Baru saja datang kiriman foto via WA, dengan caption, "TERCYDUK".
Kuperiksa layar hape. Terbaca di sana nama kontak BUNDA SYAHTIQ, istriku.
Awalnya aku kaget, siapa yang terciduk? Tapi setelah aku download foto tersebut, ternyata itu gambar Mas Ayas lagi sendirian baca buku di kamar.
Senyumku langsung mengembang. Ini benar-benar surprise. Si sulung akhirnya mau baca sendiri, padahal ia tipe anak kinestetik. Lebih suka gerak dan mainan di luar, ketimbang duduk di meja, apalagi sambil membaca buku.
Alhamdulillah, inilah buah kesabaran istri melatih bocah agar gemar membaca. Dan aku mengerti, tanpa kesabaran dan tekat yang kuat, mungkin sampai sekarang anakku akan terus berteriak, "Hape! Hape!"
Aku masih ingat, saat mertua berniat mengasuh si sulung di Indramayu.
"Biar kamu gak kecapekan ngurus dua anak kecil," begitu ujar mertua pada istri.
Istri menggeleng, "Aku bawa saja, Ma, ke Surabaya. Aku yang merawat."
"Baiklah," Mama mengangguk.
Di perjalanan pulang menuju Surabaya, aku tanya ke istri kenapa gak mau nitip Mas Ayas ke Mama? Dia menjawab,
"Aku mau mendidik anak-anak dengan caraku sendiri. Soalnya pengasuhan nenek dengan orang tua kandung, pasti beda. Aku punya teman, tiap hari anaknya dititipkan ke neneknya. Si nenek memanjakan anak ini berlebihan, mungkin karena naluri seorang nenek ya. Akhirnya anak ini jadi lebih nurut ke nenek daripada ke orang tuanya sendiri. Efek yang lebih buruk, anak ini bakal jadi manja dan suka marah bila keinginannya tak dipenuhi."
Aku mengangguk. Benar juga. Aku punya murid TK, ketika kutanya siapa nama ibu kandungnya, anak ini polos menjawab, "Eyang Putri."
"Lagipula, kasian Mama kalau harus mengasuh Mas Ayas. Sudah cukup dulu ia merawatku," istri berucap kembali. "Tak perlu capek-capek lagi ngurus cucunya. Kalau sekedar tinggal seminggu, dua minggu, bolehlah. Tapi kalau setiap hari, takut lebih banyak mudhorotnya." | Cerpen Ibu Dan Anaknya
Jadi teringat seorang teman yang menitipkan si anak ke eyangnya. Karena ia dan suaminya sama-sama bekerja. Awalnya fine-fine saja. Namun lama kelamaan, mungkin karena letih mengurus anak kecil yang lagi aktif-aktifnya, sedangkan tubuh tak sekuat waktu muda dulu, si eyang malah sering ngedumel sendiri,
"Duh, pingin istirahat di hari tua saja sulit minta ampun."
Hidup memang pilihan, dan istriku memilih melepas pekerjaan demi mengasuh anak-anak dengan pola asuh yang ia yakini benar. Padahal aku tahu dia ini tipe pekerja. Sangat suka bersosialisasi, kerja di luar. Ia rela tak memanfaatkan ijazah sarjana pendidikannya. Ia rela menyimpan baju batik modis yang biasa dikenakan saat mengajar, lalu menggantinya dengan baju khas Sepur Hero: DASTER Motif Bunga!
Dan keinginan terbesar istri untuk anak-anak adalah menumbuhkan minat baca pada mereka.
Setelah diberitahu terapis kalau membuat Mas Ayas lambat beicara adalah karena seringnya menonton video lewat hape, istri langsung evaluasi diri.
Okelah, membiarkan anak asyik menonton video di youtube hingga keranjingan itu memang kekhilafan orang tua. Maka, istri berusaha keras mengalihkan perhatian Mas Ayas ketika minta hape.
Misal ketika Mas Ayas tanya, "Ana hape?"
Istri jawab, "Dices (dicharge)."
"Abi?" Maksudnya hape Abi mana.
Aku cepet pura-pura bobo.
Akhirnya, istri minta aku untuk membelikan buku buat Mas Ayas.
Maka berangkatlah kami ke toko buku. Di sana ketika lagi memilih buku, tiba-tiba Ayas datang dengan membawa mobil-mobilan.
"Loh, dari mana itu, Nak?" aku kaget.
"Nih, obot," ia menunjuk bungkus mobil robot yang sudah disobek.
Wah, dia ambil mobil itu di rak khusus mainan. Aku menepuk dahi, saat melihat harga mobil robot yang telah ia sobek bungkusnya itu seharga 80 ribu.
Duh, bisa dapat tiga buku itu.
Aku maju.
Istri menahan tubuhku, "Sabar, Bang. Ayas masih kecil."
Aku tak berhenti, mau maju.
"Bang, sabar. Jangan diapa-apain itu Ayas. Kasian. Gak tau apa-apa anak itu, Bang. Sabar." Istri masih saja menahan langkah.
"Apa sih, Neng? Aku pingin ke toilet. Kebelet pipis," aku menggerutu.
Nyatanya tak mudah membiasakansi sulung agar gemar membaca dan meminimalkan nonton video di hape.
Apalagi pada satu titik, istri kalah dengan keadaan. Tatkala istri lagi asyik masak sambil meratapi nasib, Mas Ayas suka gangguin adiknya yang lagi bobo. Akhirnya si adek nangis, istri ngurus adik, urusan masak terbengkalai. Kadang, waktu mau kembali nidurin si kecil, Mas cemburu, pingin ngajak main uminya. Kalau sudah seperti itu, biasanya istri terpaksa ngasih hape ke Mas Ayas. Begitulah yang disampaikan istri padaku. | Cerpen Ibu Sedih
Belum selesai di sana, waktu adik sudah tidur, dan istri bersiap mengajari Mas Ayas baca, ada saja atraksi si sulung. Pernah ketika diajak baca buku, Ayas langsung berucap,
"Dah. Antuk," dia langsung pura-pura menguap.
Kalau sudah seperti itu istri bakal bilang, "Nurun kelakuan bapaknya waktu kecil ini pasti."
Tak patah semangat, istri terus mengajak Mas Ayas baca buku. Tiap malam. Mengajak untuk meniru melafalkan nama buah atau warna. Meski dengan itu, istri harus memegangi tubuh Ayas yang selalu berusaha kabur.
"Kalau mau nurut, ntar Umi sayang-sayang Mas Ayas."
Aku yang melihat itu sambil gendong si bungsu, langsung berkata ke istri,
"Aku juga bakal nurut, Mi. Nanti dapat sayang-sayang juga?"
"Minggir, duh! Gangguin aja bocah kumisan ini." Istri sebel.
Terkadang, kesabaran istri habis jika Ayas sudah tidak bisa dikompromi. Ketika diletakkan buku di depannya, ia langsung teriak minta hape.
"Ayo. Ayo. Is ecil amah."
Dia minta Tayo. Tayo. Dia bis kecil ramah.
"Belajar dulu, Nak." Istri memelas.
"Hape." Mas Ayas melempar buku tersebut.
Saat melihat istri mau emosi, aku langsung menahan tubuhnya. "Sabar. Nanti kita beli kebab."
"Bener?"
Aku mengangguk.
"Yang pake keju."
"Wokeh."
Wajahnya langsung tersenyum. Gak jadi emosi.
Dan kesabaran itu pun akhirnya berbuah. Kini Mas Ayas kalau lagi tidak ada kegiatan (biasanya kegiatan rutin dia nangis minta nenen botol) dia akan langsung bilang ke Umi nya,
"Aca uku."
"Baca buku?"
"Yah."
Istri mengambilkan buku, lantas membacakannya ke Ayas.
Dan tadi pagi istri mengirim foto Mas Ayas, berada di kamar. Sendirian dan sedang membuka buku. Padahal biasanya dia akan ke kamar sendirian bila sudah pegang hape.
Aku langsung tulis balasan di WA itu,
[MasyaAllah. Makasih banyak ya, Umi. Berkah usaha Umi ngajarin Mas dengan sabar itu.]
Tak terbalas. Mungkin istri lagi klepek-klepek di lantai sebab aku sanjung-sanjung.
Ya, karena membentuk karakter anak, bukan sim salabim. Butuh tekat kuat, istiqomah dan sabar menjalani prosesnya.
Dan aku bersyukur dipertemukan dengan perempuan yang mau menjalani itu semua.