Sang Lelaki Dari Planet Venus

Aku punya banyak sekali teman, tapi hanya ada satu yang seperti Nara. Ia agak berbeda, dan karena itu orang-orang suka membullynya.

Nara punya jiwa perempuan yang terjebak dalam raga seorang lelaki. Mereka bilang Nara banci. Banci komplek.

"Aku sudah berusaha jadi anak laki-laki, tapi mereka tetap saja tak mau menerima," katanya sambil tersengguk-sengguk. Duduk di atas rumput dengan badan telanjang yang hanya berbalut kutang.

Mereka sungguh keterlaluan. Nara diikat di pohon kelapa menggunakan tali tambang, lalu bibirnya dicoreti lipstik merah seperti seorang wanita. Padahal Nara tak minta apa-apa, hanya ingin bergabung untuk bermain layangan saja. Aku geram jadinya. | Cerpen Kehidupan Sang Lelaki Dari Planet Venus

"Sudah, kau jangan menangis! Nanti biar kubalaskan dendammu, ya?" kataku memegang bahu Nara.

"Bagaimana caranya?"

"Gampang! Bukan hanya Ayahmu saja yang punya pistol di rumahnya. Aku juga punya. Nanti akan kutembak mereka satu-satu," cetusku bersemangat.

mengernyit. "Pistol yang mana?"

"Pistol yang kita beli di toko mainan itu. Kau lupa?"

"Itu kan pistol air, Puput."

"Iya memang." Lalu aku tertawa.

Nara hanya mendengus beberapa saat, tapi kemudian ikut tertawa juga. Setidaknya aku menjadi lega, bisa sedikit menghiburnya.

"Nara, dari mana mereka mendapatkan kutang itu? Bukan hasil mencuri dari jemuran orang, kan?" tanyaku sambil melirik was-was.

"Aku tidak tahu. Memang kenapa?"

"Cepat lepaskan!" pintaku tegas.

Nara melongo seperti orang bingung. "Kenapa?"

"Lepas, atau kita akan pingsan digebukin di sini! Lihat itu!" Aku menunjuk ke arah jalan dekat gardu listrik.

Seorang nenek setengah renta tengah mendekat dengan sapu lidi teracung-acung di udara. "Woii, kembalikan kutang Nenek, woii!"

Aku membantu Nara melepas kutang itu, lalu kami berlari secepat-cepatnya.

Esoknya, aku mendapati Nara berdiri sendirian di tepi lapangan. Memandangi puluhan anak laki-laki seusianya yang tengah asyik berebut bola.

Ia ditolak bermain lagi. Aku mendengar ejekan mereka dari jarak agak jauh tadi

"Banci komplek mau jadi keeper. Yang ada gawang kita kebobolan terus."

"Sudah, sana pergilah! Kau tidak cocok bermain bola. Lebih baik pulang, dan belajar dandan saja pada ibumu."

"Jangan! Kasihanilah dia sedikit, teman-teman. Aku bisa membantunya bicara pada Mbak Jum besok, siapa tahu dia mau membawa Nara untuk ikut jualan jamu."

Lalu mereka semua terbahak keras-keras. Seolah menikmati genangan air yang timbul di mata Nara. Tak cukup, kepalanya dilempar juga dengan bola, lantas diasingkan begitu saja.

Aku mendekat, dan menepuk bahu Nara. Menatapnya penuh simpati. "Sudah, jangan lihat mereka! Lebih baik kita pulang, kau bisa ikut bermain karet bersama di rumahku."

Nara menggeleng. Matanya berkaca-kaca. "Aku tidak bisa lagi, Puput."

"Kenapa, Ayahmu marah? Atau dia memukulimu lagi seperti waktu itu?"

Aku mengingat kejadian miris yang sudah lalu. Ayah Nara datang dengan wajah garang saat mendapati putranya tengah bermain boneka bersama anak-anak perempuan di teras rumahku. Ia memang tidak marah-marah di tempat saat itu, hanya menyuruh Nara pulang dengan suara setenang pembunuh berdarah dingin di film-film.

Lalu besoknya, di sekolah, kudapati tangan Nara sedikit lebam.

Bu Guru hanya bertanya sekadar, tanpa berani mengorek lebih dalam. Entah kenapa, semua orang tampak begitu segan dengan Ayah Nara yang berseragam dinas loreng-loreng hijau itu. Tak pernah ada yang mau ikut campur.

"Benar, Ayahmu memukulmu lagi?" tanyaku mengulang dengan nada lebih menekan.

Nara merunduk, lalu bicara takut-takut, "Kemarin Nenek itu datang ke rumah. Dia mengadu pada Ibu kalau kutangnya telah aku curi, dan Ayah mendengarnya. Setelah itu ...."

"Setelah itu, kau dipukul lagi!” simpulku.

"Ayah tidak marah karena itu. Dia tahu aku tak mungkin melakukannya.

"Lalu kenapa?Nara menghela napas. Lantas menatap nanar pada mereka yang tengah bersorak gembira di tengah lapangan karena baru berhasil menciptakan gol. "Ayah marah karena aku tak melawan mereka kemarin. Sebagai anak laki-laki, dia bilang seharusnya aku balik menghajar mereka, seharusnya aku jadi pemberani. Bukan diam, dan menangis seperti anak perempuan."

Aku tertegun sesaat, lalu merangkul pundak Nara. "Kau tidak seperti anak perempuan. Kau hanya makhluk Venus yang sempat tersesat di Mars, kemudian tinggal di Bumi," kataku ngawur, mencoba menghibur.

Tapi sepertinya tak berhasil. Nara sama sekali tak tersenyum.

"Nara --"

"Aww ...." Nara meringis saat punggungnya tak sengaja kusentuh.

Aku terhenyak, tapi hanya memilih diam, dan menatapnya saja. Tanpa perlu bertanya, sebenarnya aku sudah tahu apa yang ada di balik kaos kuning Nara.

"Aku tidak papa," katanya gugup, lantas buru-buru melarikan bola matanya ke arah lain seraya menarik tanganku menjauh dari sana. "Ayo, kita pulang! Mataharinya terik sekali. Aku khawatir nanti kulitmu jadi gosong seperti mereka." Kemudian ia tertawa. Tawa dibuat-buat.

Aku hanya mengikuti saja.

Berminggu-minggu setelah itu, aku tak pernah lagi melihat Nara keluar rumah kecuali untuk sekolah.

Di kelas pun, ia jadi lebih banyak diam, dan menjawab seperlunya saat aku tanya ada apa.

"Nara, aku membawa sosis panggang. Ibuku yang membuatnya tadi pagi. Ayo, kita bagi untuk berdua!" seruku saat memergoki Nara hanya duduk mengasingkan diri bersama bolpoin dan sehelai kertas penuh coretan di pojok kelas.

Ia hanya diam, dan menatap saja, meski kotak makan itu sudah kusodorkan padanya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku, sungguhan khawatir.

Nara mengangguk, tampak memaksakan sedikit senyum. "Aku tidak papa. Kau makan saja. Aku tidak lapar."

"Padahal biasanya kau lah yang selalu bersemangat menyeretku ke kantin saat istirahat. Kenapa sekarang kau berubah? Apa aku punya salah?"

Nara menggeleng lesu. "Kau tidak salah, Put. Aku sedang berusaha menempatkan diri saja."

Aku hanya menatap Nara nanar. Tak tahu harus menjawab apa lagi. Sampai kemudian teman-teman perempuan datang, dan mengajakku untuk mencari buku tugas di perpustakaan.

"Pergilah!" begitu yang Nara katakan.

Dan aku pun meninggalkannya, tanpa tahu, bahwa itu hari terakhir ia menginjakkan kaki di sekolah.

Nara dan ibunya pergi, menghilang seperti ditelan Bumi. Sehari sebelumnya ia sempat menemuiku ke rumah.

Kami duduk bersisian di bawah pohon jambu air seraya menyantap jus buah naga yang ibuku buat. Kemudian saling menatap.

"Kenapa kemarin tidak sekolah?" tanyaku membuka suara.

"Ibuku sakit, aku harus menjaganya," Nara menjawab sambil lalu. Melempar-lempar kerikil kecil di depan kami.

Aku mengangguk-angguk saja. "Sekarang sudah sembuh?"

Nara tak menjawab lagi. Membiarkan hening menguasai sesaat.

"Nara --"

"Puput, boleh aku minta sesuatu?" tanyanya menyambar tiba-tiba.

"Apa?" kataku.

Ia mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang dibawanya sejak tadi. Boneka Chika Chiki. Mereka adalah sepasang barbie laki-laki dan perempuan yang kami nikahkan lebih dari satu tahun yang lalu.

Aku menatap Nara tak mengerti.

"Aku sudah menjaga mereka selama ini. Sekarang giliranmu, ya?" pintanya, tampak sungguh-sungguh.

"Kenapa? Bukankah kau bilang, setelah menikah, Chika akan ikut dengan suaminya ke rumahmu?"

Nara tersenyum. "Kau benar, tapi ayahku sudah menemukan tempat persembunyian mereka sekarang. Kau tahu, di antara sekian banyak bonekaku, hanya mereka yang tersisa. Kau harus menjaganya, atau Ayah akan membakar mereka seperti yang lain."

Aku mengusap Chika dan Chiki yang Nara letakkan di pangkuanku penuh sayang. Lantas membenahi baju pengantin Chika yang robek di ujungnya. Nara sendiri yang menjahitnya dulu, terbuat dari kain tulle bermodel ball gown. Sekarang bahkan mereka tampak menyedihkan.

"Chika jadi bahan rebutan aku dan Ayah kemarin, tapi aku berhasil mempertahankannya. Hanya sedikit sobek. Maaf, ya?"

Aku menggeleng, dan menyungging senyum. "Tak apa, aku bisa belajar menjahitnya lagi nanti." Lalu menatap Nara sungguh-sungguh. "Nara, apa Ayahmu memukulmu lagi kemarin?"

Ia merunduk, dan diam beberapa saat. Menggenggam kerikil di tangannya kuat-kuat.

"Dia memukulmu, ya?" tanyaku sekali lagi

"Ayah hanya kecewa, Put," jawabnya seraya mengangkat kepala. Membalas tatapanku. "Dia memberiku nama Narayana agar aku bisa menjadi tangguh seperti pasukan Narayan dalam perang besar Bharatayudha. Bukan malah lemah seperti perempuan."

Aku diam. Ia sudah sering mengatakan itu.

Nara melanjutkan, "Aku tidak marah kalau Ayah kecewa, tapi aku marah jika dia memukul Ibu juga."

"Apa Ibumu dipukul?" tanyaku dengan mata melebar. Mengubah posisi duduk menjadi nyaris berhadapan.

Nara hanya tersenyum getir, tak menjawab lagi. Meski aku memaksanya, ia tetap saja bungkam.

"Jagalah dirimu baik-baik, Put. Terima kasih sudah mau jadi temanku!"

"Kau mau ke mana? Apa kau mau pergi?" tanyaku khawatir.

Nara malah terkekeh. "Bukannya kau bilang, aku itu makhluk Venus? Aku akan kembali ke Venus, Put. Tempat di mana aku bisa diterima."

"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.

"Masuklah, aku akan pergi. Keburu Ayah pulang."

Lalu ia mengantarku sampai ke pintu. Memberi senyum terakhir, juga air yang menyembul sedikit di sudut matanya.

Dan sejak hari itu, aku tak pernah bertemu Nara lagi.

Delapan belas tahun kemudian

Aku mendapat undangan misterius. Sebuah acara peragaan busana bridal yang digelar di salah satu ballroom hotel mewah ibu kota.

Andai bukan nama Nara yang tertulis sebagai pengundang, mungkin aku tak akan pernah datang.

Aku mengenakan dress merah muda dengan heels tak terlalu tinggi. Berdiri bersama beberapa panitia yang sedari tadi sibuk menawarkan minuman dan makanan. Mereka bilang, aku tak akan bisa makan jika sudah masuk ke dalam.

"Aku sedang menunggu Nara," kataku dengan mata terus berkeliaran. Berharap bisa segera menangkap sosoknya. Ia sudah berjanji untuk menjemputku melalui nomor handphone yang diberikan bersama undangan tempo hari.

"Dia masih sibuk mengarahkan para model, Mbak," sahut salah satu dari mereka.

"Tak apa, aku akan menunggunya." Lalu aku berjalan mendekati sebuah meja yang tak seberapa jauh. Duduk tumpang kaki sambil mengamati hilir mudik para tamu.

Nara sudah sukses sekarang. Menjadi seorang desainer hebat seperti yang ia impikan waktu kecil. Dari cerita singkatnya di Whatsapp, ia sempat tinggal di Thailand dan bertemu orang-orang baik. Dia juga berjanji akan mengenalkan mereka padaku. | Cerpen Kehidupan Sang Lelaki Dari Planet Venus

"Mbak," seseorang menyambar bahuku. Panitia wanita. "Itu, Mbak Nara sudah datang!”

Saat aku mengikuti ke mana telunjuknya mengarah, bukan Nara yang aku lihat. Melainkan seorang wanita dengan mini dress merah menyala sedang melenggang anggun di atas stiletto berwarna senada. Ia tersenyum dari jauh.

Wanita-wanita berjenis sama mengikutinya centil di belakang.

Aku menahan diri agar tak pingsan. Menyimpulkan suatu pelajaran besar, bahwa melalui panas api, sebuah pedang bisa menjadi tajam, sekaligus melukai orang. Hinaan dan bullyan mungkin membuat sebagian orang tangguh seperti Nara, tapi resikonya jauh membahayakan.