Kisahku Dan Irene Si Gadis Macan Betina Bagian 4

"Gimana, Lann?" suara Irene tajam bertanya, Aku masih terbengong diam. Terkejut oleh permintaan Irene. Irene mengempaskan napas. Lalu melangkah cepat, kembali menghampiri Johan, yang kini terduduk di lantai. Aku terkesiap ... cepat berusaha mencegah Irene, "Ir! Ntar dulu dong! 
Nggak usah pake bertarung segala gini, kan bisa. Udah cukuplah," kataku mencoba terus membujuknya. | Cerpen Cinta Kisahku Dan Irene Si Gadis Macan Betina Bagian 4

Irene menghentikan langkahnya. Lalu menatap aku tajam.

"Kamu mau gak?" desisnya.

Aku mengela napas.

"Aku gak mungkin bertarung lawan kamu. Apalagi dengan alasan seperti ini!"

Irene hanya mengangkat bahunya dengan sinis. Lalu melanjutkan langkah, menghampiri Johan.

Ya ampuun! Nih cewek satu, bener-bener! batinku mengeluh. Cepat aku menghalangi Irene.

"Ir, tahan dulu! Jang ...," aku tak sempat menyelesaikan kalimat. Sebuah tendangan dari Irene meluncur deras ke wajahku! Reflek, dengan cepat aku menghindar mundur. Kaget juga dengan serangan tiba-tiba itu.

Irene berdiri menatapku.

"Kamu gak akan bisa menghentikan aku, kecuali bertarung melawanku!" suaranya tajam terasa menusuk telinga.

Aku mengeluh dalam hati. Ya ampuun! Keras kepala banget nih Macan Betina! batinku setengah memaki. Haduuh ... malah jadi gini! Gimana ya?

Irene memutar badan, melanjutkan langkahnya lagi. Aku geleng-geleng kepala tak tahu mesti bagaimana. Namun iba juga, bila mesti melihat Johan yang sudah tak berdaya, menjadi bulan-bulanan Irene.

"Ir ... tolong jangan. Udahi ajalah," kataku sambil melangkah mengejarnya.

Irene membalikkan badan, menghadapi aku. Lalu, langsung meluncurkan pukulan tinjunya ke arahku! Aku yang sudah bersiap akan serangan dari Irene, cepat menepis pukulan itu. Tapi pukulan demi pukulan, menderu susul menyusul. Cepat dan tepat mengarah pada sasaran. Aku terus menangkis, sambil melompat jauh ke belakang. Irene tidak mengejarku. Ia hanya menatap tajam. Lalu berbalik, kembali menghampiri Johan.

Aku terkesiap! Jarakku terlalu jauh dari mereka berdua. Takan sempat, bila harus mencegah dengan berdiri menghalangi di antara mereka.

Benar-benar Macan Betina! Pintar sekali! Dia tahu, aku gak akan melawan. Jadi sengaja menyerang, hanya untuk menjauhkan aku dari Johan, batinku bergumam.

Saat aku terpaku dalam kebingungan, langkah Irene semakin dekat menghampiri Johan. Tiba-tiba, nampak dua lelaki berseragam datang mendekat. Aku menarik napas lega.

Semoga dua orang satpam Mall itu bisa melerai mereka, batinku berharap.

Langkah Irene terhenti. Ia tertegun melihat dua orang satpam itu. Lalu berbalik, kini melangkah cepat menghampiri aku lagi! Aku dibuatnya terheran.

Lho? Kenapa dia malah menghampiri aku? Apa mau meneruskan bertarung dengan aku? pikirku bingung.

Spontan aku bersiap-siap, menghadapi serangan yang mungkin akan datang.

Irene terus melangkah, mendekati aku, sampai tepat di depanku. Bahkan terlalu dekat! Wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. Aku semakin bingung dibuatnya. Kutatap ia dengan perasaan bercampur baur ... heran, bingung, cemas, masih dengan tubuhku bersiaga menghadapinya.

Irene lama menatap tajam wajahku. Tak memperdulikan di belakangnya, dua orang satpam itu tengah membantu dan menanyai Johan, yang kini dikerumuni teman-teman Irene dan si gadis Yogya.

Lama saling bertatapan, membuat aku jadi salah tingkah karena bingung. Belum sempat aku bicara, Irene telah mendahului.

"Lann, aku belum puas! Kamu pasti bisa mengerti sakit yang aku rasakan atas perlakuan Johan ini. Sebagai wanita biasa, mungkin aku hanya akan menangis, meratap. Tapi sebagai karateka, aku gak akan diam! Darah karateka-ku menggelegak, gak bisa terima! Aku akan hajar Johan sepuas hatiku! Sesakit seperti sakit yang aku rasa! Dan aku gak akan perduli, siapapun yang menghalangi! Aku gak perduli bila aku mesti menghadapi dua orang satpam itu, sebelum menghajar Johan!" kata-katanya terdengar tajam menusuk, penuh emosi dan luka, "tapi akal sehatku masih jalan ... masih bisa berpikir! Masalah akan semakin panjang, dan resiko apa yang akan terjadi. Walaupun aku gak perduli itu semua!"

Perlahan, air bening bergulir dari sudut mata Irene ... membuat aku tercekat.

"Namun saat aku melihatmu, aku menemukan jalan keluar yang lebih baik. Jadi aku minta ... gak, aku mohon sama kamu, Lann. Tuntaskan darah karateka-ku yang menggelegak ini! Puaskan dendam ini, agar berkurang sakit yang aku rasa. Bertarunglah dengan aku, Lann! Hanya dengan begitu, dendamku akan terpenuhi, tanpa berpanjang masalah dan resiko lainnya! Tolong, Lann ...," katanya penuh harap.

Aku terpaku diam! Sungguh-sungguh tak menyangka, kata-kata itu yang akan keluar dari mulut Irene. Bertambah kebingungan yang memenuhi hati dan kepalaku. Aku bisa memahami sakit yang Irene rasakan. Dan sebagai sesama karateka, aku juga bisa memahami, gejolak darah karateka-nya yang menggelegak, tidak bisa menerima dan menuntut pembalasan atas perlakuan tidak adil yang ia rasakan! Namun, aku telah berprinsip! Gak mungkin aku bertarung dengan wanita, apalagi dengan alasan seperti ini, yang sebenarnya bukan masalah pribadi aku sendiri. Irene lama menatap aku. Seakan tahu, keraguan hatiku. Ia lalu meraih tanganku, menggenggamnya, seraya lirih berkata, "Tolong, Lann ...."

Aku mengempaskan napas panjang ... sangat berat! Tak mampu berkata, tak mampu menjawab .... Irene menundukkan wajah dengan kecewa. Setetes air matanya jatuh di tanganku yang masih dalam genggamannya. Terdengar napasnya panjang mengempas. Ia melepaskan genggamannya. Lalu mengangkat wajah, menatap aku tajam. Sorot emosi dan luka kembali terpancar di mata yang masih memerah, berkaca-kaca! Lalu ia membalikkan badan, melangkah kembali menghampiri Johan, dengan tangan terkepal kencang!

Aku terkesiap! Ia akan nekat! batinku berseru! Sesaat aku berpikir .... Lalu mengela napas sedalam-dalamnya, seraya lirih berbisik dalam batinku, maafin aku, Mama. Lalu kuraih pundak Irene. Ia berhenti, menoleh padaku. Aku mengengguk perlahan sambil tersenyum. Wajah Irene sesaat berubah, terbias senang. | Cerpen Cinta Kisahku Dan Irene Si Gadis Macan Betina Bagian 4

"Tapi ini kumite biasa, bukan pertarungan balas dendam!" kataku tegas. Irene tersenyum, mengangguk. "Makasih, Lann ...."

- Bersambung -