Sebuah Kisah Arti Dari Cinta Part 1

Dia benar tentang manusia yang tak bisa menolak perasaan, dia juga benar tentang aku yang akan menyesal, tapi dia salah ketika mengatakan akan selalu ada.

Dia salah

"Lay, ..."

Seorang anak perempuan sepuluh tahunan berlari menuruni bukit, sedikit tergesa, hingga tak memperhatikan pijakannya yang ternyata berlubang. Jatuh. Tubuhnya yang belum sigap merespon meluncur, berguling.

Sedang anak laki-laki, teman sebayanya yang di bawah bergegas menangkap tubuh itu.

"Lay, " anak perempuan itu tersenyum, memamerkan gigi kelincinya. Mengalihkan rasa khawatir temannya.

"Kenapa ke sini?"

"Lay tidak apa-apa kan?"

"Harusnya aku yang bertanya, kamu nggak pa-pa?" Layis memastikan keadaan temannya yang terkenal ceroboh tersebut. | Cerpen Romantis Sebuah Kisah Arti Dari Cinta  

Farah, nama anak perempuan dengan dua kuncir yang sudah berantakan itu masih tersenyum, menggeleng sambil menunjuk dada kiri Layis, "ini tidak sakit kan? Tadi kata Mbah Sumi kamu dimarahin ayahmu."

Layis balas tersenyum, dia pikir karena apa Farah-nya menyusul sampai sini?

"Ih, Lay kok malah senyum?" Farah mengerucutkan bibir, kesal.

"Aku tidak apa-apa," jawab Layis tegas, dia tidak ingin Farah semakin panik dan berbuat yang tidak-tidak.

"Sungguh?" Farah belum percaya

Layis mengangguk sambil memukul dadanya, "aku tidak apa-apa."

Akhirnya Farah percaya lantas senyumnya pun mengembang, membuatnya terlihat manis dengan gigi kelinci yang menggemaskan.

Mereka----Layis dan Farah tengah menuju rumah masing-masing, saat datang laki-laki dewasa yang dikenal sebagai Pak Min meminta Layis bergegas karena Nyonya besar mencari.

"Ayo, Mas!"

Layis setengah berlari kemudian sebelum jauh dia menoleh, melihat ke Farah sekali lagi----melambai.

Farah membalas lambaian itu, tersenyum.

"Apakah mereka akhirnya berpisah?" Echa telah selesai membaca halaman pembuka, menoleh ke arahku.

Aku menggeleng, "mereka tidak berpisah di hari itu, melainkan tujuh tahun berikutnya, di tempat yang sama, pun waktu yang sama ...,"

"Dengan perasaan yang sama?" Echa, temanku punya hobi menyela setiap kali aku bercerita. Entah tentang kelinci abu-abu yang jadi tokoh fiksi dalam cerpen 'Bukit Bintang' atau Gaby siPirang yang terjebak dunia paralel buatan Ayahnya. Dia selalu antusias, membuatku senang. Tapi tidak untuk tokoh Layis-dia-tidak-boleh-menunjukkan-ketertarikan. Aku tidak bisa memjawab pertanyaannya untuk yang satu ini.

"Menurutmu?" Aku menatapnya sekilas kemudian menunduk, pura-pura sibuk dengan telpon genggam. Kebetulan ada pesan yang masuk. Urusan pekerjaan.

"Mana kutahu," jawabnya dan kutebak dia mengendikkan bahu----seperti kebiasaan lainnya yang sangat kuhapal.

"Kau tidak memublikasikannya?"

"Untuk apa?" Aku balik bertanya

"Agar dia tahu kalau kau masih menempatkannya dalam ruang spesial,"

Aku tersenyum sinis. Apa Echa bilang? Ruang spesial? Bukankah itu lebih seperti menunjukkan kalau aku kekanakan?

Oh, ya. Echa belum tahu siapa Layis. Jika dia tahu mungkin akan menjerit histeris, mengingat temanku yang suka sekali mengikuti berita intertaimen bahwa tidak mungkin Echa tidak mengetahui sosok asli Layis.

"Hello, ..." panggilan Echa mengembalikanku ke dunia nyata.

"Melamunkan Layis?"

Tak perlu jawaban bukan? Aku mengisyaratkannya dengan senyum penghargaan, "ayo pulang!"

Kulihat Echa sedikit berkeras tinggal karena belum mendapatkan informasi tentang Layis. Tidak bisa-kah untuk yang satu ini dia tidak kepo? Biarkan hanya aku yang mengingatnya sebagai Layis, teman masa kecilku-sahabat terbaik.

Jam pulang. Tidak heran jika jalanan padat merayap. Pelajar, pekerja, bahkan orang-orang yang tidak ada pekerjaan tumpah ruah.

Beruntung bus yang kami tumpangi tidak begitu sesak, meski terisi penuh di jok belakang dan beberapa orang berdiri tapi untuk jok depan hanya diisi tiga, aku, Echa, dan Sopir yang sudah seperti Abang sendiri.

"Neng Cantik tumben nggak cerita-cerita," ucap Abang Badai ketika bus yang dijalankannya berhenti di pertigaan, lampu merah menyala dan biasanya memakan waktu satu menit.

Aku menghitung mundur. 60-59-58-57......

"Sariawan, Bang." Echa yang menjawab karena yang dipanggil Neng Cantik adalah aku sedang dia si Nona Manis.

Aku melanjutkan hitungan yang sempat tertunda oleh percakapan dua orang di sebelah, tapi lupa sampai mana? Akhirnya aku memilih menyenderkan punggung, memejamkan mata.

"Sudah minum vit. C?"

"Belum, Bang." Lagi-lagi Echa yang menjawab. Kubiarkan saja. Toh dia yang memulai kebohongan tentang penyakitku.

Hening. Sepertinya Bang Badai menjalankan kembali busnya, pelan. Mungkin perjalanan pulang kali ini akan lebih lama mengingat banyak orang memiliki tujuan yang sama.

"Sampai mana?" Aku bertanya ketika kurasa bus mulai berjalan cepat. Masih dalam keadaan mata terpejam.

"Tenang, Neng. Nanti kalo sudah sampai Abang bangunin, tidur saja, Neng Cantik kan lagi sakit," suara Bang Badai.

Di sebelahku Echa terkikik geli, refleks kucubit pinggangnya, terdengar dia mengaduh.

"Kenapa Non?"

"Nggak pa-pa, Bang."

Gantian aku yang tersenyum. Hilang sudah rasa kantukku.

"Eh lihat!" Echa tiba-tiba menunjuk depan. Kebetulan bus berhenti lagi. Kali ini di perempatan. Tapi fokusku bukan pada lampu merah atau mobil-mobil yang berbaris, melainkan pada layar besar yang menampilkan wajah seseorang.

"Denger-denger nih, dia bakal jadi next Hadi Kusuma." Echa bersuara, aku tidak menyimak. Aku tahu siapa orang itu.

"Artis ya, Non?" Abang Badai bertanya lugu dan entah kenapa justru membuatku tersenyum. Ternyata ada hal dari dirinya yang bisa ditertawakan.

Echa menoleh, "bukan, Hadi Kusuma itu pengusaha terkaya ke dua di Indonesia."

Abang Badai mengangguk seolah mengerti, "trus duitnya itu sebanyak apa?"

Echa terbahak, aku tersenyum lagi. Rasanya lucu membicarakannya dalam keadaan seperti ini. Tidak sulit ternyata.

"Ih, si Neng tersenyum," celetuk Bang Badai

Aku tersipu malu karena ketahuan.

"Nggak usah dibayangin! Duitnya nggak bisa dihitung," ucap Echa yang mencoba mengalihkan suasana.

"Trus kalo nggak bisa dihitung, dia pasti hidup tenang, nggak kuatir kalo libur sehari," timpal Bang Badai yang seolah menyisipkan curhat kehidupannya. | Cerpen Romantis Sebuah Kisah Arti Dari Cinta  

"Jangan salah, orang kaya ada yang tidak tenang hidupnya. Mereka terus berpikir untuk mempertahankan kekayaan, menambahnya---banyak pikiran lah. Masih mending kita-kita ini Bang, paling pikiran kita hanya seputar gimana besok bisa makan? Tidur di tikar ja sudah nyenyak, coba suruh mereka, beuhhh, encok-encok tuh punggung." Echa berkata bijak, sesuai pemahaman yang bisa dijangkau Bang Badai.

Aku tersenyum. Itu juga yang ingin kusampaikan padanya dulu. Bukan. Bukannya tidak suka dia menjadi Hadi Kusuma, tapi bagaimana dia tetap mempertahankan diri yang bersahaja, penuh senyum, tanpa beban.

Sekarang lihatlah! Dia menjadi asing dan tak tersentuh. Wajah yang dingin juga angkuh, senyumnya terkesan sinis serta meremehkan, seolah mempertegas bahwa dia lebih tinggi dari siapa pun dalam segala hal.

Dia bukan Layis-ku, dia Hadi Kusuma. - Bersambung -