Kisahku Dan Irene Si Gadis Macan Betina Bagian 7

Perlahan-lahan, cahaya terang memancar ... saat kubuka kedua mataku. Kutatap langit-langit ruangan yang serasa telah akrab denganku, Ruangan kamarku sendiri, Lalu menoleh ke kanan Mama tersenyum menatapku. Dan sebuah suara sember yang khas terdengar dari sebelah kiriku, "Udah sadar, Lann? Udah puas pingsannya?", Aku menoleh, menatap kakak yang terlihat menyeringai meledek, "Belum," jawabku perlahan seraya mencoba bangkit, Masih terasa seakan ada berkilo-kilo besi yang memberati kepalaku. Mama membantuku bangkit, "Hati-hati, Lann. Jangan bangun dulu kalau masih pusing," kata beliau dengan nada cemas. | Cerpen Cinta Romantis

Kakak mengangsurkan segelas air putih kepadaku.

"Nih, minum dulu."

Aku tersenyum.

"Gak papa kok, Ma. Cuma masih rada berat kepalanya. Biar aku duduk aja ... ntar kalau dibawa tiduran terus, malah gak enteng-enteng," kataku seraya menerima gelas yang kakak sodorkan, "makasih, Kak.", Kasih balon gas tuh kepala, biar enteng!" sahut kakak dengan nada meledek, Aku memelototi kakak, yang memang biasa selalu bercanda, dalam keadaan apapun. Lalu meminum air dalam gelas itu, beberapa teguk. Kakak, yang dari tadi memandang dengan wajah penasaran, tak sabar lagi untuk bertanya, "Jadi, kamu bertarung lawan cewek, Lann? Dan kamu kalah?" tanyanya dengan nada setengah tak percaya.

Aku tertegun sejenak. Lalu memandang Mama dengan pandangan bertanya. Mama tersenyum, menjawab untukku, "tadi ada dua orang bapak-bapak dan seorang gadis, mengantarkan kamu ke sini. Gadis itu udah cerita semua. Bagaimana kamu bertarung dengan dia, dan apa alasannya hingga kalian bertarung. Ia bilang, kamu pingsan setelah terkena tendangannya. Salah seorang Bapak-bapak itu, katanya bekas mantri kesehatan. Dan setelah diperiksa, kamu gak apa-apa, cuma pingsan biasa. Jadi mereka langsung membawa kamu kemari," Mama bercerita panjang lebar, "ia juga tadi minta maaf sama Mama. Karena ia telah memaksa kamu, melepaskan prinsip kamu, dan melanggar pesan Mama. Apa kamu cerita itu semua, sebelum bertarung dengannya?"

Aku mengela napas seraya mengangguk perlahan.

"Maaf ya, Ma."

Beliau tersenyum sambil mengusap-usap pundakku.

"Mama yakin, semua itu kamu lakukan, pasti dengan alasan yang benar."

Kakak masih saja bertanya dengan nada tak percaya.

"Kamu kalah? Bertarung lawan cewek, Lann?"

"Nanya lagi! Udah tau aku pulangnya digotong gitu," jawabku dengan nada sewot.

"Udahlah! Kamu mau makan dulu, apa tidur lagi? Udah jam sebelas malam nih," Mama menengahi.

Sesaat aku terdiam. Lalu beranjak bangkit.

"Aku ke kamar mandi dulu lah, Ma. Terasa lengket dan gak nyaman di badan."

"Hati-hati ... pelan-pelan aja jalannya. Perlu ditemani gak?"

"Udah kuat kok, Ma. Gak papa, aku bisa sendiri."

Kakak masih saja usil bertanya, "beneran, Lann? Kamu kalah?"

Aku sempatkan meraih bantal di pinggir pembaringan, dan melemparkannya ke muka Kakak.

Sebulan telah berlalu. Suatu minggu pagi, di sebuah kejuaraan tingkat kabupaten, aku melihat Irene tengah dikerumuni temen-teman karatenya, usai menyelesaikan sebuah pertandingan. Iapun melihat aku, lalu berjalan menghampiri, "Hai, Lann. Gimana kabarnya?" sapanya ramah dengan senyum manis di bibir. Namun masih terlihat sedikit mendung di mata indahnya.

"Alhamdulillah, baik-baik aja. Kamu sendiri gimana?"

Irene mengela napas sesaat.

"Udah jauh lebih baik. Maaf ya, setelah mengantar kamu pulang, aku gak menemui kamu lagi. Aku mesti menenangkan diriku. Menuntaskan semua masalah dengan Johan. Dan melupakan sakit hatiku, hingga aku bisa beraktifitas lagi seperti biasa."

Aku tersenyum.

"Iya, gak papa."

"Kamu, gak kenapa-kenapa, kan? Gak ada luka serius setelah pertarungan itu? Pak Dudun, penjaga Dojo, dulunya pernah menjadi asisten mantri kesehatan. Dia yang memeriksa kondisi kamu. Dan dia bilang, kamu gak apa-apa. Cuma pingsan saja," kata Irene. Ada sedikit nada cemas terasa dari suaranya.

Aku tersenyum lebar.

"Iya. Aku gak apa-apa kok. Sehat semua. Waktu itu, jam sebelasan malam, aku sadar. Trus, langsung mandi dan makan. Lalu lanjut pingsan lagi, tidur maksudnya," balasku setengah bercanda.

Ia tertawa lirih. Lalu menatapku tajam.

"Kamu hebat, Lann. Aku tahu, kamu yang menang. Kamu menghentikan pukulanmu di saat terakhir. Kenapa? Ingat pesan Mama, ya?" katanya lembut, "kamu lebih hebat dari aku. Kamu masih bisa mengontrol emosi dan serangan-serangan kamu, bahkan di saat-saat yang menjadi penentuan dalam pertarungan. Aku belum bisa seperti itu. Aku masih tak bisa cepat berpikir panjang, dan mengontrol seranganku. Baru setelah pertarungan kita selesai, aku berpikir dan menyadari ... aku sebenarnya yang kalah! Andai kamu tidak menghentikan pukulanmu itu ...." | Kumpulan Cerpen Cinta Romantis

Aku tersenyum membalasnya.

"Udahlah. Cuma pertarungan biasa, kan? Yang penting, apa yang kamu inginkan, telah terpuaskan. Dan masalah bisa selesai dengan baik."

Irene tersenyum senamg.

"Terima kasih, Lann," ucapnya penuh hangat.

Aku balas dengan anggukan dan senyum di wajah. Beberapa teman Irene terdengar memanggil-manggil namanya. Irene menoleh, melambai sesaat ke arah mereka. Lalu kembali menatapku.

"Ya udah, Lann. Teman-teman memanggilku, untuk persiapan pertandingan berikutnya. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya. Aku semakin salut dan kagum sama kamu! Gak percuma mereka menyebutmu Si Juara Kumite."

"Terima kasih kembali, Ir. Dan kamu juga pantas mendapat sebutan Si Macan Betina. Aku telah merasakannya langsung malam itu. Benar-benar seperti macan!" balasku memuji.

Irene tersenyum, menunduk dengan tersipu-sipu. Lalu membalikan tubuh, melangkah perlahan ke arah teman-temannya. Sesaat langkahnya terhenti ... lalu menoleh padaku.

Dengan wajah bersemu merah, ia lirih bertanya, "Lann ... bolehkah aku ... dekat denganmu, bila kamu sendiri ...?" suaranya terdengar penuh arti akan isi hatinya.

Aku tersenyum manis. Membalasnya dengan sebuah tanya, "maukah kamu ...?"

Wajah Irene nampak bersinar cerah. Ia mengangguk pasti, seraya tersenyum teramat manis. Sesaat terlihat, pelangi memancar kembali ... menghapus mendung yang masih tersisa di matanya.

-Tamat-