"Tolong cari jalan pintas aja ya, Pak. Biar kita bisa lebih cepat" kataku sedikit memerintah.
"Iya, Mbak. Di depan sana nanti ada jalan kecil, mudah-mudahan ngga ada kegiatan. Biasanya kalau ada warga yang lagi hajatan, jalannya pasti ditutup."
Pak supir menjelaskan sambil melirik ke arahku.
Sengaja aku berpaling, untuk menyembunyikan wajah yang kusutmasai. Selembar tissue di tanganku sudah basah oleh airmata.
Siang terasa membakar. Debu-debu beterbangan dihempas laju kendaraan yang berebut saling mendahului.
Seketika aku terbayang kisah beberapa tahun silam, waktu masih smester awal kuliah.
Begitu melekat dalam ingatanku kenangan tentang pertemuan dengannya.
Sosok kurus bermata cekung, memakai kaos putih bergambar salah satu kontestan pemilu.
Dia berusaha berteduh di sudut SPBU untuk menyelamatkan dagangannya dari siraman hujan pagi itu.
Rasa iba memaksaku menghampiri dan membatalkan niat untuk mengisi bahan bakar.
"Jual apa, Dek?" tanyaku setelah memarkirkan kendaraan.
"Jual onde-onde, Mbak" jawabnya sambil menghindari tetes air yang jatuh dari talang bocor.
"Ini buatan emakku, isinya kacang ijo asli loh, Mbak."
Dia berusaha untuk meyakinkan.
"Jam segini kamu kok belum berangkat sekolah, apa masuk siang, ya?."
Aku mencoba mencari tahu tentang dia.
"Sudah tiga bulan ini aku berhenti sekolah, emak nggak punya uang buat beli seragam."
"Bapak kamu di mana?"
"Sejak kecil bapakku sudah meninggal."
"Lantas kamu terakhir sekolah kelas berapa?"
"Cuma sampai kelas lima, Mbak."
Hujan semakin lebat, jalan yang tergenang air membuat beberapa kali kendaraanku terperosok ke dalam lubang.
Keranjang dagangannya yang ditaruh dibangku belakang ikut terguncang membuat beberapa onde-onde berjatuhan di lantai mobil. | Cerpen Sedih Pelukan Terkhirku Untuk Jumali
"Eh iya, siapa tadi namamu?"
Aku pura-pura bertanya untuk mengalihkan perhatiannya terhadap onde-onde yang tumpah itu.
"Jumali, Mbak."
"Nanti kita berhenti di sebelah balai RW itu aja, soalnya mobil ngga bisa masuk ke gang rumah kami." Katanya sambil menunjuk sebuah bangunan berwarna hijau.
Aku merunduk menghindari pakaian basah yang digantung di muka rumah-rumah penduduk di gang sempit itu.
Dari dialek percakapan mereka yang sempat terdengar, aku bisa memastikan dari mana asal daerah mereka.
"Silakan masuk, Mbak. Sepatunya nggak usah dilepas."
Dia mempersilahkan aku masuk ke rumah, mungkin jauh lebih tepat kalau dibilang kamar.
Seorang perempuan setengah baya terbatuk bangkit berpegangan dinding.
"Be'en lah moleh, Cong?"
Aku sama sekali tak mengerti apa yang dikatakan wanita itu, tapi dari raut yang berkeriput itu aku dapat merasakan keheranannya atas kehadiranku.
"Ini emakku, Mbak Wulan.
Maaf, dia nggak bisa berjalan normal, kedua kakinya sakit."
Kutebar pandang di setiap sudut ruang, mataku tertuju pada sebuah poto laki-laki berkumis yang terpajang di dinding.
"Ini poto bapak kamu ya, Jum?"
Dia cuma mengangguk diikuti oleh si emak yang tak seberapa bisa berbahasa Indonesia.
"Sakit apa dulu meninggalnya?"
Tanyaku lebih lanjut.
"Anu, Mba .."
Ucapannya terhenti oleh batuk si emak.
"Crettah akih lah cong, tak papah."
Si emak menyela memberi isyarat untuk menceritakan kisah kematian suaminya.
"Iya, bapak meninggal mendadak .."
Dia kembali berhenti berbicara, lalu berdiri dan mengambil poto di dinding itu.
"Menurut cerita emak, dulu bapak bekerja sebagai satpam di pabrik kaleng."
Dia melanjutkan cerita.
"Bapak sering nggak masuk kerja, sebab emak sakit-sakitan, tak bisa menjaga aku dan adik yang masih bayi. Akhirnya bapak dipecat dari perusahaan itu." | Cerpen Sedih Pelukan Terkhirku Untuk Jumali
Kulihat matanya mulai basah.
"Sampai satu pagi polisi datang ke rumah ini mengabarkan kalau bapak tewas dibakar massa, karena tertangkap mencuri sebuah sepeda motor."
Sampai disini kedua orang di hadapanku itu sudah tak kuat lagi menahan tangis.
Air got yang meluber, sebarkan bau tak sedap. Menambah sesak dada ini.
Delapan tahun sudah pertemuan itu.
Orang tuaku pun menganggapnya sebagai anak sendiri.
Aku sudah menyelesaikan kuliah dan kembali ke Jakarta, bekerja menggantikan praktek papi.
Dari penghasilanku sebagai dokter gigi dan ditambah sedikit uang dari papi, akhirnya aku mampu juga membelikan sebuah sepeda motor yang sejak lama kujanjikan kepadanya.
"Rencana kamu mau melanjutkan kuliah di mana, Jum?.
Apa ikut mbak Wulan ke Jakarta aja, ntar biar kuliah di sana."
Kutawarkan keinginan kepadanya setelah dia dinyatakan lulus dari salah satu SMA di Surabaya.
"Ngga, Mbak. Aku pengen nyoba test masuk AKABRI aja.
Aku sungkan terus terusan jadi tanggungan keluarga mbak Wulan."
"Tapi lebih baik kuliah 'kan, Jum?"
Aku masih tetap berusaha merayunya.
"Ngga lah, Mbak. Lagian kasian emak, ngga ada yang jaga."
Dia tetap bertahan pada pendiriannya.
Akhirnya aku mengalah dan pamitan pulang ke Jakarta.
Dia kuminta untuk mengantarkan ke bandara Juanda.
Sepeda motor yang kubelikan meraung seakan berteriak memamerkan kebahagiaan yang dirasakannya.
Kupeluk erat pinggangnya, entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa sangat takut kehilangan dia.
"Maaf, Mbak. Gang berapa, ya?"
Pertanyaan supir taksi membuyarkan lamunanku.
"Eh iya, Pak, itu pak depan sedikit lagi, gang yang ada balai RW nya itu, Pak."
Jawabku terbata-bata sambil melepas kaca mata hitam yang sejak tadi menutupi mataku yang mulai sembab.
Setengah berlari aku menerobos kerumunan orang orang yang memadati gang sempit itu.
Sosok jasad terbujur kaku di dipan kayu, ditutupi kain batik.
Beberapa orang sedang membaca surah Yasin terhenti oleh kehadiranku.
"Sabar nggeh, Mba Wulan. Ini sudah suratan takdirnya."
Ah, ucapan itu seakan tak bisa lagi kudengar.
Kubuka kain batik yang menutupi jasad.
Astghfirullah ..
Separoh dari wajah yang selama ini mengisi kebahagiaan hidupku, kini hancur, nyaris tak kukenal lagi.
"Sabar, Mbak .. Sabar nggeh."
Seorang ibu yang memegangiku berbisik.
Kutatap wajah yang terbujur itu dalam dalam.
Duh, adikku .. Sebuah Truk pengangkut kopra telah mengakhiri hidupmu, sepulang dari mengantarkanku kemarin.
Ah, seandainya aku tak memaksamu untuk mengantarkan ke bandara, tentu tragedi ini tak akan terjadi ...
Begitu menyesakkan.
Seluruh tulangku terasa lemas.
Tiba-tiba semua menjadi gelap.
Dan aku tak ingat apa apa lagi.