Pagi-pagi aku bangun dengan perasaaan berbunga-bunga. Kembali melihat tas sekolah lalu mencium wangi seragam baru yang dibelikan ibu seminggu yang lalu.
Tak sabar rasanya hatiku mengenakannya. Lalu bertemu teman-teman, bermain dan belajar bersama. Rasanya libur kenaikan kelas ini sangatlah lama.
Kulihat kotak sepatu baru yang diletakkan ibu di sudut kamar. Tertarik hati ini membukanya.
Baru hendak membuka kotaknya, aku mendengar suara ribut antara Ibu dan Ayah yang akhir-akhir ini memang semakin sering terjadi.
Terdengar mereka saling mencaci dan mengumpat. Hatiku resah.
Adu mulut kembali terjadi lagi, hingga akhirnya pertengkaran itu ditutup dengan suara pintu kamar yang dibanting keras, lalu ayah keluar dengan wajah merah padam penuh amarah.
Aku yang menatapnya penuh tanya tak dihiraukan.
Tak lama ibu keluar diiringi tangisan sambil menggendong Dani adikku, yang usianya masih 9 bulan.
Ibu bersimpuh memeluk tubuh kecilku. Tangisnya tumpah pagi itu. Deras hingga terisak, tak bisa berhenti.
Entah mengapa hatiku juga sesak menahan tangis, meskipun aku tak mengerti apa yang menyebabkan ini terjadi.
Aku urung pergi sekolah. Hanya diam di rumah. Mungkin mata ibu yang sembab ini sebabnya. Ibu tak mau bicara seharian ini. Dani yang sedari tadi menangis tak dihiraukannya. Entah lapar atau ingin minum susu. Aku tak tahu pasti.
Aku hanyalah anak kecil yang sedang berada dalam lingkaran kebingungan menghadapi tragedi yang terjadi pagi ini.
Dani terus menangis, sementara ibu memalingkan wajah dan ikut menangis juga.
Namun tak lama, ditatapnya wajah bayi kecil itu dengan rasa kasihan lalu digendongnya pergi. Aku mengikutinya dari belakang dengan perut lapar, karena sejak malam memang belum makan.
"Ibu mau kemana?" tanyaku.
Ibu menghentikan langkahnya. Terlihat bimbang dan menatapku sedih. Tampak layu wajahnya. Kali ini ia terlihat lebih lelah dari biasanya. Seulas senyum di bibir pucatnya tersungging paksa. Ia menggeleng pelan.
"Tidak nak, tidak kemana-mana..." ucapnya bergetar.
Hari demi hari berlalu. Keributan demi keributan antara Ayah dan Ibu terus terjadi.
Sering kudengar Ibu mengatakan Ayah laki-laki pemalas, laki- laki tak becus dan semacamnya. Entahlah, aku tak tahu apa artinya bagi orang dewasa.
Yang pasti kuketahui, Ibu bekerja sementara Ayah tak melakukan apa-apa. Ibu menerima banyak pakaian untuk dicuci dan disetrika demi kelangsungan hidup kami, sementara Ayah hanya berpangku tangan bermalas-malasan seharian di rumah.
Yang kuketahui lagi, Ibu sebelumnya tak pernah mengeluh walaupun ia tampak kelelahan sekali, dan kupikir jika akhir-akhir ini Ibu terdengar sering marah pada Ayah, mungkin karena Ibu sudah tak mampu bersabar lagi menghadapi kelakuan Ayah yang kurang lebih sama denganku. | Cerpen Sedih Ayah Dan Ibu
Hanya bisa minta uang dan minta makan.
Aku juga heran, kenapa orang dewasa sepertinya hanya bisa berbuat sebatas kemampuan anak sekolah dasar sepertiku.
Hari ini ibu mengajak kami pergi. Kata "cerai" sudah beberapa kali kudengar pagi ini.
Mereka berdua mengucapkannya.
Meskipun aku tak mengerti artinya, tapi aku yakin kedengarannya ini tak baik. Ibu mengemas baju-baju kami, mengendong Dani dan mengamit lenganku keluar dari rumah kecil kontrakan kami.
Tak disangka ayah keluar mengikuti kami, lalu menarik tanganku dan melarang ibu membawaku pergi.
Sakit rasanya. Tubuh dan hatiku sama sakitnya.
Mereka berebut menahanku untuk berada di sisi mereka masing-masing, sambil adu mulut saling membentak, tanpa pernah bertanya apa keinginanku.
Aku menangis. Menangis keras, terisak bahkan tak mampu menghentikan tangisku sendiri. Ibu menatapku kasihan, lalu menatap wajah ayah dengan rasa muak dan benci yang tak terbendung lagi.
Ibu melepaskan tangannya pada lenganku lalu pergi dengan tangisan bersama Dani di gendongannya.
Hari itu, hari terberat dalam hidupku.
Seumur hidup akan terus kuingat rasa sakit ketika ibu pergi meninggalkanku, membiarkanku tinggal disini bersama laki-laki tak bertanggung jawab yang kusebut ayah.
Aku akan terus menghafal peristiwa mengecewakan ini.
Kecewa mengapa Ibu tak mempertahankanku bersamanya.
Membawaku ikut pergi bersamanya dari sini, seperti ia membawa Dani serta dalam gendongannya yang nyaman.
Ibu pergi meninggalkanku bersama rasa takut karena untuk pertama kalinya aku hidup tanpa ibu di sisiku .
Aku menangis. Lama. Tak mau berhenti, bahkan ketika ayah mengajakku masuk ke dalam rumah. Ayah membentakku kasar.
"Diam, Rani...!!!" Hardiknya kejam.
"Atau kupukul kau dengan ini..." Ia menunjuk sapu yang diletakkan di dekat pintu sambil menatapku garang.
Entah mengapa tangisku tak mau berhenti hingga ayah semakin berang. Matanya menatapku nanar. Aku semakin takut dan menangis keras.
Ia lantas memukul badanku bertubi-tubi. Menumpahkan kekesalannya pada ibu, juga pada keadaan.
Mungkin juga pada hidupnya yang tak pernah ia ubah dengan sikap yang baik.
Aku mengaduh minta dikasihani, namun ia tetap menghujaniku dengan pukulan tanpa henti, hingga seluruh tubuhku memar dan sakit.
Aku meratap dalam sakit yang dirasakan jiwa dan tubuh kecilku.
Aku menatap ayah dengan rasa kecewa karena sosok yang mestinya menghujaniku dengan kasih sayang dan perlindungan malah menghujaniku dengan pukulan dan sumpah serapah.
Sakit. Tak pernah sesakit ini.
Aku terbangun dengan mulut yang mengerang ketika melihat samar wajah wanita yang sangat kukenal. Hampir melompat kegirangan begitu melihat wajahnya yang kelamaan nampak dengan jelas.
" Ibu.." Kataku riang diantara perih tubuh yang lebam. Ibu mencium pipiku.
"Ibu disini nak, kita akan sama-sama di sini, di rumah Nenek".
"Ayah mana?"
"Kami berpisah, entah ia dimana"
Mata bening ibu basah oleh air mata ketika mengatakannya.
Hari-hari ku nyaris sempurna sebulan ini semenjak tinggal bersama di rumah Nenek. Tak ada lagi kecemasan. Tak ada lagi rasa sedih dan takut.
Bahagia, itulah yang kurasakan.
Sampai suatu hari kulihat ibu tampak sibuk mengurus sesuatu.
Ada kata yang sering kucuri dengar, yakni 'TKW'. Aku tak paham maksudnya. Sejenis kota kah? Atau semacam...entahlah. Sulit bagi anak kelas 4 SD sepertiku untuk menerka-nerka artinya.
Seminggu lamanya Ibu sibuk mengurus beberapa hal terkait kata yang sering kudengar itu.
Hingga pada suatu hari, Ibu bilang akan pergi meninggalkan kami beberapa waktu yang lama untuk bekerja di luar negeri.
Takut. Perasaan yang ada di benakku saat ibu mengatakan hal itu.
Hingga ketakutanku semakin menjadi siang itu, ketika ia membawa satu tas berisi pakaiannya.
Meninggalkan tubuh kecil yang menatapnya terluka dan diam-diam mengeluarkan air mata.
Saat itu juga perasaanku langsung tak enak. Rasa sedih kembali menyelimuti hatiku. Beberapa lama mungkin saja artinya aku dan Dani akan ditinggalkan ibu dalam waktu yang tidak tahu sampai kapan.
Aku hanya diam namun menangis dalam batin. Tangis yang tak bisa keluar meskipun ingin menangis sekerasnya sambil memohon pada ibu untuk tetap berada bersama kami disini.
Ibu tak peduli perasaan kami bagaimana. Ia tak pernah bertanya suka atau tidak kami ditinggalkan, tak pernah bertanya benarkah apa yang ia cari jauh-jauh keluar adalah hal yang saat ini kami butuhkan, padahal aku merasa dialah segala yang aku dan adik butuhkan. | Cerpen Sedih Anak
Aku merasa yatim piatu, lebih yatim piatu daripada mereka yang tak punya ibu bapak selagi kecil. Aku mempunyai keduanya, tapi serasa tak punya siapa-siapa kecuali Nenek yang kini akan merawat dan mengasuh kami.
Aku bertanya pada Nenek yang sedang menggendong Dani di halaman rumah.
"Mengapa Ibu tak bekerja disini saja Nek? Kulihat ibu temanku yang lain bisa jualan apa saja sambil mengurus anak mereka, dan mereka senang.."
"Ibumu hanya ingin masa depan kalian lebih baik" Jawab nenek singkat.
Lagi-lagi membuatku bingung. Masa depan yang bagaimana?
Yang seperti apa? Saat ini yang kutahu, aku ingin bermanja bersamanya.
Berada dalam dekapannya, dan melihat ibu ada ketika aku pulang sekolah. Menyambut ku dengan senyum sambil menyuapi Dani kecil delapan bulan yang keadaannya sungguh kasihan.
Pemandangan terakhir siang itu sungguh membuat hatiku ngilu.
Ibu berpamitan dijemput teman membawa tas berisi pakaian. Ia pergi tak menoleh lagi. Melangkah pasti meninggalkan kami yang menatap punggungnya berlalu.
Tanganku menggenggam kain jarik yang dipakai nenek mengendong Dani kecil. Mata bulat Dani menatap Ibu tak paham.
Ia berlalu meninggalkanku dan Dani. Dani kecil yang tak berbaju dengan tubuh amis dan kotor belum mandi seharian. Wajah beringus dengan kerak noda di atas bibir kecil dan hidung mungilnya.
Seperti halnya hatiku yang kini penuh noda luka karena ulah kedua orang dewasa yang kusebut ibu dan ayah.
Inilah takdir kita adikku, dua anak malang. Merasa seperti memiliki mereka, ada namun sebenarnya tiada.
Malam semakin larut, Dani mulai merengek tak jelas. Tubuh renta Nenek menggendongnya sambil mendendangkan lagu pengantar tidur.
Air mataku membasahi bantal tanpa ada yang tahu. Menangis tanpa suara. Lagi-lagi terluka. Langit-langit tua di kamar rumah ini saksinya.
Ah, entah bagaimana kami akan melewati hari-hari tanpa ada kedua orang yang kehadirannya sangat kami harapkan dan rindukan. Pelukan hangat seorang ayah dan belaian lembut seorang ibu.
Andai ayah ibu tahu perasaanku saat ini. Sungguh, aku tak minta banyak. Aku hanya ingin mereka ada.
- Home
- CERPEN IBU
- CERPEN SEDIH
- Ayah Ibu Engkau Antara Ada Dan Tiada