Keluargaku Oh Keluargaku Itu Terlalu Baik

Menurut kebanyakan orang, keluargaku adalah yang paling sejahtera di kampung. Rumah yang hanya bertingkat satu, namun sangat luas dan indah dengan nuansa kream berpadu warna emas, dianggap sebagai bangunan paling mewah. | Cerpen Motivasi Keluargaku Oh Keluargaku Itu Terlalu Baik

Meski Abah hanyalah lulusan Sekolah Menengah Atas sederajat, tetapi ia mempunyai pekerjaan yang mumpuni. Yakni seorang petani, perternak juga kepala desa dalam waktu bersamaan. Beliau memiliki beberapa petak sawah dan perkebunan pisang, singkong juga Jati. Belasan ekor domba dan beberapa sapi, juga menjadi aset berharga keluarga.
Sedangkan Ambu adalah pekerja segalanya. Mengurus rumah, masak, mencuci, juga mengurus suami dan kedua anaknya; aku dan Bang Vero yang beberapa bulan lalu wisuda,namun belum bekerja.

"Assalamu'alaikum …," suara salam berpadu ketukan pada pintu, terdengar santer dari ruangan yang kini kudiami. "Assalamu'alaikum …, Bu Aisyah?"

"Wa'alaikumsalam, iya, tunggu sebentar!" aku baru saja hendak keluar dan membuka pintu, ketika suara ambu melengking, membuatku mengurungkan niat.

Pintu dibuka.

"Eh, Bu Jumirah! Mari masuk, Bu!"

"Terima kasih, Bu Lurah!"

Langkah kaki keduanya memasuki ruang tamu. Di sana, mereka kembali melanjutkan pembicaraan. Aku yang sedang bermain game, tentu bisa mendengar dengan jelas percakapan dua wanita berkepala tiga tersebut, karena letak kamarku yang percis bersebelahan dengan ruang tamu.

"Jadi, begini, Bu, saya mau membeli pisang, kira-kira ada tidak, ya?" Bu Jumirah, mulai mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya ke mari.

"Ada, Bu. Kebetulan hari ini, Suami sedang panen. Mau berapa kilo atuh, Bu? Biar nanti saya sampaikan ke si Abah."

"Kira-kira, satu kilonya berapa, Bu?"

"Paling cuma enam ribu, Bu. Murah."

"Kalau begitu, saya pesan dua puluh kilo ya, Bu."

"Boleh, Bu. Eh, tapi ngomong-ngomong itu buat apa beli pisang banyak banget? Bu Jumirah mau hajatan?"

"Ah, bukan, Bu. Biasa, buat bikin keripik pisang sama bolu. Lumayanlah, nambah jatah dapur. Lagi pula, anak saya cuman satu. Masih sekolah juga. Ngehajatin siapa, " jelas Bu Jumirah, diselingi kekehan kecil. "Bu Lurah, mau pesen enggak, atuh? Murah, lho. Cuma lima belas ribu perkilo. Kalau bolu pisang, dua puluh lima. Tapi, kalau buat Ibu, saya kasih bonus jadi lima belas ribu, deh!"

"Wah, kebetulan atuh, Bu! Suami sama anak saya paling doyan sama yang namanya keripik pisang. Kalau gitu, saya mau dua kilo, ya. Bolu satu. Uangnya nanti sama suami, sekalian nganterin pisang."

Percakapan semakin mengarah ke jual-beli. Sekitaran setengah jam, keduanya tenggelam dalam obrolan, sebelum akhirnya Bu Jumirah yang tidak lain adalah ibu dari salah satu teman sekelasku itu, pamit, karena urusan sudah selesai.

Di sela-sela bermain game, aku berpikir keras. Ibu menerima seratus dua puluh ribu rupiah hasil dari menjual dua puluh kilo pisang. Tetapi, harus membayar lima puluh lima ribu rupiah, untuk membeli dua kilo keripik dan sebuah bolu pisang. Itu pun sudah mendapat bonus.
Sebenarnya, ia untung apa buntung, ya?

***

Minggu siang, kuhabiskan waktu luang untuk les privat bersama Bang Juna. Seorang Mahasiswa semester dua di salah satu Universitas di kotaku. Beberapa bulan lagi, aku akan menghadapi ujian nasional, dua bulan setelahnya dihadapkan pada ujian SBMPTN, sehingga harus banyak-banyak belajar agar lulus dengan nilai bagus, dan mampu tembus SBMPTN, apa bila tidak lolos SNMPTN nanti.

Bang Juna, mengajar dengan penuh kesabaran juga sangat teliti. Pembawaannya yang kalem, ramah, dan asyik, menambah semangat belajar.

"Assalamu'alaikum, "

Seorang pria berbadan ramping, dengan kemeja dan celana bahan, standar, memasuki rumah. Menghancurkan konsentrasi. | Cerpen Motivasi Keluargaku Oh Keluargaku Itu Terlalu Baik

"Baru pulang, Mas?" tanya Bang Juna, berbasa-basi.

Keduanya memang sudah saling mengenal sejak dulu. Abangku adalah Kating Bang Juna. Mereka berkuliah di Universitas dan prodi yang sama. Pendidikan fisika.

"Heem. Biasa, nyari info loker." kata pria yang kini duduk di sofa.

"Loh, memang yang kemarin belum ada panggilan, Mas?"

"Boro-boro panggilan, Jun, bau-bau lamarannya dibaca aja, udah syukur alhamdulillah." Bang Vero menuang segelas air dari botol yang berada di meja. Menghabiskannya dalam satu kali teguk. "Zaman sekarang, nyari kerja itu susah, Jun. Lebih susah dari nyari jodoh. Apa-apa harus pake uang. Mau cari uang juga dipancingnya pake uang."

Bang Juna manggut-manggut, menyimak penjelasan seniornya.

"Kalau sekarang sih, ada lowongan jadi guru les juga pasti Abang ambil. Walau gajinya enggak seberapa, yang penting kita dapat penghasilan. Yang besar enggak ada, yang kecil aja sikat. Udah capek nyari kemana-mana, tapi enggak dapat."

"Iya, Bang. Buat kita yang masih bujang, jadi guru les udah cukup memenuhi kebutuhan. Saya saja gaji enam ratus, cukup buat makan satu bulan tanpa harus minta dari orang tua."

Percakapan keduanya terus berlanjut. Aku yang sedang fokus mengerjakan soal dari Bang Juna, hanya bisa membisu selagi mendengarkan. Tidak berani menimpali, takut salah. Meski batinku juga bertanya-tanya, mengapa Abah tidak menjadikan Bang Vero sebagai guru lesku, dan malah mencari pembimbing lain?
Bukankah itu lebih baik dari pada sekarang Abangku satu-satunya itu jadi pengacara. Alias pengangguran banyak acara. Acara melamar ke banyak tempat, tapi belum juga diterima. Toh, Bang Vero juga jago dalam hal fisika. Apa lagi beliau lebih dulu wisuda. Pengetahuan juga pengalamannya, pastilah lebih banyak, bukan?

***

Senin siang, selepas pulang sekolah, aku, Bagas, Luvita dan Yuni, memaksakan diri untuk berkunjung ke desa Megar sari. Desa Luvita yang jaraknya berkilo-kilo meter dari desaku.

Kami memiliki tugas untuk mewawancarai seorang pengusaha dari kalangan manapun. Baik pengusaha kecil-kecilan yang baru merintis karirnya, maupun yang usahanya sudah melanglang buana. Dan gadis itu membawa kami menemui seorang pengrajin jati yang tidak lain adalah saudaranya sendiri.

Dialah Pak Burhan. Pengrajin jati yang karyanya sudah melanglang buana ke beberapa negara di asia.

"Pak, untuk membuat satu kerajinan itu, kira-kira membutuhkan waktu berapa lama?" tanya Luvita, di balkon rumah Pak Burhan.

Aku bertugas sebagai cameraman, yang bertugas memvideo sesi wawancara.
Sedangkan Bagas dan Yuni, bertugas mendokumentasikan segala kerajinan dalam bentuk gambar.

"Kalau soal waktu, enggak tentu, Neng. Kan ada yang gampang, ada yang rumit. Tapi, biasanya paling sebentar sekitar dua minggu. Ada juga yang sampai sebulan."

"Untuk Kayunya sendiri, apakah Bapak memiliki kebun jati, atau beli dari pihak lain?" luvita melanjutkan pertanyaan.

"Menanam pohon jati itu susah, Neng. Udah gitu butuh waktu yang lama. Makanya, Bapak biasanya beli dari pihak lain. Nah, untuk kerajinan dan kayu-kayu itu, Bapak beli dari Lurah Jaya. Teman Bapak dari desa Seloka," jelas Pak Burhan, seraya menunjukkan kerajinan dan kayu-kayu di saung yang berada tepat beberapa meter di depan rumahnya.

Bapakku! Begitu hal pertama yang terlintas di benak, kala mendengar penjelasannya.

"Lantas, untuk sistem pemasaran dan harganya sendiri, bagaimana, Pak?"

"Biasanya untuk di dalam negeri, Bapak menggunakan sistem pesan. Untuk harga sih, bermacam-macam, Neng. Contohnya seperangkat kursi teras ini." Pak Burhan berjalan, mendekati kursi yang tersusun rapi berikut mejanya. "Ini juga pesanan Pak Lurah Jaya. Harganya sekitar delapan juga. Beda lagi dengan barang lain. Harganya bermacam-macam. Paling murah dua setengah. Tergantung kerumitan dan besarnya bahan yang dibutuhkan."

Mendengar penjelasan Pak Burhan, rasanya aku ingin bernyanyi. Dan terjadi, lagi~~~

Keluargaku itu terlalu baik.
Memberi rezeki pada orang lain, tetapi tidak sadar permainan sendiri.

Membeli sesuatu yang asalnya dari mereka. Baik jika untung, tetapi yang terjadi malah jual seribu, beli dua ribu. Lucu juga jika dipikirkan. Hahaha | Cerpen Motivasi Keluargaku Oh Keluargaku Itu Terlalu Baik