Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 6

Aku menatap Tyo dengan pandangan heran. “Kenapa, Yo?”  “Aku juga nggak tahu alasannya apa, cuma seingat aku, kejadiannya dua tahun yang lalu. Waktu itu, Oma terlihat makin pendiam. Hmmm, kayaknya makin jarang juga keluar kamar. | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 6

Lalu tiba-tiba Oma bilang ingin tinggal di panti werdha aja. Awalnya, walau kita nggak terlalu deket, tapi semua keluarga menentang keinginan Oma, tapi permintaan Oma nggak bisa dibantah.”

“Siapa yang ngantar Oma?”

“Papa sama sopir yang dulu.”

“Sopir yang dulu kemana?”

“Berhenti, pulang ke kampung istrinya. Namanya juga bukan Agung, kok,” ucap Tyo sambil sekilas menatapku.

“Hehehe, aku juga nggak nuduh namanya Agung, kok,” jawabku sambil tertawa.

Tyo tersenyum lalu kali ini matanya lurus menatapku.

“Dengar, Win, aku cuma nggak mau kamu terlalu percaya sama cerita Oma dan setelah kamu sibuk menyelidiki ternyata semua cerita Oma itu cuma sekadar cerita aja.”

“Maksud kamu, Oma cuma berkhayal?”

“Oma nyari perhatian.”

“Ya ampun, Yo. Kamu, kok, bisa mikir begitu? Aku bisa ngelihat tatapan mata takutnya, Yo.”

“Entahlah. Aku kadang menganggap Oma itu misterius.”

“Karena itu, aku ingin lebih tahu lagi tentang semua masa lalu Oma dan nanti aku cocokkan dengan cerita kamu. Ayolah, Yo. Kita bantu Oma. Menurutku ini bukan cuma sekadar nyari perhatian."

“Hmmm ....”

“Aku cuma minta kamu mau dengerin cerita aku lalu kita tukar pikiran. Kamu lebih banyak mengenal Oma dibanding aku. Biar aku yang mencari informasi dari Oma. Aku cuma ingin lihat Oma kamu bisa bahagia di ujung usianya dan kamu bisa menjadi salah satu orang yang bisa bikin Oma bahagia. Itu aja.”

Tyo terdiam dan matanya perlahan semakin melembut. Lalu perlahan ia mengangguk. Aku tersenyum melihatnya.

“Makasih, ya, Yo.”

“Sebenarnya, aku yang harus bilang terima kasih, Win.”

“Oke, langkah selanjutnya, aku akan terus menggali informasi tentang Agung dan kenapa Oma selalu terlihat menjauh dari keluarganya? Apa yang terjadi setelah peristiwa yang menakutkan di angkutan kota itu?”

“Tentang Opa, aku dapat info dari tante Rini, kalau Oma jadi orang tua tunggal sejak papa dan tante Rini kecil.”

“Opa kamu namanya bukan Agung kan?”

“Bukan.”

“Oma pernah cerita kalau sudah punya kekasih waktu peristiwa itu terjadi. Apa itu Opa kamu?”

“Aku nggak tahu, Win.”

“Oke, biar itu nanti aku yang gali.”

“Menurut cerita tante Rini, Oma sibuk bekerja. Yang mengurus papa dan tante Rini itu ibunya Oma.”

“Papa kamu sama tante Rini usianya beda berapa tahun, Yo?”

“Hehehe, mereka kembar, Win.” “Ohhh, kembar. Terus mereka nggak punya saudara lagi?” “Nggak. Anak Oma ya cuma papa sama tante Rini.” “Hmmm, terus Opa kamu ke mana?”  “Pergi kata tante. Mereka pisah.” “Kenapa pisah?” | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 6

“Tante Rini nggak tahu. Muka Opa kayak gimana aja, tante nggak inget.”

“Berarti masih kecil banget, ya.”

“Iya dan setelah itu Oma nggak pernah menikah lagi. Sibuk bekerja dan sibuk menyendiri di dalam kamar. Sampai kami semua nggak pernah merasa dianggap ada sama Oma.”

“Oma pasti sangat menderita, Yo. Penderitaannya nggak pernah dibagi.”

“Kenapa Oma nggak mau berbagi? Oma punya anak perempuan.”

“Pasti ada alasannya, dan itu yang membuat aku ingin bisa berbuat lebih banyak untuk Oma kamu.”

“Iya, mungkin dengan membuka apa yang selama ini Oma tutupi bisa bikin Oma bahagia pada akhirnya.”

Aku mengangguk. Lama kami terdiam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing, hingga akhirnya tangan Yo memegang tanganku.

“Win, mulai hari ini kamu nggak boleh pergi sendiri.”

“Lho, kok, gitu.”

“Aku nggak mau apa yang pernah terjadi sama Oma, terjadi sama kamu.”

“Ya ampun, Yo. Kalau pagi sampai siang, sih, nggak apa-apa, kali.”

“Kalau malem, nggak boleh!” ucap Tyo tegas.

“Iya,” ucapku sambil mengangguk.

Dalam hati aku tersenyum. Ini langkah awal yang baik, Tyo mulai yakin bahwa yang diceritakan Oma Rima bukan cerita khayalan.

“Kita pulang, yuk, Yo. Besok aku ke panti lagi. Oma tadi masih demam. Aku mau lihat keadaannya besok.”

“Pagi aku jemput, Win. Abis nganter kamu, aku mau ke perpustakaan dulu. Ada materi yang masih aku cari. Kalau kamu udah selesai di panti, kamu telpon aku, ya. Nanti aku jemput sekalian kita bahas informasi yang kamu dapat.”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Tyo mengacak rambutku lembut lalu menggenggam erat tanganku.

Keesokkan paginya, aku kembali telah berjalan menyusuri halaman panti. Mbak Retno tersenyum menatapku.

“Pagi, Mbak Retno.”

“Pagi, Win. Tumben hari ini kamu ke sini. Bukannya jadwal kamu besok, ya?”

“Mau nengok Oma Rima, Mbak. Bagaimana keadaannya?”

“Tadi pagi sudah mau sarapan, tapi wajahnya terlihat lebih murung, ya.”

“Sekarang ada di mana, Mbak?”

“Di halaman belakang, Win. Sendirian. Diajak ikut kegiatan cuma geleng kepala jawabannya.”

“Aku langsung ke sana, ya, Mbak.”

“Iya, Win. Coba tolong dibantu.”

“Siap, Mbak,” ujarku sambil mengangguk.

Kulangkahkan kaki menuju halaman belakang. Sapa ramah para Oma dan Opa membuat senyumku semakin merekah. Mereka terlihat ceria. Kulanjutkan langkahku dan dari jauh, aku melihat Oma Rima sedang duduk melamun.

Kuhampiri dan kusentuh lengannya lembut.

“Eh, Winda.”

“Pagi, Oma. Gimana hari ini? Badannya sudah lebih enak?”

“Sama aja, Win. Rasanya semua nggak enak. Ah, hidup Oma emang nggak pernah bisa kembali bahagia.”

“Bisa, Oma. Oma bisa kembali bahagia, asal Oma mau membagi rasa yang nggak enak itu,” ujarku sambil menggenggam tangannya.

“Kamu masih mau dengar cerita Oma, Win?”

“Tentu saja mau, Oma. Hmmm, setelah kejadian itu, apa Oma sempat dirawat di rumah sakit?”

“Nggak. Oma cuma mau dirawat di rumah. Rasanya begitu takut, Win. Oma selalu mimpi buruk. Wajah laki-laki jahat itu seperti bermain di ingatan Oma dan derita Oma nggak cukup sampai di situ. Oma hamil.”

Aku menutup mulutku. Tatapan Oma sempat terlihat kosong.

“Lalu bagaimana, Oma?”

“Oma takut sewaktu Oma nggak menstruasi di jadwal yang seharusnya Oma datang bulan
Diantar ibu, Oma pergi ke dokter kandungan dan dari hasil pemeriksaan, Oma dinyatakan hamil. Oma menjerit sejadi-jadinya. Janin itu anak dari salah seorang laki-laki yang telah menghancurkan hidup Oma. Oma bahkan nggak tahu yang mana dari lima orang itu yang menitipkan benihnya di rahim Oma,” ujar Oma sambil menghapus butiran bening yang membasah di pipi tuanya.

Aku merangkul bahunya lembut. Oma pasti sangat menderita.

“Oma ingin janin itu pergi tapi Oma nggak punya hati untuk membunuh, Win. Oma biarkan dia hidup di perut Oma tanpa Oma rawat. Hanya Oma biarkan dia hidup.”

Aku mengangguk perlahan.

“Oma tinggalkan kekasih Oma. Dia berhak mendapatkan yang lebih baik. Dia pun sepertinya senang ketika Oma minta dia menjauh. Rasanya sakit sekali, Win. Hidup Oma seperti berakhir hanya dalam hitungan hari.”

“Lalu anak itu di mana, Oma?”

Oma Rima menunduk. Tangannya yang berada dalam genggaman tanganku terasa menggenggam tanganku lebih erat.

“Setelah lahir, bayi itu dibawa ibunya Oma. Oma nggak tahu dibawa kemana dan saat itu Oma juga nggak ingin tahu. Usia Oma baru 21 tahun dan semua rasanya begitu gelap.”

“Lalu, bagaimana caranya Oma bisa melanjutkan hidup?” tanyaku perlahan.

“Oma dikenalkan dengan laki-laki yang juga menorehkan luka di hati Oma.” “Kenapa, Oma?” “Dia tega melakukannya. Jahat sekali!” | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 6