Dear Abang, yang namanya selalu dihati.
Bersama ini adik lampirkan surat permohonan perceraian untuk abang tandatangani. Adik mohon supaya Abang mempermudah prosesnya, kalau berkenan, biar Abang saja yang menjatuhkan talak pada adik, supaya cepat selesai.
Bang, Abang ingat awal pernikahan kita? Sangat tidak mudah ya? Kalau diingat, jelas adik ingin tertawa. Dulu adik mati-matian mempertahankan hubungan kita disaat orangtua adik menentang, bahkan sampai nekat menikah secara diam-diam, sampai-sampai adik dikira sudah hamil duluan. Rasanya itu adalah keputusan yang sangat bodoh. Mengingat restu Allah ada pada restu orangtua. Bukannya menyesal, tapi hanya berfikir, coba saja kalau dulu kita mau bersabar. Menunggu kedua orangtua adik membuka hati dan menerima Abang sebagaimana adanya, seraya mematangkan pola pikir kita. | Novel Sedih Dilema Tinggal Di Pondok Mertua Indah
Kemudian ketika Abang menganggur, sedangkan kita masih numpang pada orangtua Abang. Mereka memang terlihat biasa saja, tetapi dari tetangga yang sering Abang sebut 'ratu nyinyir', justru adik sering mendengar kalau Ibu sering mengeluh tentang Abang yang tidak bekerja. Katanya, Ibu mengeluh tentang berapa banyak yang dikeluarkan untuk memberi makan kita. Juga dari kakak-kakak abang, terutama yang tertua, yang bekerja jauh di ujung pulau. Yang hanya mendengar 'laporan' secara sepihak dari istrinya dirumah. Tentang abang yang tidak bekerja, tidak memberi uang pada orangtua, bahkan nama adik dibawa-bawa. Adik yang katanya kerjanya hanya makan dan tidur. Adik akui memang itulah pekerjaan adik sehari-hari, kalau mencuci piring, memasak, menyapu rumah, mencuci pakaian, mengepel, dan sebagainya tidak terhitung sebagai pekerjaan. Oh, jelas bukan pekerjaan, karena bekerja menurut mereka haruslah sesuatu yang menghasilkan uang. Adik malu, Bang, jadi adik niatkan untuk bekerja, tetapi sayangnya tidak diizinkan Ibu Abang, katanya dirumah saja, biar Ibu ada yang menemani.
Kemudian ketika abang sudah mulai bekerja lagi, terlihat jelas, perlakuan orang-orang sekitar yang berbeda. Terutama Ibu, wajahnya selalu cerah ketika tanggal gajian tiba. Tidak banyak yang bisa adik beri, dari uang sejuta yang abang kirimkan, hanya seratus ribu yang adik berikan pada Ibu. Sisanya? Abang pernah lihat adik punya lipstik baru? Atau sendal setinggi tujuh centimeter yang sedang booming? Barangkali Abang ingin tahu, adik pernah punya beberapa lipstik ketika belum menikah, adik korek isinya yang hampir habis menggunakan gagang sendok, adik kumpulkan dan panaskan dalam wadah, kemudian dimasukkan kedalam jar bekas pelembab wajah adik yang sudah lama habis. Tentang sendal, adik dulu punya satu sepatu yang cukup bagus, tapi sayang solnya sudah 'mangap', jadi adik jahit menggunakan jarum dan benang seadanya. Lalu uangnya untuk apa? Abang tahu, Ibu menuntut untuk selalu menyedikan lauk lengkap dengan sayurnya di meja makan. Bukannya adik perhitungan, tetapi adik hanya mengingat, ketika Abang belum bekerja, adik bahkan hanya memetik sayuran yang sama setiap harinya di kebun belakang rumah. Bahkan untuk makan pindang yang harganya tidak mahal saja dulu hanya bisa membeli seminggu sekali, padahal kala itu Ibu selalu mendapat kiriman uang dari kakak-kakak Abang.
Lalu waktu Abang menganggur lagi, bahkan adik selalu mendapat omelan atas hal sekecil apapun dari Ibu. Bahkan ketika Ibu punya masalah dengan orang lain, adik juga yang ikut dimusuhi. Padahal adik sudah berusaha mengatur waktu semaksimal mungkin untuk melakukan pekerjaan rumah, supaya semuanya bisa dihandle dengan baik.
Ada satu hal yang paling tidak bisa adik lupakan. Kala itu musim kemarau, adik terpaksa mengambil air dari sungai yang jaraknya cukup jauh. Saat itu abang sedang sakit, masuk angin gara-gara kehujanan ketika membetulkan atap rumah yang bergeser karena hujan dan angin kencang. Ibu masuk ke kamar dan mengambil sebungkus sirup pereda masuk angin. Tapu bukannya memberikan pada Abang yang jelas-jelas sedang sakit, Ibu malah memberikan pada adik Abang yang segar bugar, katanya supaya tidak masuk angin. Abang tahu, waktu itu adik berlari ke kebun dan memanjat pohon melinjo besar disana, kemudian menangis sesenggukan. Kalau ada orang dibawah bisa saja orang itu mengira adik adalah penunggu pohon, jelas saja, karena saat itu sudah hampir pukul lima sore. Kemudian dengan bertelanjang kaki adik berjalan ke warung milik saudara yang masih peduli, kemudian berhutang dua bungkus sirup masuk angin untuk abang.
Alhamdulilah sekarang ekonomi kita membaik, Bang. Abang mendapatkan pekerjaan yang dekat, tetapi gajinya lumayan.
Tetapi ada satu hal yang membuat adik menginginkan kita berpisah. Abang tidak pernah peduli pada adik. Abang memang selalu memberi adik uang yang cukup, tapi abang tidak pernah sekedar menanyakan apakah adik sudah makan atau belum. Abang ingat, ketika adik sakit tifus? Adik menolak dirawat dirumah sakit karena diam-diam adik mendengar Ibu yang mengeluh pada tetangga kita tentang banyaknya uang yang harus dikeluarkan apabila adik harus opname. Adik tahu diri, karena adik 'hanya' istri abang, jadi adik memilih rawat jalan, meskipun harus menahan sakit dan mual yang luar biasa. Kemudian ketika adik minta dipijat punggungnya, Abang juga menolak dengan berbagai alasan. Bukannya mau mengungkit-ungkit, tetapi ketika Abang sakit, adik tidak pernah melihat Ibu merawat Abang, selalu adik, sesibuk apapun. Tak jarang pekerjaan rumah terbengkalai dan Ibu mulai mengomel, menuduh adik sedang enak-enakan tidur. Padahal di dalam kamar adik sedang mengelap bekas muntah Abang, atau menampung air ludah Abang. Sedangkan Abang? Sekedar mengusap punggung adik saja sepertinya keberatan.
Abang juga selalu diam ketika Ibu mulai menyindir apapun tentang adik. Bahkan ketika Ibu memarahi adik karena kesalahan yang jelas-jelas tidak adik lakukan, Abang hanya diam. Bahkan ketika adik menangis di sisi Abang, Abang memilih tidur dan memunggungi adik. Atau ketika adik tidak sengaja bangun kesorean dari tidur siang, dan Ibu menyindir 'tidur pulas seperti habis bekerja di sawah', adik menolak makan malam ketika abang menawarkan dengan alasan 'adik tidak habis bekerja di sawah, jadi tidak boleh makan.' Padahal makanan terakhir yang masuk perut adik adalah bolang-baling tadi pagi. Ibu tak berhenti menyindir, seolah-olah itulah yang adik lakukan setiap hari, padahal jelas-jelas baru terjadi sekali. Dan Abang hanya diam.
Dari semua hal itulah adik memahami, kita memang tidak seharusnya bersama. Yang adik sesali adalah kenekatan dan kengototan adik waktu itu, ketika memutuskan diam-diam menikah tanpa restu orang tua. Tapi semenyesal apapun, adik jelas tidak mungkin bisa mengulang waktu, jadi hanya inilah yang bisa adik lakukan.
Adik tahu, perceraian bukanlah hal yang baik, bahkan dibenci Allah. Tetapi adik harus bagaimana, ketika Abang, satu-satunya orang yang bisa adik mintai pendapat, justru bersikap acuh?
Adik juga tahu, Abang diam karena tidak ingin melawan orang tua. Tetapi Abang juga tahu kalau orang tua Abang jelas salah, dan Abang hanya diam tanpa ada niat meluruskan.
Bang, adik kecewa pada abang. Yang selalu diam saat adik disudutkan. Yang menolak berbicara, tidak perlu membela adik, sekedar meluruskan saja adik sudah senang.
Karena mungkin menurut Abang, membela yang kenal, bukannya membela yang benar.