Jangan Panggil Aku Dengan Sebutan Gendut

Suatu hari di acara reuni SMA,  “Tin, apa kabar? Gemukan ya, sekarang,” sapa seorang teman yang aku sendiri tidak mengenalinya. | Cerpen Lucu Jangan Panggil Aku Dengan Sebutan Gendut

'Gemukan?’
Kata itu seperti bunyi derit kaleng rusak yang terseret.

“Tiiiny! Wah! Subur makmur nih!” sapa seorang teman sekelasku dulu dan aku juga tidak mengenalnya.

Semua orang satu sekolah mengenalku bak ratu sejagad karena dulu aku sang primadona di sekolah. Aku cantik, pintar, gaul, satu paket lengkap ada di diriku. Setiap anak cewek akan iri melihatku dan setiap anak coeok berlomba-lomba untuk menjadi pacarku, walaupun nama mereka masih berbaris di waiting list.

Dengan langkah pede, aku masuk ke ruang aula sekolah, tempat acara reuni SMA diadakan. Semua tatapan mata tertuju padaku dan satu persatu mulai menghampiri dengan senyum sumringah.

“Duuuh pangling deh liat Lo, Tin. Makin semok aja,” kata Ria teman sebangku selama tiga tahun di sekolah. Ia selalu mengikutiku seperti anjing yang setia. Dan sekarang pun tidak berubah, tetap mengekor di belakangku.

'Semok? Apa itu berarti negatif? Kenapa telingaku selalu panas jika mendengar kata-kata yang berhubungan dengan berat badan?’

Tak kupedulikan pikiranku yang meracau. Aku coba berbaur dengan semua orang. Saat aku sedang asik menikmati acara, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh dan terkejut. Orang itu adalah Sesi, rivalku saat memperebutkan gebetan, Bram, cowok terganteng di sekolah. Dan akulah pemenangnya. Belum sempat aku bersuara, kata-kata Sesi sudah meluncur dari mulutnya seperti rollercoaster yang menukik turun.

“Tiiiniii! Nama Lo sekarang harus ganti deh. Lo dah gak se-tiny itu soalnya. Bram kok seleranya jadi turun drastis gini sih! Bener kata orang ya, kalau cantik sebelum nikah itu karena keturunan, kalau sudah nikah gak cantik lagi, itu karena salah suami. Uuuntuuuung gue gak nikah sama Bram.”

Kalau saat ini masih di jaman SMA, sudah terjadi tawuran masal di sekolah antara aku dan gengnya Sesi. Ingin kutonjok bibirnya yang tebal itu sampai sedower bibir Mick Jagger, tapi Sesi langsung berlalu dengan tertawa puas.

Aku hanya bisa menahan geram dan menyesali keputusan Bram yang tidak mau datang ke acara reuni. Ria memberi segelas sirup dingin untuk menenangkan emosiku.

“Dah, gak usah dipikirin. Si Sesi ternyata masih aja sirik sama Lo.”

Aku mengangguk mendengar ucapan Ria yang menghibur, tapi dalam pikiranku tetap berkecamuk sejuta pertanyaan.

'Apa aku segemuk itu? Apa aku sekarang lebih jelek?’

“Tin, masih kenal gue?”
Seorang perempuan cantik dengan badan langsing ala Barbie, hanya bagian dada dan bokongnya saja yang terlihat menonjol montok, berdiri di depanku.

“Nggak, sorry. Siapa ya?”
Aku balik bertanya padanya. Wajar jika semua orang mengenalku tapi aku tidak mengenal semua orang karena aku memang populer. Aku tidak menghiraukannya lebih lama. Kuminum sirup dingin dari gelas.

“Udah gue duga Lo pasti gak inget. Gue Nora. Btw, Lo lagi hamil, ya? Dah bulannya kayanya.”

Aku tersedak dan terbatuk-batuk dengan hebat mendengar perkataannya. Melihatku tersedak, perempuan cantik itu tersenyum menyeringai. Sama seperti Sesi, ia langsung pergi dari hadapanku tanpa menunggu jawaban. Pertanyaan yang diniatkan hanya untuk menghinaku.

“Siapa sih Nora?” tanyaku pada Ria.

“Itu loh, si gendut.”

Mulutku menganga, ekspresi mukaku mungkin terlalu semrawut untuk dilukiskan. Aku ingat Nora, saat di SMA aku sering membullynya dengan menyebut; gajah bengkak, babi bunting, perusak timbangan, karung beras… saking banyak sebutan yang kuberikan padanya.

Aku sendiri tidak mengingatnya lagi. Aku juga ingat ekspresi mukanya yang marah dan ketakutan tiap kali bertemu denganku di sekolah. | | Cerpen Lucu Jangan Panggil Aku Dengan Sebutan Gendut

Malam ini di aula, masa SMA itu berubah. Nora yang menjadi primadona. Semua orang mendekatinya, semua orang ingin berfoto bersamanya. Sementara aku hanya duduk di pojok sendirian, merasa bukan siapa-siapa. Bahkan Ria, anjing setiaku itu sudah berkhianat. Ia menempel erat di samping Nora. Acara reuni SMA ini seketika menjadi mimpi buruk bagiku. Ingin rasanya aku menghilang dalam sekedipan mata.

Suatu hari di rumah…

Terdengar bunyi notif dari gawaiku. Beberapa teman men-tag foto di beranda Facebook. Kulihat satu persatu foto dari acara reuni semalam.

'Apa pipiku se-chubby itu?’

'Kenapa mukaku terlihat sangat bulat?’

Kubandingkan foto dan mukaku langsung dari cermin yang ada di ruang tamu. Tengok kiri, tengok kanan, menyentuh dan menarik kulit pipi sekencang mungkin.

'Ah! Mungkin itu hanya efek kamera hp.’

Aku berusaha menghibur diriku sendiri dan lanjut melihat foto-foto di gawai. Nora sang primadona di malam itu memang terlihat cantik. Kulihat foto-foto alumni perempuan yang berdiri berjejer dan nyaris membuat mataku mencelat keluar dari lubangnya.

“Kyaaaaaaaaaaaa!”

'Itu aku?’ Apa perempuan bulat yang berdiri paling ujung itu, aku?’

Rupanya teriakan histerisku tadi terdengar oleh Bram, suamiku.

“Kenapa teriak, Bun? Ada apa?” tanyanya terlihat khawatir.

“Ayah, bunda gendut gak sih?”

“Ngga,” jawabnya singkat sambil menghembuskan napas karena ternyata bukan urusan gawat darurat.

“Yang benar? Ayah jangan bohong.”

“Yaaa, namanya juga sudah punya anak tiga. Wajar gak seramping dulu lagi.”

“Berarti Bunda gendut?”

Bram tidak menjawab, mungkin ia merasa terjebak, serba salah. Ia hanya menggaruk-garuk rambutnya. Setelah menarik napas panjang, baru ia berkata,

“Bun, Bunda masih cantik dan yang penting Bunda sehat.”

“Huuaaaa… “

Aku menangis sejadinya. Bram menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menepuk jidatnya sendiri.

“Duuuh biiiung, salah lagi deh aku,” katanya sambil berlalu meninggalkanku sendirian.

Terakhir yang kubutuhkan bukanlah kata-kata semanis kata-kata yang ditujukan Iko Uwais untuk istrinya. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku memang gendut, titik. Masalah kegendutan ini harus segera diatasi. Jangan sampai ada yang memanggilku gendut.

Suatu hari di kompleks…

Setelah beberapa bulan ikut program diet, diet karbo, diet gula, diet lemak, diet mati, dan olahraga, angka di timbangan menunjukkan kemajuan. Berat badanku turun lima kilo. Sesuatu yang harus dirayakan dengan membeli sebuah baju baru yang mengikuti bentuk tubuh. Baju baru berwarna merah itu kupakai ke acara undangan salah seorang tetangga.

“Jeng Tini sakit?” tanya seorang tetangga yang bloknya berjauhan dari blok rumahku.

“Enggak, Jeng,” jawabku heran.

“Bu Tini, cape pikiran, ya. Sama kaya temen saya tuh yang suaminya juga kerja di luar kota, sampai kurus mikirin suaminya,” kata seorang tetangga lainnya yang ikut mengerubutiku.

“Iya, Jeng Tini kurusan. Gemukin lagi badannya, Jeng. Kalau kurus jadi kaya nenek-nenek, gak glowing gitu.”

“Dulu keliatan lebih segar dan mukanya bersinar-sinar, Jeng.”

“Jangan banyak makan ati, Jeng.”

“Emang repot ngurus rumah dan anak-anak, apalagi kalau uang setoran dari suami kurang, jadi kurus deh kita kaya papan gilasan.”

Dan semua ibu-ibu tetangga itu membahas berat badan, mendesah, tertawa dan melupakanku yang akhirnya memutuskan untuk secepatnya pulang ke rumah. Gemuk dibilang hamil, kurus dibilang makan hati. Aaaargh! Memang serba salah jadi perempuan. | Cerpen Lucu Jangan Panggil Aku Dengan Sebutan Gendut