Hari itu langit biasa saja dengan awan yang tak begitu menarik. Bergerombol melintasi gedung-gedung kota. Menolak terik yang sesekali menyengat kulit seperti biasa.
Aku sudah tiba sejam yang lalu, kau lupa? | Cerpen Motivasi Tidak Ada Ujian yang Melebihi Kesanggupan
Pesan singkat yang berulang kali urung dikirimnya. Buat apa, kalau ia memang penting kenapa pula harus diingatkan? Tapi itu pikirnya setengah jam sebelumnya.
Dan sekarang sudah satu jam lamanya, bokongnya mulai kebas. Belum lagi beberapa kali para pelayan melirik mejanya, membuatnya semakin risih.
Sepasang capuchino yang saling berhadapan telah mendingin sebab tak juga disentuh. Bodoh. Ia lupa manusia satu itu selalu tidak tepat waktu. Menyerah, pesan itu dikirimnya, tak ketinggalan emot merah yang berjejer tiga.
Di lain tempat, seorang laki-laki bergegas melawan keterlambatan yang sudah terlambatkan sebenarnya. Membaca dengan risau pesan singkat beraura kemarahan. Jenuh. Dan entah kesabaran sebesar apa yang membuat lelaki itu menjadi layak ditunggu.
"Sorry! Aku telat lagi." Mulutnya pengap-pengap mengatur napas. Nampak betul berusaha datang secepat yang ia bisa, "umm! Sudah dingin." Rasa capuchino-nya gagal memperbaiki perasaan, menambah senyum masam di wajah tegas milik lelaki itu.
"Langsung ke intinya saja, boleh?" Mencegah lelaki yang hendak berbasa-basi tentang keterlambatannya kali ini.
"Aku minta maaf," didapatnya segenggam jemari yang meremas penuh penyesalan dari lelaki itu, "kita akad minggu depan Honey, Ayah dan Ibu sudah kuberi tahu. Tinggal menghadap orang tuamu saja yang belum. Katamu itu jadi tugasmu nanti sekalian saat lamaran saja aku memperkenalkan diri. Jadi bagaimana, kau sudah?"
Ada sekian detik dipandangnya sorot Badai, satu-satunya lelaki yang diizinkannya masuk dalam kehidupannya karena menunjukan keseriusan yang amat. Lelaki pekerja keras, setia, dan jujur. Lalu alasan bodoh apa yang ia punya untuk menolak penawaran hidup dan mati dari lelaki sempurna di hadapannya ini? Tidak ada. Yang ada ia akan terlihat bodoh dengan alasan tersebut. Ia mengangguk dengan senyum meyakinkan. Ya, aku sudah.
***
Satu bulan sejak ikar langit kepada hujan, kehidupan seolah pelangi di setiap sudut kehidupan. Kota tak lagi mendung bersedih. Karena hujan tengah berbahagia tahun ini. Sampai kemudian sesuatu terlupakan, yaitu badai. Yang sesungguhnya.
"Mas tega! Kenapa tidak mengabari kalau sudah menikah?"
"Aku tidak mau mengganggu pengobatanmu, aku yakin kau yang keras kepala akan memaksa hadir jika tahu, dan itu buruk bagi kesehatanmu. Dan aku tidak mau itu terjadi."
"Ada yang lebih buruk dari mati, Mas," airmata jatuh tanpa bendungan, membanjiri wajah pucat perempuan yang pasrah duduk di kursi rodanya.
"Dan itu adalah patah, Mas, di sini. Dalam dan kasat mata!" Wanita muda bernama Senja itu menekan setiap kata yang keluar dengan sesak.
Tangisnya pun pecah.
Ada kecewa, marah, dan entah bentuk rasa sakit apa lagi. Tapi lelaki itu tak mengerti, hanya diam menjaga-jaga Senja tak sampai hilang kesadaran. Memang tidak akan pernah selama tidak mengungkapkan perasaannya. Sampai kini terlambat untuk sekedar mendapat penolakan yang pasti dari lelaki yang amat dihormatinya, sebab seorang perempuan istimewa telah dulu memenangkan hati sang lelaki.
Kalah sebelum bertempur, jauh lebih sakit dari kenyataan terjajah seumur hidup oleh penyakit yang bersarang di jantung belasan tahun lamanya.
"Kamu boleh pergi, Mas. Sudah mau malam, Hujan pasti cemas menunggumu."
Seluruh kalimat itu bergetar, nada yang tak pernah mau didengarkannya pada orang lain bahkan Badai sekali pun, ia ingin selalu terlihat kuat, walau tangisannya sore ini adalah kegagalan pertunjukan palsu dirinya.
Badai pamit menuruti. Meninggalkan Senja, berpesan agar jangan kemalaman di luar rumah dan meminum obat tepat waktu. Benar, Hujan-nya pasti sudah menunggu dengan cemas jika pulang lambat dari biasanya.
Badai pamit menuruti. Meninggalkan Senja, berpesan agar jangan kemalaman di luar rumah dan meminum obat tepat waktu. Benar, Hujan-nya pasti sudah menunggu dengan cemas jika pulang lambat dari biasanya.
Badai adalah seorang dokter muda pribadinya, 8 tahun lebih tua darinya yang baru saja genap 20 tahun ini. Selain usia, yang membuatnya amat hormat pada lelaki itu bisa dibilang Badai adalah hadiah dari sang ayah sejak ia putus sekolah formal, dan diharuskan Home Schooling.
Sejak saat itu Senja kecil menganggap sang dokter adalah teman, sahabat, lalu diam-diam seiring waktu menjelma cinta pertama, mungkin terakhir baginya, meski hanya ia yang merasa demikian.
Kini ia telah tumbuh dewasa meski tak senormal gadis lain. Namun setidaknya ia berkesempatan untuk mengatakan perasaannya. Tapi tidak lagi setelah tahu ia terlambat, langit benar-benar tak memberinya kesempatan mengungkapkan cinta.
Tidak, ini hanya belum.
Untuk apapun yang dingininya, maka itu harus, berapapun akan dibayarnya. "Kamu harus denganku, Mas. Harus!"
Mungkin ini yang disebut orang-orang dengan cemburu. Ternyata sakit itu banyak jenisnya, cemburulah yang paling aneh, memberimu banyak tenaga sekedar menangis semalaman, juga bisa menghancurkanmu detik itu juga. Aneh yang sakit.
Lantas, dia sedang cemburu atau sedang cinta?
***
Memasuki bulan kedua, langit enggan menyempurnakan purnama. Hanya sepenggal bulan sabit yang kesepian tanpa bintang menggantung beberapa hari belakangan.
Setelah menikah, Hujan belajar menghilangkan kebiasaan buruknya, menyendiri dan tak senang bicara. Jika sudah bersama Badai ia akan menceritakan apa saja, menjadi si cerewet dan riang. Bedanya dulu ia melakukannya dengan rasa hambar dan terpaksa, kini ia merasa itulah dirinya yang untuk dihabiskan bersama Badai.
Sampai kemudian, Badai-nya tak lagi sebahagia dulu. Wajahnya lebih sering menatap dengan mendung yang kelabu.
"Kak, ada apa? Tolong berbagi denganku. Jangan seperti aku ini orang asing," lelaki itu hanya membalas genggamannya, lalu menarik dirinya dalam peluk, erat seolah takut melepaskan.
Lelakinya menangis? Lelaki bernama Badai yang gagah perkasa itu menunjukkan kelemahannya?
"Kamu jangan pernah pergi, sekali pun aku yang meminta. Aku mohon, Honey. Jika suatu hari aku memintamu pergi. Tolong, berpura-pura tulilah dan jangan beranjak seinci pun. Atau aku akan menyesali kehidupan sialan ini."
"Kamu bicara apa, kak?" Hujan jadi ikut menangis.
Apa Badai akan meninggalkannya?
Tapi kenapa, bukannya semua baik-baik saja?
Malam itu, mereka mengisi lapar tanpa bicara. Badai tetap menghabiskan porsi makan dengan kedua sembab di mata. Kemudian mereka menidurkan penat tak jelas itu bersama cemas di masing-masing dada.
****
Jika hari ini kau merasa menguasai mungkin tuhan sedang kau besarkan sebagai hamba. Abai bahwa segalanya adalah titip yang kau sebut milik. Mungkin, apa yang tengah mereka berdua bangun saat ini adalah keangkuhan rasa memiliki yang berlebih, sehingga tuhan hendak menakarnya lewat hamba ke-tiga.
"Anggap saja ini permintaan terakhir aku tidak akan meminta dan menyusahkanmu lagi, Mas."
"Memberi nyawa pun aku bisa, Dik. Kau sudah seperti keluarga bagiku. Apapun, sungguh aku berikan, tapi Hujan harus tahu. Aku tidak ingin menyembunyikan sesuatu dari istriku, hidup dan matiku adalah miliknya sekarang."
"Aku mohon!" Para jemari lentik diremasnya hingga basah dalam tunduk dijatuhi tetes bening dari matanya, "tidak bisakah Mas, untuk sekedar harga diriku?"
"Sejak kapan Senja-ku jadi semurah ini?"
Ya, sejak kapan? Sejak ia sadar telah merasa pada lelaki itu. Lelaki milik perempuan lain.
Dosakah jatuh hati, Tuhan?
"Baik, aku setuju dengan rencana gila ini, tapi aku punya satu syarat dan aku tidak ingin ditawar."
"Katakan."
Jika lagi, jika kau berpikir cinta itu dua, kau salah. Cinta tak pernah menjadi dua apalagi terbagi, bahkan jika kau diikat pada dua jiwa terbaik kelak hanya satu hati yang benar-benar akan kau genggam.
"Sepakat. Terima kasih banyak Mas, aku tahu ini akan menyakitinya, siapapun."
"Maafkan aku Senja. Aku tak bisa memberikan lebih. Aku menyayangi kau seperti sayangku pada Hujan."
'Pembohong! Mas tidak mungkin menerima sekaligus menolakku secara bersamaan seperti ini jika benar ini rasa yang sama tinggi.'
Dan hari itu, Badai pulang bersama gemuruh serta topan yang mengamuk dalam dirinya. Sebuah badai besar tak terkira untuk istrinya, Hujan.
****
Angin berhembus dari selatan, menggiring gorombolan awan hitam yang liar di langit sore. Entah. Entah ini akan menjadi hujan keberapa tanpa peluk nan hangat dari lingkar punggungnya.
Hati adalah almari, tempat kau mengisi segala jenis rasa. Hati adalah ruang, dibangun megah hanya untuk kau nikmati sendiri suatu hari, jika sebuah peristiwa datang menghancurkanmu dengan hebat. Dan dua tahun duka telah menggenap di hatinya yang mati tanpa sesiapa. Hanya ruang kosong.
Kau dimana?
Adalah tanya yang tak pernah mau dijawabnya, sekali pun ia ingin, sebanyak apapun pesan itu bertengger pada gawai yang selalu diselipnya dalam kantong jaket. Ia tidak akan memberi tahu.
Lelaki itu tidak lagi berhak atas dirinya. Meski otaknya tak benar-benar ingin melupa. Dasar perempuan pengecut. Dia mengkhianati dirimu, sadarkah?
Hujan pun jatuh dari langit Malioboro. Berlari-lari kecil di emperan kota mencari celah bumi sebagai titik hujan yang pecah. Betapa menjadi guyur adalah betapa yang rela gugur di tanah yang tak lagi tanah sungguhan. Penyimpangan yang tak disadari para individu yang tengah berteduh di dalam gedung-gedung mewah; penjara yang tidak sebenarnya. Tak beda denganya yang mengurung diri pada sebuah kedai, menunggu hujan langit dan hujan di dadanya sedikit mereda.
Seorang pramusaji mendekat ke mejanya, dengan senyum berhias gincu menambah kesan manis pada wanita muda tersebut.
"Permisi, Buk. Ini ada titipan untuk anda."
Sebuah amplop putih kusam, "Boleh tahu dari siapa ya?"
"Saya juga tidak diberi tahu, salah saya tidak bertanya, maaf. Tapi kata teman saya dia laki-laki. Permisi."
Laki-laki? Tak pernah sebelumnya.
Wanita pramusaji tersebut undur diri dengan mimik sedikit rasa bersalah kepada salah satu pelanggan tetap mereka.
Hujan menjerit. Memekik sambil menukik jatuh diantara ruang kosong kota. Sebuah melodi yang menyayat, pengiring pesan bertinta hitam dan rapi, diapit beberapa ruas jemari perempuan berwajah sendu itu.
|Teruntuk, Hujan.|
|Aku bersalah padamu. Aku bersalah pada keluargamu. Aku bersalah pada Badai-mu. Aku bersalah pada diriku sendiri. Aku salah meminta sesuatu. Aku tidak berharap kamu memaafkan kesalahanku, meski ya aku berdoa tuhan mau.
Pertama, Badai lelaki baik. Akan selalu baik. Sungguh. Terlalu baik sampai mengizinkanku masuk dan menghancurkan hubungan kalian. | Cerpen Motivasi Tidak Ada Ujian yang Melebihi Kesanggupan
Ya, aku yang meminta, mengemis dengan luka di dadaku. Aku mengidap kelainan jantung sejak remaja. Badai tahu, sebab dia yang merawatku. Maka, aku yang menaruh hati padanya mengandalkan penyakit ini agar ia mau menerimaku. Meski jadi yang kedua, tidak masalah, asal dengannya.|
Sepasang netra itu membeku untuk kali kedua tentang yang sama. Perpisahan malam itu kembali berputar di kepala. Tidak, dia tidak boleh menangis disini.
Jalanan nampak kuyup beserta bangunannya, beberapa makhluk berkaki dua berlari menghindari basah lalu masuk ke dalam kedai.
Dari sudut ruangan ia duduk, dinding kaca persegi ditatapnya lamat-lamat. Menerawang sisi jalan yang masih hujan deras. Lalu menarik napas yang hilang timbul sebab sesak di dada. Kembali kedua netra itu menatap pada kertas putih mengusam di tangannya.
|Kedua. Selayaknya perempuan mana pun, patah memang menyakitkan. Aku kira kamu perempuan keras kepala sepertiku, ternyata tidak. Kamu menyerah dengan kehadiranku tanpa memberi kesempatan Badai menjelaskan, tidak akan menjelaskan memang, karena aku melarangnya. Melarang pernikahan sandiwara ini diketahui, bahkan olehmu yang berhak tahu sekali pun.
Aku egois. Ya, aku perempuan keras kepala dan egois. Maka, bayaran terbesar dari kebohongan ini adalah lelaki itu tidak mau menyentuhku. Sedikit pun, Hujan. Kehinaan yang layak, bukan?
Disisa umurku, aku ingin ayah melihatku menikah, dengan laki-laki yang kucintai tentunya. Sayang, aku terlambat membuatnya jatuh hati padaku. Badai mencintai perempuan lain, meminangnya, bahkan tak memberi kabar karena aku sedang menjalani perawatan di rumah sakit. Aku tidak mengerti kenapa, meskipun andai ia memberi tahu mungkin sejak itu aku hanyalah nisan hari ini. Bagaimana tidak, Hujan? Hatiku hancur mendengar kabar ia telah beristrikan dirimu bahkan dalam keadaan tubuhku yang sudah lebih baik.
Aku tahu, aku tak pantas mendapat maaf darimu. Seperti dirimu ketika patah malam itu, ketika Badai memperkenalkanku sebagai calon, madumu. Aku patah sekali lagi. Pernikahan kami tak berjalan baik, setidaknya tidak dihadapan ayahku. Badai menjauhiku di rumah, tak memberiku ruang dan kesempatan barang sedetik mengisi sepinya, Hujan. Katakan, aku harus bagaimana?
Ketiga. Aku menyerah. Sepertimu. Aku ingin menemuimu, mengatakan betapa sesal yang jelas terlambat ini dan tidak penting lagi bagimu. Tapi aku sungguh malu jika akan menatap wajahmu lagi, aku perempuan dengan dosa malu mengakui malunya.
Maka, kami bercerai. Butuh satu tahun untuk menyadarkanku apa itu cinta dan apa itu menguasai, Hujan. Lelaki itu hampir gila mencarimu kemudian. Aku sedih melihatnya hampir putus asa tak menemukan jejakmu, keluargamu sepakat bungkam. Lelaki itu amat mencintaimu Hujan. Jangan menyiksanya lagi dengan bersembunyi. Sungguh aku yang bersalah disini.
Dan terakhir, andai pesan ini telah sampai kepadamu, itu artinya Badai menemukanmu. Aku menitip maaf dan rasa bersalahku padanya.
Aku mohon, berhenti dari lari yang sia-sia. Setidaknya untuk dirinya. Percaya atau tidak, aku menangis menulisi pengakuan menjijikkan ini.
Dan maaf, seharusnya tidak begini.
Dari, Senja Yang Bersalah|
Anak hujan berhamburan di wajahnya. Segala kenangan berputar kembali di kepala. Mengepung logika dan egonya saat ini.
Haruskah lelaki itu kembali? Ia sudah memaafkan mereka. Dengan sangat payah berusaha melupakan. Lantas kembali dengan tiga lembar kertas dan pengakuan, layakkah?
Ketika langit mengajakmu bercanda tentang hati percayalah itu sama sekali tidak lucu, patah tidak pernah diciptakan untuk menghibur, meski ya orang-orang yang sembuh selalu tumbuh lebih kuat, lebih gagah, dan lebih 'lebih'.
Malioboro telah mereda, ia bangkit dari kursinya. Lembaran surat tersebut dipaksa masuk kantong secara berantakan. Bahu jalan berkilat-kilat kecil, bekas basah. Sementara matanya terus melahirkan anak hujan. Ia ingin menjerit jika bisa. Tapi tidak, suaranya terkunci dalam tenggorokan. Lalu tiba-tiba ia terjatuh dari langkah pelan yang melebar memakan ruas-ruas tapak kakinya.
Apa yang dikerjanya?
Tanpa nada khusus ia meraung melepas marah, dan rasa yang dikubur sekian tahun dalam hati, entah apa namanya. Ia sudah lupa. Tidak mau mengingat tepatnya.
Bumi itu tidak bersalah kenapa malah dihajar, tinjunya bahkan tak lebih besar dari bohlam di sudut pertokoan.
"Kau senang!? Kau puas!? Huh!?"
Langit? Kenapa langit, Hujan? Kau terlihat lucu sekaligus bodoh jika sedang mengadu pada tuanmu.
"Tidak sedikit pun, Honey."
Suara itu, masih sama. Hanya saja lebih parau. Tubuh yang tak sekekar dulu diajaknya mengangkat tubuh Hujan dari jatuh dan marah tak berarah, tubuh Hujan yang sama mengecil dari terakhir mereka berpisah. Perpisahan yang tidak membahagiakan semua pihak. Lantas mengapa harus terjadi? Entah. Itu keputusan langit, penghuninya tak perlu mencela.
Lelaki itu merangkul bahu Hujan, menyusuri jalanan basah kebahagiaan. Tanpa kekata mereka saling menjelaskan keadaan. Maksudnya, mata mereka. Ya, mereka tidak lebih baik tanpa satu sama lain. Begitulah cinta bekerja, tak bisa mati sekali tikam, bahkan ada yang tak bisa padam.
Badai merayakan perjalan sederhana itu dengan sebuah lagu andalan saat merayu Hujan waktu dulu.
"I found a love... For me, darling just dive right in and folow my lead. Well, I found a girl… beautyfull and sweet. Oh, I never now … you where the someone—"
"Waiting for me… ."
Mereka terkekeh bersamaan, menertawakan nada sumbang masing-masing.
Tapi begitulah, begitulah cinta bekerja dengan caranya. Pelan, luka itu sembuh. Patah itu tumbuh, lebat dan teduh. Sebab tak ada yang benar-benar patah pada cinta dan rasa yang tak benar-benar mati.
Patah hanyalah sebuah nama saat kau tak lagi bersama seseorang yang membuatmu kuat. Hanya sebuah nama yang kau temukan saat jatuh tanpa pegangan, kau ingin menyebutnya sesuatu, tiba-tiba kau menyimpulaknnya sebagai patah begitu saja. Padahal itu hanya bersama yang tertuda.
Dan lagi, jika langit mengirimu hujan dan badai sungguh ia sedang menguji ketahananmu, bukan ingin menghancurkanmu. Kau rusak, patah, dan bersedih, sebab kau tak pernah mengokohkan diri dari apapun. Sengaja melemahkan diri. | Cerpen Motivasi Tidak Ada Ujian yang Melebihi Kesanggupan
Bukannya langit pernah berkata, tidak ada uji yang melebihi sanggup?