Kisah Misteri Wanita Di Dalam Hujan

"Hari apa sekarang?" tanya Lusi bagai bisikan angin, nyaris tak tertangkap telingaku yang tengah duduk di sampingnya.

Aku menoleh, memastikan. Ternyata ia tak menatapku .... Pandangannya jauh ke atas, pada langit yang mulai menghitam tertutup awan gelap. Membuat suasana sore di teras depan rumahnya, yang mestinya cerah saat menjelang sunset, terlihat suram.

Kembali rasa heran memenuhi hatiku. Setiap kali langit mendung, selalu itu yang ia tanyakan. Entah kenapa ... sampai sekarang aku belum tahu.

"Ini hari Rabu," jawabku lirih, setelah sesaat menghela napas panjang.

Aku merubah posisi duduk, senyaman mungkin, pada kursi sofa di teras rumah itu.

Lusi menoleh padaku, tersenyum manis.

"Hari favoritmu, ya ...."

Aku cuma balas tersenyum, tapi menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

Senyum Lusi kian mengembang saat melihat tatapanku. Seolah mengerti akan tanda tanya yang selalu memenuhi kepalaku setiap kali ia menanyakan itu.

"Kamu mau tahu, Lann?"

Aku diam. Hanya pandanganku yang tak lepas dari matanya ... menuntut!

Lusi tersenyum mengerti. Sesaat menghela napas panjang, lalu mulai bercerita ... "dulu sewaktu berumur tujuh tahun, aku pernah mengalami peristiwa yang membuatku trauma akan mendung dan hujan. Saat itu hari Selasa ..., sudah jam 4 sore .... Mama belum pulang dari tugas mengajar. Papa yang baru turun dari motornya, sepulang dari kantor, merasa heran. Beberapa kali di telpon, hp Mama tidak aktif. Akhirnya Papa memutuskan kembali menaiki motor, untuk menjemput Mama. Saat itu aku sendiri di rumah. Kakak-kakakku, Mas Andre dan Mbak Lis sedang keluar, entah main kemana ...." | Baca Cerpen Misteri

Lusi sesaat menarik napas panjang, menatapku yang terpaku menyimak ceritanya.

"Tak berapa lama setelah Papa pergi ..., tiba-tiba langit gelap. Awan mendung datang dengan cepat menutupi. Angin kencang berhembus. Mas Andre dan Mbak Lis belum juga pulang. Aku ketakutan ... sendiri di rumah. Langit semakin hitam ... cuaca semakin gelap. Angin bertiup semakin kencang .... Lalu kilatan cahaya mulai menyambar-nyambar. Entah mengapa, kilatan cahaya itu membuatku tertarik. Aku lalu berjalan mendekati jendela, menatap langit hitam. Angin bertiup kencang .... Suasana semakin gelap .... Tak tampak satu pun orang melintas di jalan depan rumahku, seolah tak ada kehidupan di luar sana ... membuat suasana semakin terasa mencekam!"

Kembali ia menarik napas panjang kesekian kalinya. Entah mengapa, aku merasa, Lusi bercerita seolah-olah peristiwa itu sedang ia alami sekarang ini.

"Aku tetap terpaku menatap peristiwa alam itu dari balik jendela. Kilat sambung menyambung memecah langit. Lalu rinai hujan mulai turun ..., gerimis. Aku terus terpaku menatapnya. Mendadak sebuah kilat besar, terang benderang memecah langit! Menghujam jalanan, tepat di depan rumahku. Aku menjerit nyaring saking terkejut, juga takut. Sontak kututup mata dan wajahku dengan kedua tangan. Suara kilat telah berlalu, tapi aku masih tetap menutupi wajah."

Kembali ia menarik napas panjang, mengisi paru-paru yang seakan menjadi hampa.

"Kemudian ... sayup-sayup aku mendengar suara memanggilku dari luar; "Lusi ... Lusi ... sini, Nak ....". Aku perlahan membuka wajah, menatap keluar. Tak ada siapa-siapa. Namun suara itu kembali sayup-sayup memasuki telingaku; "Lusi ... sini ... main ke luar ....". Aku menatap lebih tajam ke luar. Hujan mulai turun dengan lebat. Rinainya seolah menjadi kelambu yang menutupi alam sekitarku. Dan, aku tertegun! Di tengah jalanan, dalam lebatnya rinai hujan, samar-samar aku melihat sesosok bayangan berdiri menatap ke arahku. Tak tampak jelas, tapi aku tahu itu sosok seorang wanita. Tampak ia melambaikan tangannya, memanggil aku; "Lusi ... sini, Nak ... main keluar ....". Aku menggeleng-gelengkan kepala. Namun bayangan itu terus melambai, memanggilku! Saat itu, aku merasakan ketakutan yang amat sangat! Aku menggeleng kepala kuat-kuat sambil berteriak; "gak mau ... gak ...!". Bayangan itu tetap melambai, memanggilku; "sini, Lusi ... main keluar ....". Aku terus berteriak menolak; "gak mau ...! Gak mau...!". Ingin aku berlari menjauh dari jendela itu, tapi tubuhku seakan terpaku, membeku, tiada mampu bergerak! Bayangan itu kembali memanggil; "sini, Lusi ... sini ....". Aku semakin ketakutan! Menjerit sambil menangis; "gak maauuu ...! Gaaak ...!". Bayangan itu berhenti melambai ... lalu sayup-sayup terdengar suaranya; "tidak sekarang ... nanti kamu pasti mau. Nanti akan datang hari ini lagi. Hari di mana aku akan datang menjemputmu, Lusi ....". Aku kembali menjerit ketakutan. Lalu terjatuh pingsan! Sayup-sayup sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya, aku mendengar suara motor masuk ke dalam rumah .... Papa telah pulang. Lalu aku betul-betul tak sadarkan diri ...."

Lusi menarik napas lagi. Wajahnya tampak memucat. Setetes air bening mengalir dari sudut matanya.

"Ah ... sampai nangis aku ceritanya," ujarnya mencoba tersenyum, seraya menyeka air mata.

Aku tersenyum tipis. Kuambil sapu tangan dari saku, lalu mengusap sudut matanya yang basah. Tak lupa, mencubit lembut ujung hidung indahnya.

Lusi tersenyum lembut.

"Makasih, Lann," lalu suara lembutnya berubah ketus, "tapi gak usah pake mampir cubit hidungku, napa?!"

Aku menyeringai.

"Udah dekat, tanggung, sekalian aja mampir," jawabku bercanda.

Lusi tertawa lirih. Balas mencubit bahuku. "Dasar kamu niih ...!"

Aku tertawa kala menerima cubitannya dibahu. Sesaat kutatap matanya yang masih terlihat kelabu. "Sebegitu berpengaruhnya peristiwa itu buat kamu, hingga sampai sekarang kamu masih cemas bila mengingatnya."

Lusi mengangguk. "Sangat membekas di hati dan pikiranku, Lann. Sejak itu, setiap hari mendung gelap, aku selalu bertanya-tanya ..., hari apa sekarang ini? Sampai sekarang. Entah kenapa, aku seperti merasa, sosok bayangan itu masih menungguku. Menunggu waktu yang tepat, waktu yang sama dengan hari itu, untuk menjemput aku! Membawaku pergi!"

Ia mengempaskan napas panjang. Aku terdiam membisu, dengan pertanyaan besar meraja di hati, 'apa benar wanita dalam hujan itu ada?"

Beberapa minggu kemudian ....

Sore itu, sebuah pesan di hpku memicu pertengkaran hebat antara aku dengan Lusi, saat menghabiskan waktu di sebuah mall.

Biasanya aku mengalah, atau Lusi lalu terdiam tanpa kata-kata. Namun entah mengapa, saat itu aku tak mau mengalah, dan Lusi pun tak mau diam, terus saja mengomel tak karuan. Tak ada titik temu, pertengkaran semakin seru, sampai pada puncaknya.

Dengan wajah merah emosi, serta mata mulai berkaca-kaca, Lusi tajam berkata, "baik! Kalau begitu aku pergi saja!"

"Terserah! Susah buat bikin kamu mengerti ...!" balasku juga dengan emosi.

Lusi mendengus kesal, dan segera membalikkan badan. Dengan langkah bergegas, ia menuju pintu keluar area mall itu. Namun sesampainya di ambang pintu, langkahnya terhenti, meragu .... Sesaat ia terpaku menatap ke langit luar.

Aku memandangnya sambil tersenyum tipis.

"Kenapa berhenti? Gak jadi pergi?" kataku setengah menyindir, tapi juga setengah berharap.

Lusi menoleh. Masih dengan wajah penuh emosi, ia bertanya, "hari apa sekarang?"

Deg ...!

Jantungku berdetak kencang! Pikiranku cepat bekerja. Lusi hanya akan bertanya seperti itu, bila .... Seketika, aku bergegas menghampirinya, ikut menatap ke langit di luar.

Tampak awan hitam berkumpul menutupi. Gelap akan segera menyelimuti. Angin mulai berhembus kencang.

Kutatap wajah Lusi yang berbayang kecemasan .... Aku menarik napas panjang, mencoba meredam emosi dan egoku. Lalu berusaha membujuknya.

"Udah gak usah pergi, Lus .... Di dalam aja dulu," kataku berusaha terdengar lembut.

Rupanya gejolak emosi lebih kuat, mengalahkan rasa cemas. Lusi hanya mendengus, terus bertanya tanpa mempedulikan bujukanku, "hari apa sekarang, Lann?"

Aku menghela napas, kembali merasa kesal pada kekerasan hatinya. Walau masih ingat hari apa sekarang ini, tapi tetap kulirik arloji di pergelangan tangan untuk memastikan. Sedikit terkejut, saat kulihat hari yang tertera. Lirih aku menjawab, "selasa ...."

Lusi tampak terhenyak. Wajahnya terlihat memucat. Ini hari yang sama, dengan peristiwa yang menimbulkan trauma di hidupnya!

Aku pun menyadari, lalu berusaha membujuknya lagi, "ya udahlah, Lus ... Gak usah pergi. Ntar aja kita pulang bareng."

Masih terbakar emosi, Lusi malah melotot.

"Terus? Mbiarin kamu? Liatin kamu kirim-kiriman pesan, gitu?" ucapnya ketus.

Nada ketus Lusi, membuat emosiku terbangkit kembali.

"Kirim-kirim pesan apaan, sih? Dibilang itu bukan apa-apa kok! Kamu tuh susah banget ya, dikasih pengertian!"

"Jadi kamu tetap gak mengakui kesalahan kamu? Gak mau jujur sama aku?"

"Aku salah apa, Lus? Semua udah aku katakan sejujurnya, apa adanya! Masih kurang apa lagi, sih?"

Lusi malah kian marah.

"Baguslah! Silahkan lanjutin sepuasnya! Biar aku aja yang pergi! Biar kamu bebas semau sendiri!"

Usai berkata, ia nekat beranjak pergi, melangkah dengan cepat keluar dari area mall.

"Lusiii ...! Luuss ...! Lusiiii ...!" teriakku memanggil.

Namun Lusi tetap melangkah, seakan teriakanku hanya dianggapnya angin lalu.

'Aaah ...! Terserahlah! Sebodo amat!' batinku memaki, ikut emosi.

Lalu aku berbalik, kembali masuk ke dalam mall. Aku duduk terdiam di sebuah bangku yang tersedia di situ. Bermacam-macam pikiran dan rasa berpadu menjadi satu. Antara marah dan gelisah ..., masa bodoh, juga cemas ..., tak peduli tapi khawatir, bercampur baur memusingkan!

Lama aku terdiam, hingga gemuruh datangnya hujan menyadarkanku. Sesaat aku menatap keluar dari dinding kaca mall. Tampak hujan telah turun dengan lebat ... angin bertiup kencang ... kilat bersahut-sahutan.

'Dan ini hari selasa. Hari yang Lusi takuti bila turun hujan,' batinku cemas.

Terbersit pikiran untuk menyusulnya. Namun belum juga aku sempat bangkit dari kursi, sebuah kilat yang amat terang meledak di angkasa, diikuti suaranya yang keras menggelegar!

Duuaaarrr ...!

Aku tersentak kaget! Keras sekali petir itu! Bahkan kaca-kaca dinding mall bergetar karenanya. Kembali kecemasan menghantui pikiranku. Kali ini, tanpa berpikir panjang lagi, bergegas aku bangkit dan melangkah keluar menyusul Lusi.

Motor kulajukan perlahan tanpa tentu arah, tak peduli hujan telah membasahi sekujur tubuh. Mataku liar, mencari-cari, penuh cemas. Menatap ke pinggiran jalan, emperan toko, halte. Namun tidak kulihat bayangan tubuh Lusi. Sesaat aku berhenti, menyeka air hujan yang membuat perih mata, seraya berpikir kemana lagi mesti mencari ....

'Atau ia telah pulang dengan kendaraan umum?' batinku bertanya-tanya, 'tapi kenapa dari tadi kutelpon gak diangkat-angkat? Apa dia masih marah? Apa benar dia sudah di rumah?' Bingung dan cemas kian meraja.

Sebuah kilat kembali terdengar membelah langit, membuat aku teringat kilat besar yang tadi menyambar. Tiba-tiba, entah mengapa, terlintas sebuah pikiran di kepala. Aku mendapat firasat, di mana petir besar itu tadi terdengar, di situlah Lusi berada.

'Rasanya ... kalau tak salah, tadi terdengar dari arah barat.'

Berpikir begitu, secepatnya motor aku belokkan ke arah barat, kembali mulai menyusuri jalanan.

Tak berapa lama mencari, kulihat ada kerumunan orang tengah berkumpul di sebuah halte kecil. Jantungku berdetak kencang! Segera kuhampiri kerumunan itu, mencoba melihat apa yang mereka kerumuni, sembari bertanya, "ada apa nih, Pak? Mas?"

Entah pada siapa aku bertanya, tapi seorang pemuda berbaik hati menjawab, "ada orang pingsan, Mas. Wanita."

Aku tercekat ...!

"Pingsan kenapa, Mas? Kecelakaan?"

"Gak tau, Mas. Kata orang-orang yang liat sih, tau-tau jatuh pingsan begitu aja waktu petir besar menyambar. Mungkin dia shock!"

Aku terperanjat! Jantungku berdegup kencang penuh kecemasan! Lalu aku menyeruak, menerobos masuk ke dalam kerumunan itu. Dan ... kulihat seorang gadis dengan pakaian basah kuyup, tergeletak pingsan di lantai halte itu.

"Lusi ...! Ya, Tuhan!"

Aku termangu di lorong rumah sakit. Terngiang kata-kata Dokter sebelum meninggalkan kamar di mana Lusi dirawat ...

"Ia tidak mengalami luka yang berarti, baik luar maupun dalam. Hanya lecet-lecet sedikit akibat terjatuh saat pingsan. Namun ia masih belum sadar juga ... entah kenapa. Semua organ tubuhnya bekerja normal. Ia seperti sedang tidur pulas, atau tepatnya ... ia sedang koma!" kata Dokter menjelaskan. "Tolong, Mas, segera hubungi orang tua atau keluarga yang lainnya."

Aku mengangguk.

'Koma?' pikirku heran, 'mengapa bisa sampai koma? Padahal tidak ada luka yang berarti?'

Lalu, ingatanku melayang pada cerita Lusi tentang sosok wanita dalam hujan yang memanggil-manggil dan menanti dirinya datang.

'Apa karena petir itu? Apa memang nyata ada, wanita dalam hujan itu?'

Pikiranku buyar saat terdengar suara langkah kaki mendekat dengan tergesa. Aku menengok. Tampak Mas Andre dengan raut muka marah dan cemas, bergerak cepat menghampiriku.

"Sudah aku bilang, jaga Lusi baik-baik, terutama saat hujan!" bentaknya keras, penuh amarah.

Lalu sebuah tinju melayang deras ke wajahku.

Buaak ...!

Aku terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, menatap ke wajah Mas Andre, sambil berkata, "maaf, Mas ... memang saya khilaf dan lalai ...."

"Percuma kata-kata maafmu sekarang!"

Kembali tinjunya mendarat deras di wajahku. Aku tetap diam, menerima pukulan itu sebagai hukuman kesalahanku. Rupanya sikap diamku malah semakin mengobarkan emosi Mas Andre. Dan saat pukulan yang ke tiga hendak ia layangkan, sebuah jeritan keras mencegahnya.

"Hentikan! Cukup, Andre! Apa-apaan kamu ini!"

Tante Mirna, mamanya Lusi, berlari menghampiri. Diikuti Om Hermawan, suaminya, dan Mbak Lis. Mbak Lis langsung menghampiri aku. Sesaat memegang wajahku sambil menatap miris. Darah mengalir keluar dari hidung dan sudut bibirku.

"Ya ampun .... Kamu gak papa, Lann?" tanyanya dengan nada cemas.

Ia mengambil tisu di tas bahunya, lalu menyeka darah yang mengalir di wajahku. Kemudian berbalik, menoleh garang pada Mas Andre.

"Kamu bisa gak sih, jaga emosi? Ini di rumah sakit! Kita semua sedang cemas dengan keadaan Lusi, kenapa kamu malah bikin ribut gini!"

"Semua ini gara-gara dia! Kalau dia gak lalai menjaga Lusi, gak akan begini jadinya! Padahal dia udah selalu dipesankan oleh semua! Papa, Mama, aku, dan kamu sendiri udah sering berpesan dan mengingatkan! Jaga Lusi baik-baik, terutama saat hujan lebat!" bentak Mas Andre penuh emosi, "tapi nyatanya? Dia tetap saja lalai!"

Aku hanya menunduk, merasa bersalah. Perlahan kulepaskan tangan Mbak Lis yang masih menyeka wajahku.

"Aku gak papa, Mbak. Maaf, Mbak ... aku telah khilaf dan lalai." Pandanganku beralih pada papa dan mama Lusi. "Om ... Tante ... maafkan saya, telah khilaf dan lalai menjaga Lusi."

Om Hermawan hanya mengangguk pelan. Tante Mirna ikut mengangguk, sembari mencoba tersenyum.

"Gimana keadaan Lusi, Lann?" tanyanya lembut.

"Masih belum sadar. Kata Dokter, ia seperti tertidur pulas."

Mas Andre memukulkan tinjunya ke tembok. Lalu bergerak hendak memasuki kamar tempat Lusi terbaring.

"Biar aku bangunkan dia ... aku tau caranya membangunkan dia!"

Om Hermawan cepat mencegah Mas Andre, "jangan, Ndre!"

Namun tenaga tuanya kalah jauh dengan tubuh besar Mas Andre. Dengan sebuah kibasan tangan, Mas Andre membuat papanya itu terdorong ke pinggir.

"Ndre ...! Jangan gegabah kamu!" cegah tante Mirna, tanpa sanggup berbuat apa-apa.

"Ndre! Jangan gila kamu!" teriak Mbak Lis juga, "kita tunggu aja pemeriksaan Dokter nanti!"

Tapi Mas Andre tak peduli. Terus melangkah menuju pintu kamar.

Mbak Lis cepat menoleh padaku. "Lann, tolong cegah dia!" Pandangan mata Mbak Lis terlihat memohon padaku.

Aku menghela napas, lalu mengangguk menyanggupi.

Kaki kuayunkan mendekati Mas Andre.

"Mas ... tolong jangan. Kasihan Lusi. Biar kita tunggu saja, gimana baiknya menurut Dokter," kataku perlahan.

Mas Andre begitu mendengar suaraku, langsung terbakar kembali emosinya.

"Eeeh ...! Masih berani kamu sama aku, ya!"

Lalu sebuah tinju, ia layangkan ke wajahku. Tapi kali ini aku tidak berdiam diri. Lebih cepat dari pukulannya, tanganku bergerak menangkap pergelangan tangannya. Langsung aku putar, menelikungnya ke belakang tubuh, sambil tanganku yang lain, mencengkeram tengkuknya. Dengan sebuah hentakan keras, tubuh Mas Andre aku tekan ke dinding kamar. | Cerpen Misteri Online

Mas Andre memekik kesakitan, mencoba melepaskan diri. Namun kuncian telikunganku pada lengannya malah kian mengencang setiap kali ia meronta.

"Aku akan terima pukulan Mas sebagai hukuman atas kekhilafan dan kelalaian aku. Tapi aku gak akan membiarkan Mas, masuk ke kamar Lusi. Karena itu bisa mengganggu kesehatannya," ucapku di telinganya.

Dan kuncian lenganku semakin kencang. Hingga Mas Andre terpekik kesakitan.

"Udah, Lann! Sakiit ...! Iya, udah! Aku nyeraah ...!" pintanya tak tahan.

Aku melepaskan kuncian tanganku dari tubuhnya. Lalu mundur beberapa langkah. "Maaf, Mas. Gak papa, kan?"

Mas Andre hanya diam tak menjawab sambil memegang lengannya yang masih terasa sakit karena telikunganku.

"Makanya, gak usah pake emosi-emosian segala! Sok jagoan lagi, asal main pukul!" kata Mbak Lis mencemooh. "Untung Lanna diam aja, karena merasa salah dan masih memandang kamu sebagai kakak