Berawal dari permintaan pertemanan yang kulihat di facebook hari itu. Dengan foto profile yang terlihat cantik, membuatku sedikit ragu. Apa itu wajah aslimu? Atau hanya sekedar foto kau ambil dari google seperti kebanyakan akun palsu. | Cerpen Romantis Semua Kisah Ini Tentang Kamu
Setelah beberapa hari, aku menerima permintaan pertemanan itu. Lalu dapat kulihat isi timeline yang dipenuhi status menyentuh tentang kata-kata cinta bahkan kata-kata lucu. Membuatku tersenyum dan hampir tak percaya. Gadis secantik ini, jarang sekali punya pemikiran mengagumkan sepertimu.
Tak ada kata 'terimakasih konfirmasinya' atau yang semacamnya itu. Bahkan sepertinya kau tak acuh melihat kita sudah menjadi teman sekarang.
Penasaran, pagi itu aku mengirimkan pesan.
[Hai.] Tulisku.
Tak lama kau membalas, [Ya,]
Sejenak aku bingung harus mengatakan apa. Karena aku memang bukan orang yang suka chat di inbox dengan 'teman baru' yang masih asing. Biasanya, gadis-gadis itu yang bertanya lebih dulu.
[Nanti malam bisa chat nggak? Kalo siang aku sibuk.] Tulisku akhirnya.
Karena setelah lulus kuliah, aku memang langsung bekerja di toko ayah. Bukan pekerjaan yang berat, hanya sebatas duduk dan mengawasi para karyawan. Sementara masalah administrasi dan yang lainnya masih dipegang oleh ayah.
[Aku nggak online sampai malam,] jawabmu.
[Kenapa?]
[Banyak cowok brengsek yang suka nginbox macem-macem.]
Ada senyum tersungging di bibirku saat membacanya. Entah kenapa sikap tegasmu membuatku semakin menyukaimu.
[Oke,] sahutku singkat.
Dan itu jadi akhir chat kita di hari pertama.
Setiap hari, timeline-ku penuh terisi status darimu. Dan juga foto. Ya, kau memang salah satu gadis narsis yang ada di facebook. Sayangnya, kau cantik, jadi tidak ada satupun kata buruk yang menghampiri komentar.
[Cantik,] pujiku suatu kali.
[Makasih.]
[Punya pacar?] Aku juga heran kenapa bisa bertanya langsung seperti itu. Memalukan.
[Hmm.] Kau tak menjawab, dan bagiku itu cukup sebagai tanda kau memang sudah punya kekasih.
Sedikit kecewa memang, tapi aku berusaha tak peduli. Memangnya siapa aku? Bahkan kita tak saling bicara.
Tapi, semenjak jawabanmu yang seperti itu, aku jadi sering mengecek kolom komentar di setiap status dan fotomu. Sibuk mengira-ngira, mungkin di antara puluhan komentar pujian itu ada yang kau balas lebih mesra. Tapi ternyata tidak, semua sama.
Bulan berganti, aku merasa semakin menyukaimu tanpa mengatakannya. Kadang aku mengupload foto hanya untuk menarik perhatianmu. Dan saat kau memberi komentar, itu menciptakan senyum lebar di bibirku. Aku jatuh cinta? Entahlah, mungkin iya. Tapi aku baru putus dari seseorang belum lama ini. Jadi kupikir lebih baik aku memang tidak terlalu cepat memutuskan untuk jatuh cinta lagi.
Hingga akhirnya suatu hari, aku bisa membuka percakapan yang menarik, bagimu. Itu tentang traveling. Kau sangat antusias menanggapinya.
Ternyata kau memang berbeda. Bukan hanya wajahmu yang terlihat cantik dan pemikiranmu yang sedemikian menarik. Kau bahkan suka hal-hal berbau petualangan meski itu hanya sebatas imajinasimu. Karena kenyataannya kau hanya seorang anak gadis yang terkurung di rumah.
Dari situ kita mulai chat setiap hari. Menceritakan apapun yang terlintas di pikiran dibumbui dengan canda konyol. Kau lebih banyak bercerita dibanding aku. Tapi aku sangat menyukainya. Kau membuat hariku lebih menarik dengan cerita-ceritamu.
Dan aku, jatuh cinta.
Suatu hari, aku bertanya padamu.
[Hei, aku mau cerita.]
[Apa?]
[Aku jatuh cinta.]
[Oh ya? Sama siapa?] tanyamu. Tapi entah kenapa, saat itu aku merasa kau sedang tersenyum karena sudah tau jawabannya. Aku tau kau memang sepintar itu.
[Nanti, biar aku bilang ke dia lewat telepon.] Jawabku.
Lalu kutekan nomor teleponnya.
Aku menyatakan cinta padanya lewat telepon. Kudengar suaranya sedikit gugup, tapi ada tawa kecil yang menghiasi setiap kata-katanya. Walaupun dia bilang minta beberapa hari untuk berpikir, tapi entah kenapa aku sudah bisa menebak jawabannya.
Dia juga menyukaiku.
Hari-hari berganti. Kita sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Bahagia? Pasti. Hampir setiap malam sebelum menjelang tidur aku memikirkanmu. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya walau aku telah beberapa kali berpacaran.
Kamu bisa membuatku jatuh cinta setiap hari. Dan perasaan ini begitu hebat.
Lalu saat kita mulai mengingat-ingat kenangan yang lalu, aku bertanya. Darimana kau tahu aku hingga mengirimkan permintaan pertemanan?
'Aku melihatmu beberapa bulan jauh sebelum mengirim permintaan pertemanan,' jawabmu.
[Oh ya? Dari mana?]
[Dari sejak aku ngeliat kalian mengubah status singel jadi pacaran.]
Aku terdiam. Itu artinya pertama kali kau melihatku saat aku mengumumkan status pacaran di facebook dengan gadis yang sekarang telah menjadi mantan. Aku tahu gadis itu ada dalam friendlist-mu. Karena saat kau mengirim permintaan pertemanan, aku melihatmu sebagai mutual friend darinya.
[Aku menyukaimu saat itu. Sejak pertama kali melihat fotomu duduk di atas motor dengan baju berwarna biru. Tapi saat itu, foto itu bersanding dengan foto temanku, haha.]
[Ya, kami baru saja pacaran saat itu.]
[Mungkin ini jahat, tapi aku menunggu kalian putus saat itu. Dan lebih jahatnya lagi, ada rasa senang saat melihat kalian mulai bertengkar. Maaf.] Kau mengakui.
[Kenapa minta maaf? Kami putus bukan karena salahmu. Bahkan kita sama sekali belum saling mengenal. Kamu kirim permintaan pertemanan juga setelah aku putus sama dia.]
[Aku nggak mau jadi perusak hubungan orang. Karena itu aku hanya menunggu.]
[Kamu tau apa yang membuat kita merasa berharga?] Aku tersenyum, [saat kita tau ada seseorang yang tidak kita kenal, menunggu dengan setulus hati.]
[Ya, waktu itu yang aku lakukan memang cuma menunggu. Lalu membuatmu tertarik dengan caraku sendiri.]
[Aku jatuh cinta pada caramu membuatku jatuh cinta.]
Aku merasa kami sedang saling tersenyum saat itu.
[Oh ya, boleh aku tanya sesuatu?] tanyanya.
[Ya,]
[Kenapa kalian putus? Aku liat status-status dia penuh kesedihan, dan kayanya kamu yang putusin?]
Aku menarik napas, [Mungkin kami memang nggak cocok. Dia terlalu cemburu sampe-sampe aku ngerasa nggak bisa napas.]
[Ohh,] dia menyahut. [Beberapa kali dia menyebutmu player.]
[Aku tau. Terserah jika dia dan orang-orang berpikir buruk tentangku. Setiap hari kami bertengkar karena hal sepele. Lalu aku berpikir, hubungan seperti ini, apa bisa diteruskan? Tanpa rasa percaya. Padahal itu yang paling penting.]
[Ya, itu benar.]
[Aku harap hubungan kita akan baik-baik aja,]
[Ya, tentu saja. Tapi pertama-tama, kamu harus remove dan blok semua cewek yang suka komen genit di foto kamu. Trus kasih password fb nya ke aku!]
Ups!
[Hahaha!] Akhirnya kami tertawa.
Lalu aku menulis status.
'Jangan memaksa mengubah seseorang menjadi lebih baik untukmu, karena saat kau benar-benar bisa membuatnya jatuh cinta, dia yang akan mengubah dirinya sendiri bahkan jauh lebih sempurna dari apa yang kamu pinta.'
Kemudian kulihat komentarnya.
'Bahkan seorang player pun bisa berubah menjadi sosok paling setia saat dia telah menemukan cinta sejatinya.'
Beberapa saat kemudian aku merasa lapar dan keluar dari ruangan kerja. Saat itulah aku baru menyadari, bahwa hampir semua karyawan sedang sibuk dengan hape masing-masing karena merasa tak diawasi.
"Patrick!" Ayah melotot kesal.
Kita menghabiskan waktu seharian dengan chat. Anehnya kita tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
Ketika membicarakan cinta mulai membosankan, kita beralih ke hal-hal lucu, lalu ke hal serius seperti politik, dan pemikiran kita mengenai film, musik, bintang, alien, dan semacamnya. Kamu adalah teman chatting paling menyenangkan yang pernah ada. Lebih dari itu, kau kekasih yang sempurna.
Seringkali kita bicara di telepon dan vicall. Sesekali kau bicara pada ibuku, dan kadang adik perempuanku diam-diam meneleponmu setelah kumarahi. Anak itu memang senang sekali mengadu padamu. Dan tentu saja kau membelanya, karena kau belum tahu betapa manjanya dia.
Hingga suatu hari aku menulis status yang khusus kutujukan untukmu.
'Ketika seorang laki-laki mulai serius menjalani hubungan, dia tidak berpikir untuk memberi boneka, coklat, atau bunga. Tapi nama belakangnya.'
Dan kutulis nama belakangku pada namamu.
Ya, aku mulai berpikir serius tentangmu. Aku merasa telah menemukan sesuatu yang disebut belahan jiwa, dan itu kamu.
Aku ingin menikahimu.
Dengan tawa bahagia kau bilang setuju. Hari itu aku seperti terbang ke angkasa.
Setelah itu, hari-hariku dipenuhi dengan bayangan tentang masa depan kita. Saat kita tinggal di dalam rumah yang sama, tidur di satu ranjang yang sama, dan membesarkan anak-anak bersama.
Bukankah itu terdengar seperti surga yang nyata?
Setelah itu, aku mulai bersiap. Mempersiapkan segalanya untuk sebuah pernikahan yang mulai kita rencanakan. Bahkan kita sudah memutuskan kapan tahunnya.
Kusiapkan tabungan untuk kita. Setiap bulan aku bahkan meminta gaji lebih banyak dari seharusnya pada ayah. Kadang ayah sedikit mengomel mengingat apa yang kukerjakan hanya konsentrasi pada ponsel hingga kadang melupakan para karyawan.
Hanya saja dia mengerti.
Hingga tiba satu hari sebelum keberangkatanku ke kotamu. Kamu menelepon. Bukan untuk menyampaikan rasa bahagia atau rasa tak sabar menunggu, tapi mengatakan hal yang sama sekali tak ingin kudengar.
Kamu bilang, orangtuamu tak setuju. Mereka tak menginginkan kedatanganku. Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk meminta restu. Saat aku bertanya kenapa? Akhirnya kau mengaku hal yang selama ini kau sembunyikan. Bahwa kau telah dijodohkan sebelum kita saling mengenal.
Remuk? Pasti.
Terasa seperti jatuh dari ketinggian, terhempas, lalu hancur berkeping-keping. Tak berbentuk lagi.
Kamu menulis kata maaf berkali-kali. Hanya saja aku sudah tenggelam dalam isakan tertahan di ruang kerja yang tertutup rapat.
Lalu lampu hijau itu kemudian mati.
Esoknya, dan keesokan harinya lagi, namamu tak lagi terlihat dalam barisan on line. Berminggu-minggu, hingga berbulan kemudian kau menghilang. Bahkan nomor teleponmu pun tak aktif lagi.
Lalu kudengar kabar tentang pernikahanmu.
Kau tau apa yang menyakitkan? Bahwa aku telah memberikan sebagian jiwaku padamu, dan saat jiwa itu kau bawa pergi, ada sesuatu yang kosong di dalam sini.
Ditambah pertanyaan-pertanyaan mereka tentangmu, tentang kita. Apa yang harus kujelaskan? Bahwa ternyata kau harus menikah dengan yang lain? Bahwa kita tak mempunyai takdir untuk bersama? Atau bahwa media sosial adalah tempat terkonyol untuk mencari pasangan hidup?
Entahlah, yang kutahu, aku merasa mati.
Beberapa waktu kemudian, aku mulai terbiasa. Terbiasa mengawali hari tanpa ciuman selamat pagi, melalui siang tanpa cerita dan canda tawa, lalu menutup malam tanpa kecupan dan doa agar hidup bersama.
Semuanya kembali ke awal.
Hari-hari dimana aku menjalani aktivitas membosankan seperti semula.
Hingga suatu hari, kulihat lampu hijau itu kembali menyala. Terdiam, aku hanya menunggu.
[Hai.] Sapamu.
Kau benar-benar datang lagi.
[Ya.] Jawabku, dengan gemuruh dalam dada. Antara kerinduan, dan rasa tak percaya. Mungkin terdengar bodoh, tapi memang itu kenyataannya.
Kadang cinta yang terlalu hebat, malah terlihat seperti kebodohan di mata yang lain.
Hanya saja, aku tau di mana batasanku. Kita memang bicara, tapi kembali seperti dua orang asing yang baru saling menyapa. Kau tak lagi memanggilku Bacha, dan aku tak memanggilmu Sohna.
Karena kita, tak lagi punya hubungan apa-apa.
Lama kita tak saling bicara, lama tak saling menyapa. Di sini aku terlihat baik-baik saja. Masih menjalani hari dalam sebuah kotak dengan rutinitas yang sama. Hanya bedanya, aku tak berbicara dengan siapa-siapa.
Bahkan padamu.
Karena tak kau beri kesempatan pada kita untuk tetap saling bicara. Kau menjauh, dan aku hanya berdiri di sini. Berusaha menyibukkan diri.
Kadang, terbersit tanya di kepalaku. Di sana, di duniamu yang baru, pernahkah kau mengingatku? Mengingat tentang kita? Mengingat janji-janji yang hampir setiap hari kita ucapkan dulu, saat masih bersama?
Pernahkah?
Aku tidak menganggapmu berdusta. Aku tak menganggapmu mengingkari semua janji. Aku anggap ini semua sebagai takdir. Bahwa kita memang tak berjodoh. Kita hanya pernah dipertemukan di jalan takdir yang sama.
Hari ini, entah kenapa rasanya aku merindukanmu. Mungkin karena semalam tiba-tiba aku bermimpi. Melihat wajahmu setelah sekian lama, rasanya berbeda. Kau terlihat cantik. Rona bahagia di wajahmu tampak nyata. Hanya saja, ada bulir airmata di sana. Kau menangis, di atas indahnya senyum.
Ada apa?
Sejenak aku terdiam, memangnya kenapa? Apa yang terjadi padamu bukanlah urusanku. Kau punya seseorang kepada siapa kau bisa menumpahkan kesah. Begitu kan, Sohna?
Tapi, ternyata perasaanku memang terlalu lemah. Jika itu tentangmu.
Akhirnya, dengan jemari sedikit bergetar, aku membuka chat lama kita. Men-scroll ke atas, membaca ulang kata demi kata bertahun lalu. Ada kebahagiaan, ekspresi lucu, kerinduan dan rasa cinta yang begitu besar. Hingga sampai pada chat terakhir, dimana kau tulis kata maaf dengan emot airmata tertumpah.
Dan aku ... tak membalasnya, bukan karena aku tak memaafkanmu. Tapi karena saat itu ... tangisku bukan sekedar emot. Airmata benar-benar tertumpah dari kelopak mata ini. Dengan dada terasa sesak dan pandangan yang kabur serta jemari gemetar hebat, mana mungkin aku bisa membalas. Ya kan, Sohna?
Degub jantungku seketika menghentak, saat tiba-tiba kulihat lampu hijaunya menyala.
Sohn? Apa kau merasakan rindu yang sama?
[Bacha, kau di situ?]
Ada pesan masuk.
Benar, dia datang! Sejenak aku hanya terdiam. Pengecut memang. Tapi .., bicara denganmu sekali lagi akan menghancurkan apa yang sedang kuusahakan selama ini.
Melupakanmu.
[Bacha, aku tau kamu di situ :( ]
Itu caramu. Caramu memaksaku untuk menjawab. Karena kau tahu aku tak suka saat kau memakai emot sedih itu.
[Ya, aku di sini. Apa kabar?] Akhirnya aku membalas.
[Baik. Kamu gimana?]
[Baik juga. Lagi ngapain?]
[Pengen liat kamu :D ]
[Haha, oh ya?]
[Beneran.]
Aku tersenyum. Masih semanja dulu. Caranya bicara padaku, sedikit pun tak berubah. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku merasa suasananya senyaman dulu.
Untuk beberapa saat, kami banyak bercerita. Lalu aku mulai tertawa saat dia mulai membuat lelucon konyol dari pembicaraan kami. Kemudian, mulai muncul perasaan lama yang bangkit kembali. Semakin membesar di setiap detiknya. | Cerpen Romantis Semua Kisah Ini Tentang Kamu
Hingga akhirnya aku menyadari, ada sesuatu yang berbeda pada foto-foto terakhir yang dikirimnya.
[Hei, Sohna]
[Ya, Bacha?]
[Aku tau kamu nggak suka makan sayur. Tapi, sebaiknya sekarang kamu harus banyak makan buah dan sayur. Jangan kebanyakan makan makanan fast food. Minum Vitamin. Dan jaga kesehatan ...]
Sesuatu menetes dari sudut mata saat mengetik kata-kata itu. Pelan, aku mengusapnya dengan punggung tangan.
Agak lama dia terdiam.
[Makasih, Bacha ...] akhirnya dia membalas. [Aku ... cuma kangen. Aku tau saat ini udah bikin kamu sedih lagi. Maaf, Bacha.]
[Haha, nggak papa. Ya udah, aku agak sibuk sekarang. Take car.]
[Take car, 'coz car is more expensive than bike. Na? :p ] seperti biasa, dia membuat lelucon saat aku mengetik kata yang salah.
[Hahahaha ...]
Aku tertawa. Tertawa, hanya saja airmata semakin banyak menggumpal di kelopak mata. Lalu kulihat lampu hijaunya mati.
Dia sedang hamil. Pernikahannya sudah membuahkan hasil.
Pelan, aku mengusap gumpalan air di sudut mata dengan ujung jari.
Lalu tersenyum, dan bertanya pada diri sendiri. Kenapa merasa aneh dengan keadaan menyedihkan ini? Bukankah hati yang lebih mencintai adalah hati yang paling sering tersakiti?
Ya kan, Sohna?
When you said goodbye
I was smiled
I wasn't cry
I just let u walked away
I didn't hold your hand
I didn't beg your pity
Nor ask you to try for me
But actually,
When you said goodbye
I knew i am going to die