Tapi gue masih sayang banget ama lu, Sa. Please, give me one more chance,” Yudha memohon.
Saat aku tak menunjukkan reaksi apapun atas aksinya tersebut karena perhatianku sedang tertuju kepada Rio yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan, Yudha memutar tubuhnya. Beberapa detik kemudian ia bertanya padaku dengan nada tinggi, “Jadi semua ini karena dia???”
“Jangan norak gitu dong, Yud.”
“Jadi bener yang selama ini gue denger. Lu terobsesi ama cowok kampungan itu.”
Aku keberatan dengan kata ‘obsesi’ itu. Mendadak sebuah ide melintas di benakku. Aku menatap Yudha yang tampak sangat marah dan berkata lirih padanya, “Pake logika, Yud. Doesn’t make sense kalo gue tertarik ama cowok kayak Rio, apalagi sampe terobsesi. Najis ih.”
“Trus napa lu trus mandangin dia?” tanya Yudha masih jengkel.
“Mona demen ama tuh cowok,” jawabku berbohong.
Walaupun terdengar absurd, di luar dugaanku Yudha malah berkomentar, “Haha, gue ga heran. Mereka emang pasangan yang klop banget. So, lu mau nyomblangin mereka berdua? Trus apa hubungannya dengan mutusin gue?”
Aku memutar otak dan menemukan jawaban secepat kedipan mata Yudha, “Lu tau kan gimana ribetnya si Mona? Gue sampe kehilangan nafsu makan gegara kasus ginian.”
Tidak heran mereka yang mengenalku dengan baik memanggilku Drama Queen. Anehnya Yudha begitu mudah dibuat percaya oleh kebohonganku yang jika dinalar tidak masuk akal. Sejak kapan seorang Salsabilla sudi mengesampingkan urusan pribadinya demi orang lain?
“Lu ga boleh menyiksa diri kayak gitu,” ujarnya lembut, berusaha menghangatkan wajah dan hatiku seperti yang dulu biasa ia lakukan setiap kali aku mengeluhkan pertengkaran Mama dan Papa yang mampu membunuh nafsu makan serta kenyamanan tidurku.
“Yud, sebenernya gue butuh bantuan lu.”
Aku mulai melancarkan strategiku. Sengaja kubuat suaraku selembut mungkin, dengan pandangan yang sanggup meluluhkan kekerasan hati pria manapun.
“Just say it, Sa. Apa sih yang ga gue lakuin demi lu?” Yudha terlihat sumringah menyadari bahwa dirinya masih menjadi tempat bersandar yang bisa diandalkan olehku. Cinta memang gila. Juara kelas ini bahkan tampak dungu di hadapanku.
Aku mulai menguraikan sebuah kisah yang kutulis dalam versiku. Tentunya menempatkan Rio sebagai tokoh antagonis dengan aku sebagai korbannya. Untuk membuat ceritaku lebih meyakinkan, aku menambahkan kekhawatiranku jika hal yang sama akan menimpa Mona yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Sambil terisak di pundaknya, aku menutup kisahku dengan berkata, “Lu cuman perlu menghancurkan kamera itu, Yud. Cuman itu yang gue mau supaya ga ada lagi cewek yang jadi korban kebejatan cowok mesum itu.”
Bisa kurasakan guncangan pada tubuh Yudha yang geram mengetahui pelecehan yang dilakukan oleh fotografer kampungan itu. Sambil mencoba menenangkanku ia berkata, “Gue bakal membuatnya lebih buruk lagi, Sa. Gue janji tuh bajingan bakal nyesel udah menghina lu. Gue janji. Sekarang jangan nangis lagi, ya?”Seperti akhir dari drama yang kuharapkan, plotnya mengalir sempurna. Yudha memukul wajah Rio dan menghancurkan Nikon milik cowok itu. Dari garis samar yang tampak di wajah Rio, aku segera tahu bahwa bukan luka pada wajah itu yang menyakitinya, bukan perlakuan itu yang membuatnya marah. Menyaksikan bagaimana benda itu hancur di hadapannya seperti seorang pelukis menemukan lukisannya terbakar, atau pemahat yang menjadi gila oleh vandalisme atas mahakarya patungnya. Itulah apa yang kulihat dari Rio untuk terakhir kalinya di hari itu.
Satu hal yang tak dapat kulupakan adalah saat kedua mata Rio menatapku. Seperti ada kobaran api yang akan melahapku. Saat kupikir pembalasan itu menjadi sepadan, justeru aku merasakan sensasi aneh di hatiku. Entah bagaimana aku seolah dapat merasakan lukanya. Luka yang sangat dalam dan terlalu sulit untuk pulih. Tatapan terakhir itu…tiba-tiba aku berharap dapat memutar ulang waktu hanya demi merobek kebohongan kejam yang telah kutulis, lalu melemparkannya pada wajahku sendiri.
Keesokan harinya aku tak melihat Rio, begitu pula dengan hari-hari selanjutnya. Aku mencoba percaya bahwa setelah apa yang terjadi, mungkin cowok itu memutuskan untuk pindah sekolah. Yudha semakin sering mengekorku dan hal itu membuatku semakin kesal. Namun aku harus bersikap baik padanya demi melindungi nama baikku. Jika berita mengenai insiden pemukulan itu sampai bocor ke telinga siswa lain, maka bukan tidak mungkin namaku pun akan dilibatkan. Sampai saat ini rahasia itu tersimpan bersama kami. Tidak ada tanda-tanda laporan dari Rio atas apa yang menimpa dirinya. Case closed, simple as that.
Aku masih diburu oleh rasa penasaran mengenai hilangnya Rio dari peredaran. Bahkan aku mulai membuka akun facebook-ku kembali dan mulai stalking kronologinya. Karena Rio mengatur akunnya untuk publik, maka aku masih dapat memantau aktivitasnya sekalipun ia telah kuhapus dari daftar pertemanan tepat setelah penolakan itu. Entah Rio menyadari hilahgnya namaku dari daftarnya atau tidak. Sekalipun ia tahu, pikirku, mungkin tak akan mempengaruhinya sama sekali.
Sudah tiga hari ia tidak mengunggah foto apapun. Tentu saja. Yudha sudah menghancurkan kamera dan merusak roll film di dalamya. Mungkin Rio belum memiliki uang untuk membeli yang baru. Aku merasa perih. Mengapa kau harus menjadi sekejam ini, Salsabilla? Kau bukan Tuhan yang berhak mengatur kepada siapa hati manusia berlabuh. Adakalanya kau harus merelakan sesuatu yang tak bisa kau miliki. Wake up, Sa! Ga semua bisa dibeli dengan uang.
Samsung S7 milikku bergetar. Yudha menelepon. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Cowok itu belum menyerah untuk mencoba terus menghubungiku. Ini hari Minggu dan pasti ia hanya ingin mengajakku keluar. Sebuah pesan masuk. Dari Yudha. Harus kuakui bahwa cowok ini adalah pejuang tangguh. Ia tak pernah menyerah demi memenangkan hatiku kembali.
Aku merasa langit seperti runtuh yang mana aku terjebak di antara puing-puingnya. Kubaca isi pesan itu sekali lagi, mencoba percaya bahwa semua itu tidak nyata. Aku menelepon Yudha yang dengan segera menjawab panggilanku, mempertanyakan kebenaran dari berita yang dibaginya padaku. Ia membenarkan dan sebelum sempat mengucapkan yang lainnya, aku mengakhiri panggilan lalu melemparkan tubuhku pada ranjang dan menangis. God, wish I could turn back time, batinku perih.
Menghadiri prosesi pemakaman Rio seperti sedang menginjak tanah berduri, setiap detik begitu menyiksa. Mona yang mengetahui perasaanku sebenarnya mencoba menguatkan diriku. Tak kupedulikan tatapan janggal orang-orang di sekelilingku yang tak pernah mengenalku dalam kehidupan Rio namun melihat bagaimana aku menangisi kepergiannya seperti orang gila. Yudha membujukku untuk pulang dan kutolak dengan kasar. Cowok itu tak ingin aku mempermalukannya lebih hebat lagi sehingga memutuskan untuk pergi bersama teman-teman yang lain.
Sampai akhirnya hanya tersisa aku dan beberapa kerabat Rio yang melayat. Seorang wanita paruh baya menghampiriku dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku merasakan getaran aneh yang belum pernah kurasakan selama ini. Mama tak pernah memelukku seperti yang wanita ini lakukan padaku.
“Jadi kamu yang bernama Salsabilla?” wanita itu melepaskan pelukannya dariku dan menatapku dengan kedua matanya yang sembab.
Darimana ia mengetahui namaku? Teman-teman tidak memanggilku dengan nama lengkap. Namun aku tak menanyakan perihal itu dan hanya mengangguk. Ia membawaku masuk ke kamar puteranya. Lagi-lagi aku merasa heran. Mengapa wanita itu ingin aku melihat barang-barang peninggalan Rio? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Pertanyaanku segera terjawab saat pintu kamar itu dibuka. Kupandangi dengan takjub sekaligus perih dinding kamar sempit itu. Sulit dipercaya aku sedang melihat foto diriku dalam jumlah tak terhitung banyaknya di sana. Terlihat bagaimana foto itu diambil dari tempat yang cukup jauh, walaupun ada pula yang menyorot wajahku dengan cukup jelas. | Cerpen Cinta Seorang Pria yang Pertama Menolak Cintaku
Nyonya Anggara berkata kepadaku, “Rio tidak pernah menyukai fotografi sebelum ia divonis menderita kanker otak. Penyakit itu menghancurkan perasaannya namun tidak dengan semangat hidupnya. Ia bertekad untuk tidak melewatkan momen apapun, mencoba merangkai keindahan alam dan makhluk ciptaan-Nya sebelum kehilangan kemampuan melihat itu semua. Ia tahu hanya masalah waktu sampai warna-warna itu berubah menjadi hitam.”
Aku merasa lidahku kelu. Tubuhku lemas seperti jelly. Sambil menghimpun segala kekuatan untuk tidak memecahkan tangis, aku bertanya padanya dengan suara bergetar, “Rio…jadi Rio meninggal karena kanker otak, Bu?”
Wanita itu mengangguk. Mendung di wajahnya semakin terlihat nyata, tak lama lagi akan membentuk riak-riak hujan di pipinya yang cekung, “Ibu hanya berharap waktu memberinya kesempatan untuk bisa merasakan kehidupan seperti apa yang orang-orang itu miliki. Bahkan seseorang yang usianya hanya tersisa dalam hitungan jam pun berhak untuk merasakan cinta, bukan? Rio tidak memiliki keberanian untuk memperjuangkan cintanya. Ia memilih menyimpannya untukmu hingga akhir hayatnya. Ibu tak pernah tahu apa yang kamu lakukan padanya. Tetapi apapun itu, ibu hanya ingin berterima kasih kepadamu karena telah memberikan warna di sisa-sisa hidupnya. Kamu pasti memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki gadis lain, Salsabilla.”
Suara itu seperti datang dari tempat yang jauh. Pandanganku berkabut dan untuk pertama kali dalam hidupku, aku mengucapkan kata yang kuingkari selama bertahun-tahun, bahkan orang tuaku pun tak kuasa memintanya dariku.
“Maafkan aku. Maafkan aku…maafkan aku.”