Sebuah Cinta Yang Diawali Dengan Benci Part 2

Membunuh Yang Paling Manis Part 2 (End)

Hidup itu seperti sebuah ombak yang menerjang karang. Sekalipun sakit, keduanya akan tetap bertahan. Memang begitulah takdir mereka. Meski sang ombak selalu mengatakan kalimat yang sama.

Seperti diriku saat ini.

Tangan bergetar saat memegang sebuah pistol. Apakah ini benar? Masahiro tidak mungkin membunuh mereka hanya karena soal bisnis atu dia memang seperti itu?

Klik.

Aku menutup mata saat menekan pelatuk dan mengarahkannya tepat di kepala Masahiro. Hanya ada satu peluru di dalam Magazine. Bagaimana bisa tahu? Hanya insting saja. Lagi pula benda itu pun aku dapatkan dari laci di ruang kerja Masahiro. | Cerpen Cinta Sebuah Cinta Yang Diawali Dengan Benci Part 2

Aku tidak tahu dia masih tidur atau sudah sadar, hanya menunggu waktu yang tepat untuk membalikkan keadaan maka aku akan mati. Itu yang ada dalam pikiranku saat ini.

Bunuh dia

"Kaukah itu, Sarra?"

Seketika tubuhku menegang, bahkan untuk memegang pistol saja aku harus menggunakan kedua tangan kedepan, mengarahkan ujungnya ke Masahiro.

"Ya, ini aku."

Suara serak karena tertahan oleh emosi.

Masahiro tidak bergeming sedikitpun. Aku merasa seperti seorang pembunuh jika seperti ini. Ya, tapi dialah pembunuh yang sebenarnya.

"Apa kau yang telah membunuh orangtuaku?"

Dia bangkit dan menatap kedua mataku. Tatapan itu sulit untuk diartikan. Datar, dingin dan tenang. Namun, sekilas aku melihat kegetiran di iris kelamnya. Cahaya remang-remang dari bulan memberi kesan yang menegangkan seperti dalam film Jepang, entah apa itu judulnya.

"Jawab!" Aku berteriak padanya, sedikit mundur ke belakang saat dia mendekat.

Masahiro berdiri tepat dihadapanku. Kedua tanganya tidak membawa apapun. Kosong.

"Jawab aku, apa benar kau yang telah membunuh mereka?"

Hening.

"Ya."

Deg!

Seperti ada puluhan belati yang menusuk, dan ini sulit untuk menjelaskannya. Kalian akan mengerti bagaimana rasanya saat orang yang kita cintai mati di hadapanmu.

Jadi? Pria bertopeng empat tahun yang lalu adalah dia. Masahiro! Pria yang kini telah menjadi suami dan calon ayah dari anak yang masih kukandung.

Karma macam apa ini? Jika kepahitan yang kukecap selama ini adalah perbuatannya. Dia dalangnya!

"Kenapa?"

Aku terisak.

"Kau tidak akan mengerti meski aku menjelaskannya padamu."

"Kalau begitu buat aku mengerti!"

Aku mulai gelap mata. Seperti terpacu oleh hormon ardenalin yang luar biasa. Membentak dan menodongkan pistol layaknya seorang tokoh protagonis dalam film London Has Fallen atau James Bond yang sering aku tonton ketika senggang.

"Aku pembunuh bayaran."

"Apa?" tanyaku tidak percaya.

Apa lagi ini? Pembunuh bayaran. Siapa dia sebenarnya? Kenapa putaran hitam itu terasa dalam mengelilinginya, dan untuk apa dia melakukan pekerjaan keji seperti itu.

"Akulah yang membunuh mereka atas permintaan orang yang selama ini dekat denganmu. Dia juga bagian dari organisasi yang sama denganku."

Siapa?

Seolah mengerti isi hatiku, Masahiro mengucapkan satu nama yang sangat melekat dalam memoriku.

"Pria yang selama ini kau anggap Kakak olehmu."

"Kau bohong! Dia adalah Kakakku."

Memang aku berpikir jika dia pelakukanya, tapi, saat ia memberikan sebuah bukti membuatku tidak bisa percaya begitu saja dengan kata-kata Masahiro.

"Dia bukan Kakak kandungmu, Tamaki hanya seorang anak yang diadopsi olek kedua orangtuamu karena kedua orangtuanya meninggal."

Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

"Tamaki berpikir kedua orangtuamulah dalang atas kematian itu. Jadi," terhenti.

"Dia membayar seseorang untuk membunuh," tambahku sendiri.

"Ya. Tapi dia tidak membayarku, jika aku bisa menghabisi adik dan orangtua angkatnya. Maka dia akan menjauh dari Sanada."

Sanada? Ah ya, jadi begitu. Intinya mereka merebutkan seorang wanita.

Jadi, kakak yang aku cari selama empat tahun ini adalah ... aku tidak sanggup melanjutkannya. Padahal ia tidak merasa kurang kasih sayang sedikitpun. Ayah dan ibu selalu menyayanginya. Bahkan aku tidak percaya kalau dia bukan saudara kandungku.

Masahiro mencoba untuk mendekat dan meraih pistol, sebelum itu terjadi aku sudah lebih dulu menekan dan selanjutnya, terdengar suara pistol yang membuatku bergetar dengan berbagai rasa antara takut, gelisah dan khawatir.

Dor!!

Masahiro tertembak! Aku ketakutan.

Lalu jatuh terduduk di hadapannya. Menangis dan melempar pistol kearah kanan dan membentur lemari.

"Maaf," ucapku disela-sela isak tangis.

Masahiro memelukku. Telapak tangan kanan itu penuh dengan darah.

Kakek dan Masahiro menjelaskan panjang lebar tentang semua kejadian yang menarik diriku ke dalam lingkaran hitam itu.

Maksudnya hanya kakek yang menjelaskan, sedangkan Masahiro duduk tenang sambil memperhatikan setiap ekspresi yang aku perlihatkan. Hal itu cukup membuatku gugup.

"Sanada berselingkuh dengan Tamaki dan sejak saat itu dia berpura-pura mencintai wanita ular itu," ungkap Yamato Higashide dengan nada tidak suka yang kentara.

"Jadi? Sanada membenciku karena Tamaki. Lalu kenapa Masahiro juga bersikap seolah aku adalah hama yang harus di basmi?"

"Untuk melindungimu."

Aku melihat sepasang mata hitam itu dalam, mencari sesuatu yang membuatku tidak mempercayai semua yang di jelaskan oleh kakeknya.

Tapi nihil.

Itu artinya, jika aku berhasil membunuh Masahiro kemarin malam, maka Tamaki akan memiliki Sanada sepenuhnya. Setelah itu dia akan membunuhku karena dulu Masahiro tidak sanggup melakukannya.

Dengan cepat aku memeluk Masahiro.

"Kau akan memaafkanku atas apa yang aku lakukan di masalalu?"

"Aku tidak tahu," jawabku jujur.

Jika aku mampu, aku ingin membunuhnya dengan kedua tangan ini. Darah dengan darah. Agar ia tahu seperti apa rasanya darah mengalir dari tubuhmu.

Namun tidak semudah itu.

"Aku dulu dibutakan oleh cinta. Lalu, saat aku melihatmu di ambang kematian ... membuatku sadar. Tidak seharusnya aku melakukan hal itu."

Masahiro memelukku lebih erat dari sebelumnya. Mengirimkan rasa hangat dan sayang yang tidak pernah aku lihat selama menikah dengan dirinya.

"Apakah kau yang selama ini melindungiku?"

"Ya," bisik Masahiro.

Dialah, seseorang yang dari kejauhan melindungiku. Dialah, orang yang selama ini menanggung semua rasa bersalah. Membunuh orang yang aku cinta. Tapi dialah satu-satunya yang orang tetap berdiri dalam kegelapan untuk memastikan aku baik-baik saja. Lalu, pantaskah dia mendapatkan maaf dariku?

Jika membunuh adalah dosa, biarkan aku mencintainya dengan tulus. Bukankah itu cara membunuh yang paling manis untuk melupakan semua yang telah berlalu.

Ini masa depan.

"Aku mencintaimu, Hime."

Mungkin cinta itu mulai tumbuh tanpa aku sadari. Aku percaya, Masahiro bukanlah kegelapan yang tidak berdasar. Ia masih memiliki cahaya.

Semakin besar keinginan untuk membunuhnya maka semakin besar pula rasa cinta itu tumbuh. Bukankah begitu hukum cinta.

Tidak ada kompromi untuk kebencian dan cinta. Keduanya sama-sama saling tarik-menarik layaknya magnet.

"Apa?" tanya Masahiro tidak percaya.

"Aku hamil."

Coba tebak. Apakah dia akan berteriak 'aku akan menjadi seorang ayah' dan tertawa penuh kebahagiaan, lalu mencak-mencak tidak jelas seperti orang gila?

Tidak.

Sayangnya Masahiro bukanlah orang yang mudah mengekspesikan kebahagiaan itu. Lalu?

Dia mencium dan membawaku ke dalam kamar kami. Kami? Ya, sejak penembakan yang aku lakukan waktu itu, dan semua permasalahan akhirnya selesai, Masahiro memutuskan untuk memboyongku ke kamarnya.

Sebagai seorang istri yang seutuhnya.

"Apa yang kau lakukan," cegahku saat tangannya mencoba membuka kancing piyama longgar milikku.

Sebelum aku memberontak lebih jauh bibir tegas dan menggoda miliknya meraup bibirku, mengecup dan membelitkan lidahnya sambil mengabsen gigi-gigi.

Tidak ada nafsu yang mengiringi, melainkan sebuah cinta yang terpancar dari kedua iris hitam itu. Ini gila! Rasanya seperti mabuk kepayang. | Cerpen Cinta Sebuah Cinta Yang Diawali Dengan Benci Part 2

Masahiro tidak bisa berhenti, ketika mendengar desahan yang tertahan dariku. Kami saling menatap satu sama lain. Mendorong tubuhku untuk semakin dekat dan dekat.

"Aku mencintaimu," bisik Masahiro.

Aku mencintaimu, jawabku di dalam hati.

Masahiro kembali merengkuhku dan membawa kami dalam puncak kenikmatan dan ...

(Sensor)

Kami saling memiliki. Sejak saat itu, aku berpikir kalau kebencian seseorang akan mudah berubah menjadi cinta. Membunuh yang paling Manis adalah mencintainya dengan tulus.

Itulah yang aku katakan beberapa kali.

End