Selamat Jalan Menuju Surga Buah Hatiku

Cerpen Sedih Kisah Nyata Selamat Jalan Menuju Surga Buah Hatiku


Baru kemarin ini, aku post sebuah tulisan tentang bagaimana aku harus menjalani sebuah operasi 'kecil'. Malam ini, tanpa pernah kubayangkan sebelumnya, lagi-lagi aku harus memasuki ruangan tersebut. Di usia kehamilan yang bahkan belum genap 7 minggu, aku harus kembali berakhir di ruang operasi. Ya, teman-teman, aku keguguran.

Awalnya, aku merasa beruntung dan bersyukur, karena selain mendapatkan amanah sekali lagi dari Sang Maha Kuasa, aku juga merasa bahwa kehamilan kali ini tidak seberat kehamilan pertamaku. Aku tidak terlalu merasakan mual yang berarti. Aku bahkan masih bisa menggendong putri pertamaku yang baru berusia 17 bulan dengan bebas. Namun, mungkin itulah salah satu penyebab atas keguguranku ini.

Kemarin pagi, aku baru saja mengunjungi POSKESDES di desaku. Meski dengan nada sedikit menyalahkan karena aku hamil dengan jarak terlalu dekat dengan persalinan pertamaku, ibu bidan yang memeriksaku tetap tersenyum saat mengatakan bahwa kehamilanku baik-baik saja. Walau belum diperiksa melalui USG, namun ia menyatakan tak ada masalah dengan kehamilanku. Ia juga terus menasihatiku agar menjaga asupan nutrisi tubuhku demi janin yang belum berkembang di dalam rahimku itu.

Namun ternyata Allah berkehendak lain. Siang tadi, saat hendak melaksanakan shalat Dzuhur, aku melihat banyak darah pada celana dalamku. Aku berusaha tidak panik dan tetap melakukan shalat dengan keadaan memakai pembalut. Selepas shalat, aku menghubungi ibu dan suamiku. Setelah beberapa saat mereka datang, dan kamipun segera pergi ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit A, kami diberitahu bahwa ruang untuk kelas III penuh, jadi kami diminta untuk mencari rumah sakit lain. Akhirnya kami berlanjut ke rumah sakit B yang berjarak tak terlalu jauh dari rumah sakit sebelumnya. Saat kami tiba di sana, aku langsung dibawa menuju ruang IGD dan selang infuspun segera dipasang sesaat setelah sang perawat meminta suamiku untuk mendaftar rawat inap.

Beberapa saat kemudian aku dibawa ke ruang perawatan ibu hamil dan melahirkan. Lama rasanya menunggu tindakan apa yang akan diberikan kepadaku, hingga akhirnya pada pukul setengah 7, setelah shalat Maghrib, dokter pun datang dan memeriksaku melalui USG. Saat itulah semuanya terungkap.

Dokter mengatakan bahwa kantung kehamilanku telah pecah, dan yang tersisa hanyalah jaringan yang merupakan bakal dari ari-ari calon jabang bayiku. Dokter lalu mengatakan bahwa aku harus segera dikuret demi membersihkan rahimku agar tak terjadi infeksi. Saat itu aku menangis sejadi-jadinya.

Bagaimana tidak, aku sangat mengharapkan kehamilan ini. Aku bahkan telah membiasakan putri pertamaku dengan panggilan barunya, Kakak. Namun Allah berkata lain.

Di tengah-tengah tangisanku, ibuku menggenggam tanganku dan dengan sedikit memaksa beliau memintaku berhenti menangis, ia menuntunku untuk akhirnya mengucapkan Innalillaahi wa innailaihi raaji'uun. Kata yang biasanya kuucapkan untuk orang lain, kini harus kuucapkan untuk diriku sendiri.

Aku mulai bisa menerima semua kenyataan ini. Aku terus-terusan beristighfar dan bertakbir.

Sambil menunggu jadwal kuret, aku berusaha mengalihkan perhatianku dengan mengingat-ngingat hal menyenangkan yang dapat kulakukan bersama putriku.

Waktu menunjukkan pukul 20.05 WIB saat aku akhirnya memasuki ruangan dingin itu. Dengan jantung yang berdebar keras, kulafadzkan takbir dan istighfar terus-menerus demi mengurangi ketegangan yang melanda diriku.

Dokter yang tadi memeriksaku pun berusaha menenangkan diriku. Sambil sedikit bercanda ia mengatakan bahwa dua bulan lagipun aku dapat kembali hamil jika memang menginginkannya.

Setelah itu aku diminta untuk duduk dengan sedikit melengkung dan menundukkan kepala agar dokter anestesi dapat membiusku melalui punggung. Srrr... Rasa dingin dan kebas seketika menjalari tubuh bagian bawahku.

Tak berapa lama kemudian aku sudah mulai tak bisa merasakan kakiku, dan pada saat itu juga perawat mengangkat tungkaiku dan diletakkan di atas penyangga untuk memudahkan proses pengkuretan. Perlahan tapi pasti aku mulai merasakan ada yang mengobok-ngobok perutku. Rasa mual mulai melanda, namun kutahan.

Sekitar setengah jam kemudian proses kuret tersebut selesai. Dokter kembali menyuntikan obat ke infusanku. Ia mengatakan itu adalah obat anti mual dan anti nyeri. Padahal setelah itupun aku tetap merasakan mual yang amat sangat hingga sejam lamanya. Aku bahkan sempat muntah di ruang operasi.

Tak lama kemudian aku kembali dipindahkan ke ruang perawatan setelah sebelumnya ibuku memakaikan pembalut super panjang untuk menampung darah yang mungkin keluar pasca kuret.

Dan sekarang di sinilah aku, terbaring lemah setelah sempat tertidur selama satu jam demi menghilangkan mual.

Ibuku telah pulang ke rumah dan berjanji akan kembali esok pagi. Suamiku, kasihan ia, harus meringkuk di atas tikar kecil di bawah ranjangku.

Calon jabang bayiku, meski kamu belum berbentuk janin, tapi aku sudah mencintaimu, bahkan sebelum aku tahu diriku hamil. Sekarang kamu telah pergi, entah menjadi bidadari surgaku atau tidak, namun aku tetap mencintaimu. Semoga Allah memberikan pengganti yang lebih baik untukku. | Cerpen Sedih Kisah Nyata

Kuningan, 22 Maret 2018

Di atas ranjang rumah sakit WK, kamar isolasi 205.

Aku, seorang ibu yang kehilangan.