Dilema Antara Rasa Cinta Dan Benci

Cerpen Sedih Dilema Antara Rasa Cinta Dan Benci


Kupaksakan mataku membuka, tertutup lagi oleh sebuah alasan malas. Jemariku menuntun kesal, menuju alarm dari ponsel. Tak ujung ketemu, memaksa mataku kembali terbuka, diikuti badan yang terasa remuk. Ah, rupanya benda itu ada di tempat yang berbeda dari yang biasanya, Rasa haus menuntunku menuju dapur, setelah mematikan alarm. Bunyi kucuran air ke dalam gelas sedikit membuatku bertambah sadar, apalagi setelah air itu kuminum.

Pukul tiga dini hari. Hari pertama yang berlalu tanpa dirinya. Seorang perempuan yang biasa kusapa Sayang. Seorang perempuan yang namanya selalu kusebut dengan nada cinta, Tiga tahun bukan waktu yang sebentar bagiku untuk mengenalnya. Dan empat tahun setelahnya bagaikan menjalani wahana halilintar, penuh tawa dan tangis.

“Aku dijodohkan,” ia menunduk saat kalimat jahat itu menghujam syaraf pendengaranku.

Diam tak tercermin dalam raut wajahku. Mengeras.

“Katakan sesuatu,” suaranya parau, tercampur isak.

“Apa lagi yang harus kukatakan?” Tukasku merasa kalah. Menatap wajahnya yang masih menunduk.

Isaknya menjawab tanyaku. lirih dan tertahan. Dan baru kali ini aku merasakan marah saat ia seperti itu.

“Sudahlah, hentikan tangismu. Kupikir inilah yang kau inginkan, betul?” Dan tiba-tiba, aku seperti setan, yang menumpahkan seluruh kesalahan padanya. Makin puas mendengar isaknya meninggi.

Melihatnya tak beranjak, semakin gelap isi kepalaku, “Wajarlah, siapa tak tertarik dengan duda mapan seperti itu? Walau beranak dua, hidupmu pasti terjamin.”

Tak juga air matanya yang tumpah di meja, membuat ibaku muncul.

“Kuantar kau pulang.”

Kalimat itu adalah kalimat perpisahan paling tak pantas yang pernah kuucapkan padanya. Jauh lebih tak pantas dari pada saat kami bertengkar akibat cemburu. Karena saat itupun, pertengkaran kami masih berdasarkan rasa ingin memiliki.

Dan kalimat itu adalah kalimat terakhir dalam hubungan kami. Kalimat yang menyisakan rasa sesal, karena tak ada lagi rasa puas melihatnya meneteskan air mata.

Kualihkan langkahku menghindari bilik kerjanya. Tak ada lagi godaan dari teman-teman sekantor. Mereka sudah tahu rupanya. Pandangan simpati mereka menguatkan, aku adalah yang tersakiti.

Kutumpahkan kekesalan pada tumpukan lembar kerja yang harus selesai dalam waktu beberapa hari. Dalam waktu setengah hari ini, tumpukan itu sudah selesai hampir seluruhnya.

Tak ada lagi makan siang bersama di kantin gedung sebelah. Tak ada lagi curi-curi kesempatan menggenggam tangannya di bawah meja. Tak ada lagi apapun yang selalu kita lakukan atas nama cinta.

 “Belum pulang?”

Aku kenal pemilik suara itu. Tak perlu menoleh, bisik ego yang kembali timbul.

“Ya, hujannya belum reda.”

“Boleh kutemani?” Pemilik suara itu seperti merayuku agar mau menoleh.

Aku bangkit dari teras kantor, mengancingkan jaket sekedar menutupi tubuh, untuk kemudian berlari menuju parkiran motor. Dan tak sampai beberapa menit, kupacu motorku melewati sosoknya yang memandangku, sama seperti kemarin, dengan air mata. Mungkin sedikit cipratan dari motorku mengenai ujung roknya.

[Ndi, aku pamit. Mohon maaf, tidak bisa bilang langsung. Mungkin kamu masih sakit hati. Tapi aku maklumi.]

Sebuah pesan muncuk di ponselku. Dari siapa, sudah jelas. Pesan yang tertunda dari malam tadi.

[Besok aku sudah tidak bekerja lagi. Aku pindah ke Surabaya, untuk pernikahan kami.]

[Maafkan aku ya, tidak bisa menunggu lebih lama lagi.]

[Ijinkan aku mencurahkan isi hatiku untuk yang terakhir kali.]

Kalimat itu mencegah ibu jariku menekan tombol hapus.

[Kamu berhutang padaku, setidaknya senilai itu. Karena itu, kumohon, ijinkan aku.]

Kalimat berikutnya semakin menjauhkan ibu jariku dari tombol hapus.

[Aku mencintaimu, walau kau tak bisa menetapkan kepastian.]

[Aku tetap mencintaimu, walau ragu kurasakan akan masa depan kita.]

[Aku berharap kau menangis, saat kukatakan telah dilamar.]

[Akupun berharap kau akan memintaku untuk menikahimu saat itu juga.]

[Namun aku berhenti berharap, saat kau menyudutkanku.]

[Aku sakit hati, seolah semua adalah salahku.]

[Padahal aku merasa, semua adalah salahmu.]

[Aku benci kau. Sangat! Seperti aku tak pernah membenci siapapun selama hidup.]

[Namun, air mataku tak bisa berhenti. Padahal aku membencimu saat itu.]

[Kau tahu kenapa?]

[Karena aku ingat, sebelum menyakitiku, sebelum membencimu, kau selalu ada untukku, mengisi hariku dengan cinta. Tidaklah sekali jahat menghapus kebaikanmu selama ini.]

[Mungkin tak berarti, tapi aku selalu mencintaimu walau kau bukan jodohku.]

Dan sesal membuncah, saat kuhubungi nomornya, dan jawaban tak aktif yang kudapatkan.