Aku menatap Irene yang melangkah pergi meninggalkan tempat parkiran itu, tanpa perduli lagi pada Johan dan teman-temannya, apalagi sekitarnya, Sesaat mengela napas lega, lalu kulangkahkan kaki menghampiri Johan yang masih dikerumuni teman-teman Irene, si gadis Yogya dan dua orang satpam Mall itu. Kedua satpam memandangku dengan pandangan menyelidik, "Ada apa tadi, Mas? Sepertinya sedang terjadi keributan di sini?", Aku tersenyum. Menjawab sambil tertawa, "Gak apa-apa kok, Pak. Biasalah ... ini teman saya, cekcok sama pacarnya, gadis yang barusan pergi itu. Tapi karena pacarnya itu galak dan jago bela diri, yah ... beginilah dia jadinya. Habis dipukuli pacarnya sendiri!". | Cerpen Cinta Kisahku Dan Irene Si Gadis Macan Betina Bagian 5
Kedua satpam itu manggut-manggut, memahami.
"Hhmm ... dasar anak muda! Ributnya urusan cinta melulu."
Satpam yang satunya ikut menimpali.
"Iya. Tapi kalau ribut-ribut gitu, jangan di tempat keramaian umum dong."
Aku tertawa.
"Masa mau ribut, mesti direncanain dulu, Pak? Siapa juga yang mau ribut di keramaian gini?"
"Iya, ya! Tapi jangan langsung ribut gitu juga, kalau ada masalah. Simpan dulu ributnya, sampai di rumah atau tempat sepi yang gak menarik perhatian."
"Hehehe .... Dikantongin dulu ya, Pak?" balasku bercanda.
Kedua satpam itu tertawa.
"Ya udah, Mas. Kami permisi dulu. Untunglah cuma ribut-ribut biasa aja."
"Iya, Pak. Terima kasih sudah datang membantu," kataku sambil menyalami kedua satpam itu.
Keduanyapun berlalu, kembali ke dalam Mall. Sesaat aku menatap kedua satpam itu, sampai menghilang ke dalam gedung Mall. Lalu aku berbalik menatap Johan. Johan tampak telah pulih seperti biasa. Ia tersenyum seraya berkata, "Makasih, Lann."
Aku balas tersenyum. Lalu ....
Buukk ...!
Tinjuku keras mendarat di wajah Johan! Johan terhuyung-huyung ke belakang. Yang lainnya memekik, terkejut. Sesaat Johan mengusap-usap wajahnya. Lalu menatap aku dengan pandangan bingung.
"Lann?"
Aku kembali tersenyum.
"Itu untuk kekecewaanku karena punya sahabat sebodoh kamu. Dan juga kekesalanku, karena kebodohan kamu, aku terpaksa melanggar prinsipku! Melanggar janjiku sama Mama, dan bertarung melawan Irene," kataku dengan nada datar saja.
Johan hanya diam menunduk.
"Maaf, Lann," katanya lirih.
Aku tersenyum sambil menepuk-nepuk bahunya.
"Ya udah, pulang yuk! Aku duluan ya ...."
Esok sorenya, saat tengah berlatih di Dojo, Bambang datang menghampiri aku.
"Laann! Ada yang nyariin tuuh!" teriakannya datang mendahului orangnya.
Aku menoleh, menatap heran, melihat Bambang senyum-senyum lebar menggoda.
"Lagi kenapa kamu?" tanyaku dengan mimik dibuat serius, "ada yang nyariin aku, tapi kok malah kamu yang kelihatan senang?"
"Hehehe .... Yang nyariin kamu, spesial tuh, Lann!" jawabnya, "coba kalau aku yang dicariinnya."
Aku mengkerutkan alis karena heran.
"Siapa sih?"
"Udaah ... liat aja sendiri! Cepetan, gih! Tuh, udah banyak yang ngrubungin. Keburu diambil orang ntar!" jawabnya masih sambil menyeringai menggoda, "tuh, orangnya nunggu, duduk di kursi dekat samsak."
Aku melangkah dengan hati penasaran. Siapa sih? Sampai segitunya, si Bambang ....
Sesampainya di sana, kulihat beberapa teman Dojoku, sedang mengerumuni dua orang gadis. Salah satunya, langsung menarik perhatianku. Irene ...? batinku terkejut, hhmm ... ada apa nih? Masa mau ngajak bertarung di sini?
Perlahan aku menghampirinya. Teman-teman lain, begitu melihat aku datang, langsung minggir memberi jalan.
"Eh, ada Lanna tuh."
"Nih, yang dicari dah datang."
"Minggir-minggir! Kasih ruang dong buat yang mau ketemuan."
"Yee, jangan cuma minggir! Bubar-bubar! Orang lagi ada perlu, ngobrol, malah dirubungin!"
Ramai mereka berceloteh. Irene hanya tersenyum tipis seraya menatap aku. Akhirnya mereka membubarkan diri, sambil senyum-senyum menggoda. Meninggalkan aku, Irene dan temannya.
"Hai ... gimana kabarnya?" sapaku ramah.
"Masih seperti semalam, Lann," jawab Irene lirih, "maaf aku langsung kemari, mengganggu waktu latihan kamu."
"Gak papa kok. Kebetulan gak lagi pelajaran utama. Cuma latihan-latihan ringan aja," kataku membalas, "ada apa nih?"
Sesaat Irene menatap aku.
"Kamu memukul Johan?" tanyanya tajam, "Tadi siang, Johan telpon ... cerita semua kejadian setelah aku pergi. Kenapa kamu pukul Johan, Lann? Karena ... aku?"
Aku tersenyum.
"Gak kok. Aku cuma kesel aja, lihat kebodohan dia, yang bikin aku jadi terpaksa melanggar prinsipku sendiri."
Sesaat Irene terdiam. Lalu dengan hati-hati bertanya, "kamu menyesal, mau bertarung sama aku? Masih merasa berat?"
Aku mengela napas ....
"Masih tetap berat. Tapi akan aku lakukan kalau memang itu bisa membantu menghilangkan beban kamu karena Johan. Lagipula, aku sudah bersedia. Aku gak akan membatalkannya sendiri."
Irene kembali menatap aku.
"Terima kasih, Lann. Tapi aku minta, jangan sungkan atau menahan diri, karena berpikir aku lawannya. Aku ingin, kamu benar-benar bertarung, seperti saat dalam pertandingan kejuaraan."
Aku tersenyum tipis.
"Aku tetap tak bisa terlepas dari pikiran, bahwa lawanku seorang wanita."
Irene mengela napas panjang. Sesaat memandang ke samsak yang tergantung tak jauh dari tempat kami. Lalu perlahan melangkah menghampiri. Dan tiba-tiba, ia melayangkan tendangannya dengan cepat!
"Hiiaaahh ...!" Buuuaakkk!
Samsak dengan tinggi lebih dari satu meter, dan berat sekitar 30 kilogram itu, terdorong keras kebelakang! Lalu terayun-ayun dengan kencang. Hingga terdengar suara berderik-derik dari rantai pengikatnya. | Cerpen Cinta Kisahku Dan Irene Si Gadis Macan Betina Bagian 5
Teman-teman lainnya, yang mendengar suara tendangan keras itu, menatap dengan pandangan terkejut dan kagum. Aku sendiri berdecak kagum dalam hati, Tendangannya benar-benar kuat untuk ukuran wanita, bahkan mungkin melebihi rata-rata karateka di sini! Samsak sebesar itu, sampai terdorong dengan kuat! Padahal yang ia tendang adalah bagian atasnya. Bagaimana kalau kepala orang yang kena? gumamku kagum, Irene menatap aku tajam. Bahkan napasnyapun tak nampak terengah sama sekali.
"Jangan pernah sungkan dan menahan diri, Lann," suaranya terdengar tegas, bahkan terkesan mengancam, "aku tunggu nanti malam, jam 7, di Dojo aku.", Lalu ia berlalu pergi. Aku menatapnya sampai ia menghilang dari pandangan. Entah kenapa, kini adrenalinku terpacu. Aku merasa tertantang untuk mengalahkannya ...!
- Bersambung -